titastory.id, cali kolombia – Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, menyerukan perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka. Seruan ini bertepatan dengan perundingan perlindungan keanekaragaman hayati global COP16 CBD di Cali, Kolombia, Sabtu (26/10).
Jauh dari tanah kelahirannya, Monika Maritjie Kailey turut hadir pada COP 16. Kehadirannya pada momen tersebut menjadi penting bagi daerah tempat kelahirannya.
Kepulauan Aru memiliki 156 ribu hektar mangrove, 550 ribu hektar hutan tropis dataran rendah, 22 ribu hektar padang savana, 19 ribu hektar padang lamun, dan 53 ribu hektar terumbu karang. Bahkan, 21 persen potensi perikanan nasional atau sekitar 771.600 ton per tahun produksi perikanan berasal dari laut Aru.
Meski demikian, wilayah Aru tak pernah lepas dari ancaman rusaknya keanekaragaman hayati. Hal ini karena sebagian besar wilayahnya masuk dalam kategori hutan produksi konversi. Setidaknya sudah ada empat izin yang masuk ke Aru.
Termasuk izin untuk eksploitasi hutan sejak tahun 1970 sampai ahun 2000, perkebunan tebu, kelebihan eksploitasi wilayah laut, serta izin IUPHHK-HA sejak 2007 sampai 2013. peternakan sapi sejak tahun 2014 sampai 2021 dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan – PBPH karbon dan hutan alam tahun 2022 hingga sekarang.
Monika mengatakan, sejarah kelam inilah yang mendorong masyarakat Aru untuk terus berjuang mempertahankan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang ada di wilayah adat mereka.
“Masyarakat adat terbukti mampu menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik kearifan lokal, seperti sistem sasi dan budaya leluhur lainnya,” kata Monika Maritjie Kailey.
Sudah berkali-kali masyarakat adat Aru berhasil mempertahankan hutan dan laut mereka dari ancaman industri ekstraktif yang beroperasi di daerah itu.
Menurut dia, sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat global mengakui peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati dengan memastikan mobilisasi sumber daya alam yang adil.
Dalam COP16, negosiasi tentang pengakuan terhadap kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati berjalan cukup alot. Salah satunya mengenai penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Masyarakat Adat di COP16 mendorong negara-negara yang hadir agar memastikan pengakuan penuh atas kontribusi masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) yang mengikat khusus terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Sayangnya, beberapa negara termasuk perwakilan delegasi Indonesia justru menolak pendirian Subsidiary Body tersebut. Padahal, kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.
Potret yang ditunjukkan Monika menggarisbawahi peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati yang harus didukung Pemerintah. Namun, kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan biodiversitas oleh masyarakat ada belum memberikan dampak pada masyarakat adat.
Peneliti dari Perkumpulan HuMa, Bimantara mengatakan, dua landasan kebijakan di Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati ini, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024 belum memenuhi kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat. Instruksi Presiden kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga sejatinya bentuk aturan yang lebih baik adalah Peraturan Presiden.
“Ke depan, juga perlu dipertimbangkan revisi terhadap regulasi ini untuk menyesuaikan dengan struktur dan penanggungjawab terhadap kebijakan biodiversitas ini pasca pemerintahan baru,” tutur Bimantara.
Selain berperan penting dalam menjaga biodiversitas, masyarakat adat juga merupakan kelompok rentan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait biodiversitas seperti IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) dan rencana iklim seperti NDC (Nationally Determined Contribution) harus menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat,” ujar Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim MADANI Berkelanjutan.
Catatan sejarah sudah sangat jelas memperlihatkan bahwa yang selama ini melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru adalah komunitas-komunitas masyarakat adat di sana. Jadi sudah sewajarnya kontribusi masyarakat adat terhadap perlindungan keanekaragaman hayati di wilayahnya diakui secara penuh.
“Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan kontribusinya terhadap perlindungan sumber daya alam,” Pungkas Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia.
Aksi Masyarakat Adat
Dari Pulau Kumareri, Kepulauan Aru, para pemimpin adat dan pemuda Aru mengadakan aksi damai untuk mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati dunia, terutama di wilayah mereka di Maluku.
Dalam aksi damai itu mereka menuntut komitmen serius pemerintah mencabut izin-izin ekstraktif yang akan membahayakan keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru dan mempercepat implementasi Peraturan Daerah perihal pengakuan hak masyarakat adat.
Salah satu Pemuda Kepulauan Aru, David Faturey mengungkapkan, setiap orang yang mengaku sebagai orang Aru wajib menjaga keselamatan kepulauan Aru. dengan begitu keanekaragaman hayati yang ada di Kepulauan Aru dapat terjaga.
“Menjadi orang Aru bukan hanya hak, melainkan kewajiban. Sebab menjaga Aru berarti menjaga kehidupan yang di dalamnya hidup manusia Aru,” kata David.
David menegaskan, aksi ini adalah bentuk perjuangan masyarakat adat dan pemuda Aru untuk menolak investasi yang merusak lingkungan Aru serta mendorong pemerintah pusat untuk mencabut segala izin eksploitasi hutan di Kepulauan Aru yang sudah ada. (TS-05).
Discussion about this post