titastory, Jakarta— Pemerintah Indonesia tengah menjalani evaluasi oleh Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) di Jenewa, Swiss. Dalam sidang hari pertama pada Rabu, 14 Mei, Delegasi Republik Indonesia (DELRI) tampak kewalahan menjawab pertanyaan tajam seputar berbagai pelanggaran hak anak, mulai dari keracunan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG), praktik perkawinan anak melalui dispensasi, pemaksaan jilbab di sekolah negeri, hingga peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Anggota Komite CRC dari Togo, Suzanne Aho, bahkan meragukan keseriusan Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. “Saya tidak begitu yakin bagaimana Indonesia menangani masalah-masalah seperti ini,” katanya.
Jawaban-jawaban yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia dinilai normatif, prosedural, dan kerap menghindar dari substansi. Beberapa pertanyaan penting, seperti sikap Indonesia terhadap ratifikasi Optional Protocol Ketiga Konvensi Hak Anak, tidak dijawab secara jelas.

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, menyebut sidang ini sebagai momen penting untuk refleksi. “Sayangnya, DELRI belum mampu memaksimalkan forum ini sebagai ruang belajar dan titik balik. Delegasi masih bertahan pada retorika kebijakan dan belum menyentuh akar persoalan,” ujarnya.
Isu Krusial: Perkawinan Anak dan Wajib Jilbab
Salah satu isu yang mengemuka adalah masih maraknya dispensasi perkawinan anak, meski usia minimal telah dinaikkan menjadi 19 tahun. Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kemenkumham, Munafrizal Manan, menyebut dispensasi hanya diberikan untuk usia 17–18 tahun. Namun, ia tak merinci berapa banyak dispensasi yang dikabulkan, di wilayah mana, dan atas alasan apa.
Soal pemaksaan jilbab di sekolah juga menjadi sorotan tajam. Perwakilan Bappenas, Yosi Diani Tresna, menyatakan kasus ini hanya terjadi di satu sekolah negeri di Padang pada awal 2021. Namun anggota Komite CRC dari Oman, Thuwayba Al Barwani, membantah klaim itu. “Data kami menunjukkan kasus serupa terjadi di 24 provinsi,” tegasnya.
Komite juga mempertanyakan Perda No. 10 Tahun 2021 di Kabupaten Bogor tentang penanggulangan penyimpangan seksual, yang dinilai diskriminatif terhadap anak-anak dari kelompok minoritas seksual.
Isu Lain: Sterilisasi Anak Disabilitas dan Anak WNI di Suriah
Komite CRC juga menanyakan dugaan praktik sterilisasi paksa terhadap anak-anak disabilitas. Namun pemerintah tak memberikan klarifikasi, hanya menekankan “komitmen terhadap inklusi”.
Pertanyaan tentang nasib 400 anak WNI di kamp pengungsi Suriah juga tidak dijawab secara konkret. Pemerintah hanya menyatakan bahwa proses repatriasi “masih dalam kajian”. Komite menilai jawaban ini tidak memadai, mengingat situasi kemanusiaan di kamp-kamp tersebut sangat mendesak.
Kesenjangan Wilayah Timur dan Minimnya Pelibatan Anak
Ketimpangan layanan publik di kawasan timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), juga diangkat dalam forum. Pemerintah menyebut program telemedicine dan pengiriman dokter sebagai solusi, namun Komite tetap menyoroti buruknya akses pendidikan, gizi, dan kesehatan anak di wilayah-wilayah tersebut.
Komite juga mempertanyakan partisipasi anak dalam kebijakan publik. Pemerintah banyak menjawab dengan daftar program, namun tidak menjelaskan sejauh mana anak-anak benar-benar dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Penulis : Redaksi