-
Kehadiran internet dan media sosial senada dengan hakikat dari perkembangan teknologi yang akan memudahkan segala aktivitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
-
Bukan lagi hanya sebagai tempat berbagi dan bertukar informasi atau tempat berinteraksi, ruang digital juga dapat digunakan untuk kepentingan politik, sebagai ladang pencarian, dan berbagai macam kegiatan lain layaknya dunia nyata.
-
Kehadiran ruang publik alternatif ini selalu memberikan hal-hal baru bagi penggunanya.
TITASTORY.ID, – Fenomena baru dalam ruang digital yang cukup menarik di akhir tahun 2021 kemarin ialah ruang digital menjadi alat penegak hukum. Pemikiran ini timbul sebagai respons terhadap tagar “no viral no justice” atau tidak ada keadilan jika belum viral yang ditujukan kepada Polri sebagai sebuah kritikan atau masukan. Ini merupakan bentuk mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital yang berujung menjadi pressure group terhadap lembaga atau instansi yang bersangkutan.
Tagar tersebut muncul karena masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang diviralkan cenderung akan lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang dimulai dengan laporan biasa. Alhasil, akhir-akhir ini ruang digital Indonesia kerap kali disuguhkan kasus-kasus tindak pidana seperti kekerasan seksual dan berbagai macam kasus yang menimbulkan kecaman dari masyarakat.
Pembahasan mengenai fenomena “no viral no justice” cukup menarik apabila dibahas dari sisi ruang digital itu sendiri sebagai role model pergerakan di masa yang akan datang. Kurang lebih 20 tahun sebelum Indonesia merdeka masyarakat tengah dihampiri demam organisasi; pribumi kala itu berbondong-bondong membentuk sebuah organisasi mulai dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Perhimpunan Indonesia, dan banyak organisasi lain dengan berbagai macam latar belakang.
Meskipun memiliki kesamaan dalam hal konsepsi (mobilisasi populis), namun pada hakikatnya kemunculan fenomena “no viral no justice” cukup jauh berbeda dengan pergerakan boikot. Perbedaan pertama yaitu motif anggota yang tergabung dalam gerakan kolektif tersebut. Motif anggota organisasi dalam fenomena boikot merupakan sebuah kesadaran atas keadaan yang merenggut hak-hak mereka, artinya perlawanan muncul dari ras senasib (penderitaan bersama).
Sedangkan motif dalam fenomena “no viral no justice” tidak lain merupakan bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena ketidakadilan yang ada di depan layar. Misalnya Anda sedang scroll beranda media sosial, tiba-tiba muncul sebuah postingan yang mengusik hati nurani, secara refleks Anda akan merespons postingan tadi.
Berbagai macam problem yang terjadi, sebenarnya dapat memberikan kita sebuah pembelajaran bahwa, media sosial bukan saja sebagai ladang tempat kita memposting tentang aktivitas kita sehari-hari saja, atau sekedar eksis dengan memamerkan apa yang kita miliki saja, tetapi media sosial juga sebagai paltform Perjuangan.
Beberapa kasus yang terjadi seperti masalah keterisolasian dan masalah kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan masih banyak lagi, tidak akan mampu menjadi perhatian para pemegang amanat rakyat, jika tidak ada mobilisasi populis yang dilakukan oleh masyarakat lewat media sosial (Mem-viralkan).
Sebab paradigma pemerintah kita seperti sapi yang memang butuh di pukuli dari belakang baru bisa berjalan sesuai keinginan rakyat. Semua itu bisa dilakukan dengan cara ketika ada persoalan misalkan masalah bantuan sosial yang diberikan pemerintah namun tidak tersalurkan dengan baik, atau masalah kesehatan yang Nakesnya tidak bekerja dengan becus, bisa kita viralkan untuk tujuan melahirkan atensi publik.. secara otomatis, maka akan lahir kepedulian dari pemerintah.
Mari budayakan Mem-viralkan sebuah kejadian disekitar kita yang berkaitan dengan isu kesejahteraan dll sebagai upaya mobilisasi populis lewat media sosial. Karena tanpa Viral, kita tidak akan mendapatkan sedikitpun kepedulian.
Discussion about this post