titastory, Ambon – Seruan untuk mencopot Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mulai menggema dari Maluku. Kampanye bertajuk “Dari Maluku, Turunkan Bahlil Lahadalia” diluncurkan oleh Aliansi Rakyat Bantu Rakyat (ARRAK) sebagai bentuk protes terhadap kinerja Bahlil yang dinilai tidak berpihak pada rakyat di wilayah timur Indonesia.
Koordinator ARRAK, Fadel Rumakat, menyatakan bahwa kampanye ini muncul sebagai akumulasi kekecewaan publik, khususnya masyarakat Maluku dan Papua, terhadap sejumlah kebijakan kontroversial yang didorong oleh Bahlil.
“Jika benar dia dianggap representasi Maluku atau Papua di tingkat nasional, mestinya keberadaannya memberi dampak positif bagi dua wilayah ini. Faktanya, tidak ada keberpihakan yang dirasakan,” ujar Fadel saat dikonfirmasi titastory, Sabtu, 7 Juni 2025.

Fadel menyoroti klaim politik yang kerap melekat pada Bahlil terkait kedekatannya dengan Maluku dan Papua. Menurutnya, klaim itu tidak berdasar secara kultural maupun biologis.
“Dia memang tumbuh besar dan bersekolah di wilayah timur, tapi secara identitas kultural dan biologis, dia bukan anak Melanesia. Dia bukan bagian dari kebudayaan Maluku dan Papua,” tegas Fadel.
Atas dasar itu, ARRAK menilai bahwa Bahlil tidak layak menyandang representasi masyarakat timur, apalagi jika kebijakan-kebijakan yang didorong justru memperparah kerusakan lingkungan dan memperluas konflik agraria di kawasan tersebut.
Kampanye pencopotan Bahlil akan digelar secara masif melalui kanal digital, media sosial, serta diskusi publik. ARRAK juga berencana meluncurkan petisi daring dan meminta restu serta dukungan dari tokoh adat Maluku maupun diaspora Maluku di seluruh dunia.
“Gerakan ini bukan penolakan personal, tapi penegasan bahwa rakyat Maluku berhak atas kepemimpinan yang membela, bukan mengabaikan,” tandas Fadel.
ARRAK menekankan bahwa jabatan publik adalah amanat rakyat, bukan tempat untuk memelihara kepentingan kelompok tertentu yang menyengsarakan masyarakat. Mereka berharap gerakan ini dapat menjadi pintu masuk untuk meninjau ulang peran dan kebijakan Bahlil sebagai pejabat negara.
Penulis: Edison Waas