titastory, Ambon – Aktivis Maluku asal Kepulauan Kei, Vigel Faubun, menyampaikan kritik keras terhadap sikap diam Pemerintah Provinsi Maluku atas bencana banjir bandang yang melanda Pulau Kei Besar awal Juni 2025. Ia menilai, ketidakhadiran Gubernur Hendrik Lewerissa adalah bentuk kegagalan dalam kepemimpinan yang adil dan menyeluruh.
“Ketika rakyat Kei dihantam banjir, kami menunggu. Bukan hanya bantuan, tapi kehadiran. Hari berganti, pemimpin kami diam. Ini bukan soal teknis birokrasi, ini soal nurani,” tegas Faubun dalam keterangan yang diterima titastory.id, Rabu (2/7/2025).
Banjir bandang yang melanda sejumlah kampung di Kei Besar, terutama Desa Weduar dan Ohoirenan, telah menyebabkan sedikitnya 16 rumah rusak berat. Infrastruktur jalan sepanjang lebih dari satu kilometer terputus. Banyak warga terpaksa mengungsi dalam kondisi minim bantuan.

Faubun membandingkan penanganan di Kei Besar dengan langkah cepat Pemprov Maluku saat banjir menerjang Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, Gubernur dan Wakil Gubernur langsung turun ke lokasi, membawa bantuan logistik termasuk 10 ton beras, matras, tenda gulung, dan peralatan medis.
“Tidak ada yang iri dengan saudara-saudara di Ambalau. Mereka memang layak dibantu. Tapi ketika kami di Kei Besar dibiarkan menunggu tanpa kepastian, rasa keadilan itu jadi terasa timpang,” ujarnya.
Menurut Faubun, alasan klasik yang menyebut laporan dari bawah tidak sampai ke meja gubernur terlalu mudah dan cenderung defensif.
“Kalau laporan tak sampai, Gubernur harus turun sendiri. Maluku bukan cuma soal angka dan data. Maluku adalah rakyat yang sedang tenggelam dan butuh diangkat,” ujarnya dengan nada tajam.
Ia menegaskan bahwa kritiknya lahir dari kecintaan pada tanah Maluku, bukan kebencian pada individu.
“Kalau adil itu ada dua, tolong kasi satu untuk masyarakat Kei Besar juga. Jangan semua habis di provinsi. Kami juga ingin merasa dipimpin, bukan hanya dicatat,” pungkasnya.