TITASTORY.ID – Hari-hari ini profesi depkolektor menjadi perhatian serius. Apalagi potongan pernyataan memojokan dari Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran yang viral di susul dengan penangkapan depkolektor di Saparua, yang di-framing seperti teroris.
Profesi ini kemudian menjadi lebih lekat dengan citra yang buruk, dan lagi-lagi orang Ambon, Maluku atau orang indonesia timur yang terkena imbas (stigma). Apalagi yang viral itu kebetulan orang Ambon (Maluku) memperkuat stigma itu.
Tapi apakah adil, khalayak terutama netizen serta merta secara kompak ikut memojokan profesi ini? Dan apakah depkolektor yang dilakoni terutama orang-orang Ambon/Maluku di Ibukota adalah profesi sampah, jahat dan tak bermoral?
Untuk semua yang mencibir dan mempersalahkan profesi ini, sudakah menyadari kalau menjadi depkolektor sejatinya adalah profesi terakhir dari banyak anak muda yang tak punya pilihan di kampung halaman dan kalah bersaing di Ibukota?
Ya, hampir semua depkolektor dari timur Indonesia, khususnya Maluku adalah mereka yang harus meninggalkan kampung atau daerahnya yang memang masih miskin, tertinggal dan tak ada lapangan kerja. Meskipun kaya sumber daya alam.
Mereka yang kalah bersaing di sektor formal, karena tak memiliki soft skill dampak dari buruknya fasilitas dan kualitas pendidikan di daerah asalnya. Mereka adalah perantau hanya dengan modal berani atau nyali untuk bisa menafkahi anak atau keluarga.
Itu artinya, mencibir, menghujat hingga melarang profesi ini adalah tindakan yang gegabah dan tak bijak. Justru depkolektor atau penagih hutang adalah pekerjaan yang jauh lebih bermartabat ketimbang penjahat berdasi atau pejabat yang petantang-petentang dari uang hasil korupsi, seperti pegawai pajak yang hidup hedon dari menilep uang rakyat.
Depkolektor adalah pihak ketiga sebagai mediator antara debitor dan kreditor, memegang mandat dan kuasa secara legal, bukan penjahat. Rata-rata yang mengambil pilihan sebagai depkolektor karena mungkin hanya dengan begitu mereka bisa menyambung hidup.
Andai negara atau pemerintah mau jujur, mestinya solusi dari hulu yang harus dicari, bukan seperti polisi yang sembunyi dibalik pohon menunggu pelanggar lalulintas lewat. Karena apa yang mengemuka saat ini adalah dampak dari buruk dan gagalnya pengelolaan negara selama dan sejauh ini.
Alasannya jelas. Posisi Maluku yang ada di urutan buncit termiskin dengan tingkat pengangguran yang tinggi adalah pangkal berbagai persoalan sosial yang ada. Pilihan menjadi depkolektor hanyalah dampak kecil di permukaan.
Realitas saat ini jika mau diperhatikan dengan lebih jeli dengan menggunakan kacamata sosiologis atau kriminologi, terlihat lebih miris lagi, jika tak mau disebut mengerikan. Terkonfirmasi dengan kian menipisnya rasa aman di masyarakat, ditandai berbagai gejolak sosial.
Di Maluku tingkat kriminalitas semakin tinggi. Pencurian, pencopetan, begal, pertikaian antar pemuda (kampung) intensitasnya meninggi. Begitu pula angka bunuh diri, kasus narkoba dan prostitusi (online) dikalangan remaja hingga gizi buruk yang makin mengkhawatirkan.
Sekali lagi, semua adalah dampak sosial yang muncul atau terjadi karena daerah salah kelola berdampak pada pengangguran dan kemiskinan. Inilah pangkal persoalan sesungguhnya yang mesti diperhatikan dan diantisipasi.
Sehingga tetiba mencibir apalagi melarang depkolektor menunjukan negara atau pemerintah hanya bisa menangani atau mau menyelesaikan masalah di hulu, bukan di hilir. Seperti pemadam kebakaran yang ramai-ramai datang saat api sudah berkobar, padahal akar masalah mestinya bisa dimitigasi.
Artinya, saatnya sumber daya manusia (baca: pendidikan) serta lapangan pekerjaan untuk orang Maluku dan orang timur lainnya lebih diperhatikan, sehingga tak ada lagi yang jadi korban (stigma), akibat menjadi urban dengan pilihan pekerjaan yang keras dan menyerempet bahaya. Dampak dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Penulis adalah Founder/CEO IndoEast Network
Discussion about this post