Ambon, — Alarm fiskal Maluku mulai berbunyi. Dana transfer dari pemerintah pusat ke Provinsi Maluku tahun ini anjlok drastis hingga mencapai Rp300 miliar. Kondisi ini memicu kekhawatiran serius terhadap kemampuan daerah membiayai pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur.
Anggota Komisi III DPRD Maluku, Rovik Akbar Afifudin, menyebut penurunan tersebut bukan sekadar pergeseran angka di laporan keuangan, melainkan ancaman nyata bagi stabilitas fiskal daerah. Dari total transfer pusat sekitar Rp1,6 triliun tahun lalu, kini hanya tersisa Rp1,3 triliun, menekan pendapatan daerah menjadi sekitar Rp2,3 triliun.
“Ini bukan penurunan biasa. Kalau biasanya APBD kita bisa tembus Rp3,1 sampai Rp3,2 triliun, sekarang jauh di bawah itu. Artinya, ruang fiskal kita makin sempit,” tegas Rovik di Gedung DPRD Maluku, Senin (13/10).
Ia menambahkan, pemerintah pusat berdalih bahwa sebagian dana akan disalurkan melalui kementerian teknis, namun mekanisme dan alokasinya belum jelas di tingkat daerah.
“Katanya dana tidak hilang, hanya dialihkan lewat kementerian. Tapi persoalannya, kita di daerah tidak tahu bentuknya seperti apa dan siapa yang kelola. Kalau begini, bagaimana daerah mau atur prioritas pembangunan?” ujarnya.
Dengan belanja pegawai yang sudah menembus Rp1 triliun lebih, Rovik menilai ruang fiskal untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan menjadi sangat terbatas.
“Kalau separuh APBD habis untuk belanja rutin, dari mana kita bangun jalan, sekolah, rumah sakit? Pemprov harus ambil kebijakan darurat untuk menjaga keseimbangan fiskal,” katanya.
Sebagai solusi jangka pendek, ia mendorong pemerintah pusat menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) in-mark yang diarahkan khusus bagi Maluku, sebagai instrumen vital menopang keuangan daerah.
“Kalau DAK in-mark bisa diberikan lebih besar, itu menutup sebagian kekurangan kita. Tapi kalau tidak, Pemprov harus berani ambil langkah taktis meski tidak populer,” ujarnya.
DPRD Maluku, kata Rovik, siap bersinergi dengan Pemprov dan anggota DPR RI asal Maluku untuk memperjuangkan tambahan dukungan fiskal dari pusat.
“Kami tidak ingin hanya menunggu. DPRD akan kawal bersama pemerintah provinsi agar Maluku mendapat perhatian khusus. Walau pemangkasan berskala nasional, kondisi tiap daerah berbeda, dan Maluku jelas butuh perlakuan khusus,” tutupnya.
Sentralisme Fiskal & Suara Perempuan Maluku

Dari Jakarta, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Engelina Pattiasina, turut menyoroti pemangkasan anggaran tersebut. Ia mengingatkan Menteri Keuangan Purbaya Sahadewa agar tidak memperlakukan daerah seolah “mengemis” anggaran dari pusat.
“Pemangkasan sepihak sama dengan meremehkan perencanaan daerah. Sikap Menkeu terhadap para gubernur berpotensi memicu ketegangan pusat dan daerah. Jangan coba-coba provokasi daerah, karena risikonya sosial politik — bukan sekadar ludah sombong seorang Menkeu,” tegas Engelina (11/10).
Engelina menilai, langkah sepihak pemerintah pusat sangat wajar menimbulkan kekecewaan karena daerah sudah lebih dulu menyesuaikan program berdasarkan alokasi dana dari pusat.
“Menkeu jangan merasa paling hebat dan paling tahu segala hal. Masalah daerah itu kompleks karena ketidakadilan sudah berlangsung sejak zaman kolonial,” ujarnya.
Ia menyoroti ketimpangan anggaran nasional, di mana APBD DKI Jakarta hampir setara dengan total anggaran seluruh provinsi di kawasan timur Indonesia yang sebagian besar tergolong miskin.
“Kalau anggaran yang kecil itu masih dipangkas, rakyat di daerah akan makin terpuruk,” katanya.
Menurut Engelina, pejabat pusat sering melihat daerah “dari kacamata Jakarta” tanpa memahami realitas kemiskinan struktural di wilayah kaya sumber daya alam. Ia mencontohkan minyak di Bula, Seram Timur, yang telah dieksploitasi sejak masa kolonial namun tak memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
“Sikap Menkeu justru seperti menyalahkan daerah, padahal pusatlah yang selama ini menikmati hasil terbesar,” ujarnya.
Sentralisme Fiskal yang Menyamar Sebagai Otonomi
Engelina menyebut praktik kontrol pusat terhadap keuangan daerah sudah menjadi penyakit kronis.
“Kebijakan otonomi daerah sejak 2001 hanya kosmetik. Sistem fiskalnya masih sangat sentralistik,” tegas mantan anggota Badan Anggaran DPR RI itu.
Menurutnya, pemerintah pusat masih menguasai pendapatan nasional sementara daerah hanya diberi kewenangan terbatas untuk memungut pajak kecil dan mengelola sumber daya yang minim.
“Daerah diminta menanggung beban besar untuk urus rakyat tanpa dukungan pendapatan yang memadai,” katanya.
Ia juga mengkritik ketidakefisienan pemerintah pusat yang kerap melantik pejabat baru dan menebar penghargaan, sementara daerah dibebani kebijakan penghematan.
“Prestasi pemerintahan sekarang kalau mau jujur cuma gonta-ganti pejabat dan pidato ke mana-mana. Tapi Menkeu berlagak paling benar,” sindir Engelina.
Bahaya Dominasi Fiskal dan Politisasi Daerah
Menurut Engelina, gaya kepemimpinan Menkeu yang dominatif berbahaya karena menempatkan daerah sepenuhnya dalam posisi bergantung.
“Dominasi fiskal ini bisa dipakai untuk kepentingan apa saja, bahkan untuk mengontrol politik daerah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, di balik setiap gubernur ada rakyat yang bergantung pada anggaran publik.
“Kalau pusat malas urus daerah, biarkan daerah urus diri sendiri. Sebelum republik ini berdiri, rakyat di daerah sudah hidup ribuan tahun. Jangan seolah kalau pusat tidak ada, rakyat daerah tak bisa hidup,” tegasnya.
Peringatan atas Gaya Komunikasi Elit Pusat
Engelina menutup dengan peringatan keras agar elit pemerintah pusat berhati-hati dalam berucap.
“Kesombongan di ruang publik bisa memprovokasi rakyat. Kalau kekecewaan daerah memuncak, dampaknya tidak akan mudah dikendalikan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa trauma politik dan sosial di Papua dan Aceh belum sepenuhnya pulih.
“Jangan perkeruh keadaan dengan pernyataan yang menyinggung atau merendahkan. Setiap ucapan pejabat adalah pegangan rakyat,” tutup Engelina Pattiasina.