Dari Kaki Gunung Binaiya, Masyarakat Negeri Piliana Deklarasi Tolak HPK, Dorong Perda Adat

26/02/2025
Deklarasi Penolakan pemasangan Pal HPK di Petuanan Negeri Piliana. Foto : Titastory.id

titastory, Maluku Tengah – Negeri Piliana, yang berada di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Maluku, merupakan perkampungan adat yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Manusela, dan menjadi pintu masuk pendakian gunung Binaiya dari arah selatan.

Masyarakat adat yang berdiam di kaki gunung Binaiya ini, Selasa (25/2) telah menggelar sasi adat dan deklarasi sebagai bentuk penolakan pemasangan pal penetapan Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh BPKH diatas hutan adat mereka.
Bersama 9 negeri lainnya di Kecamatan Tehoru, Negeri Piliana ikut menolak kebijakan tersebut.

Sasi adat dan deklarasi di pimpin langsung oleh kepala pemerintah negeri Piliana, dengan melibatkan seluruh tokoh adat, Badan Saniri Negeri, tokoh Agama, masyarakat dari berbagai kalangan, tokoh perempuan, orang tua dan anak-anak.

Penegasan penolakan HPK oleh masyarakat adat, tokoh agama kaum perempuan di Negeri Piliana.Foto : Titastory.id

Upacara adat berlangsung di rumah adat yang di awali dengan doa dan sumpah sasi adat oleh kepala Adat negeri Piliana, kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan deklarasi oleh seluruh elemen masyarakat.

Deklarasi dilakukan di lokasi pemasangan Pal HPK yang berada di kawasan perkebunan milik masyarakat, di lanjutkan dengan pemasangan tanda sasi adat oleh kepala adat dan raja negeri Piliana Agustinus Ilelapotoa, setelah ritual makan sirih pinang. Deklarasi disaksikan oleh seluruh masyarakat sebagai bentuk penolakan bersama terhadap pemasangan Pal HPK.

Dalam deklarasi, masyarakat adat ikut meminta dan mendesak pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk segera mengesahkan dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) adat tentang pengakuan terhadap keberadaan, status dan hak ulayat masyarakat adat.

Aksi penolakan \pemasangan PAL HPK oleh masyarakat adat Negeri Piliana sekaligus desakan pengesahan Perda Masyarakat Adat oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Foto : Titastory.id

Terhimpit Antara Taman Nasional Manusela Dan HPK

Raja Piliana, Agustinus Ilelapotoa ditempat terpisah mengisahkan, leluhurnya secara turun temurun telah menempati lokasi tersebut sebelum negara Indonesia terbentuk.

“Leluhur kami turun dari Manusela dan menyebar, sebagian ada di Losa, dan kami hidup di sini,”ungkapnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan sejumlah jejak leluhur yang masih dapat ditemukan dibeberapa lokasi dan ritual adat yang masih tetap berlangsung hingga saat ini.

Negeri Piliana yang memiliki 154 Kepala Keluarga atau 657 jiwa, 99 persen memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berkebun. Selama ini mereka bercocok tanam dan selalu menjaga hutan dengan baik.

Masyarakat adat menanam pala, cengkeh, coklat, kelapa, disamping umbi-umbian dan sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan beberapa orang tua sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi, dengan menjual hasil kebun.

“Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Piliana sangat bergantung dengan tanah dan hidup harmonis dengan alam,”kata bapa Agus.

Diakuinya, semenjak hutan Manusela dikuasai oleh pemerintah untuk ditetapkan sebagai Taman Nasional, secara tidak langsung ikut mempengaruhi masyarakat yang sering mengambil hasil hutan. Meskipun demikian, mereka tetap menghormati dan mematuhi larangan untuk tidak masuk ke kawasan taman nasional Manusela.

Namun kehidupan damai masyarakat adat Piliana terusik, setelah pemerintah melalui BPKH memasang pal HPK untuk mengambil alih tanah milik mereka secara sepihak.
Mirisnya lagi, pal HPK terpasang diatas kebun-kebun milik masyarakat adat.

“Penolakan penetapan HPK kata Bapa Agus, didasari kondisi pemukiman masyarakat adat Piliana yang semakin sempit. Selain itu, kebun masyarakat serta hutan adat terancam diambil paksa oleh pemerintah,”inbuhnya.

Pemukiman mereka kini terhimpit dengan keberadaan Taman Nasional Manusela dan Pal HPK yang kterpasang diatas kebun milik masyarakat adat. Hal ini yang menyebabkan masyarakat adat tidak lagi bisa tinggal diam.

“Kami sudah mengalah dengan menerima larangan tidak masuk kawasan Taman Nasional Manusela yang dulunya adalah hutan kami. Namun kali ini kami menolak untuk diam, karena semakin terjepit setelah pemasangan Pal HPK yang diam-diam dilakukan tanpa sepengetahuan kami. Masyarakat terancam kehilangan mata pencaharian, kalau kebun milik mereka diambil alih untuk dimasukkan dalam kawasan HPK,”tukasnya.

Raja (kiri) didampingi Ketua Sanir Negeri Piliana (kanan). Foto : Titastory.id

Yulianus Ilapatoa, ketua Saniri Piliana menyebut, penolakan HPK merupakan keinginan dari semua masyarakat adat yang merasa sangat dirugikan.

“Kami masyarakat Piliana secara tegas menolak HPK, karena dipasang diatas kebun milik masyarakat adat dan hutan adat. Tanah ini adalah milik kami yang diwariskan turun temurun oleh leluhur. Kami juga mendorong agar DPRD dan Pemda Malteng harus melindungi keberadaan kami melalui pengesahan Perda adat,”tegasnya.

Harapan Petani Kecil Dari Tempat Terpencil

Danisela Latumutuany salah satu warga pemilik kebun yang diatasnya terpasang Pal HPK menceritakan, tempatnya bercocok tanam tidak jauh dari rumahnya. Pemasangan pal, tidak diketahui oleh dirinya sebagai pemilik kebun. Pal yang terbuat dari beton ini hanya berjarak sekitar 20 meter dari dapur rumahnya.

PAL Taman Nasional, menghimpit ruang hidup masyarakat adat Negeri Piliana. Foto : Titastory.id

“Ini cuma berjarak sekitar 20 meter dari rumah. Waktu pembuatan pal beton, beta seng (tidak) tahu apa-apa,”ucapnya saat ditemui di rumahnya yang sederhana.

Danisela mengatakan, kebun miliknya ditanami beberapa pohon coklat, pala, cengkeh serta singkong.

Ia kini resah, setelah mengetahui kebun miliknya akan diambil alih oleh pemerintah.

“Kalau beta kebun diambil, lalu beta keluarga mau makan apa,”keluhnya.

Ayah dua anak ini hanya berharap, kebun miliknya dan semua masyarakat adat di Piliana tidak diambil secara paksa oleh pemerintah.

Penulis : Edison Waas
Editor  : Dianti Marta
error: Content is protected !!