titastory.id, masohi – Sidang dakwaan pelaku pengibaran bendera RMS atas nama Anthonius Latumatuany alias Anton, salah satu masyarakat Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Maluku, kembali digelar, senin (02/09/ 2023).
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli diajukan Penasehat Hukum terdakwa. Perhelatan perkara pidana, dan Anton didakwa pasal makar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Masohi ini dipimpin Bulbul Usman Resa selaku hakim ketua didampingi dua hakim anggota masing-masing, Maryo M. Soplantila, Muhamad Resa Fahmianto.
Penasihat Hukum terdakwa, Semuel Waileruny dalam keterangannya menyampaikan bakal menghadirkan 3 saksi ahli yang telah disusulkan ke Majelis Hakim, untuk didengarkan keterangannya dalam sidang di PN Masohi.
Tidak main-main, dalam membela kliennya Waileruny mengajukan tiga saksi ahli. Mereka adalah Ketua Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta, Usman Hamid , Akademisi Hukum Internasional di Ambon, Hendrik Apituley, dan salah satu Pengacara di Belanda, mr G. Wattilete . Menariknya, selain sebagai pengacara, G. Wattilete diduga merupakan Kepala Negara (KN) RMS di pengasingan Belanda yang dilabeli separatis oleh pemerintah Indonesia.
Pemberitahuan pemeriksaan saksi ahli terhadap perkara Nomor 32/Pid.b/2023/PN.Msh atas nama Antonius Latumutuany telah diajukan kepada hakim dalam sidang yang digelar Senin (25/9/2023) lalu.
“Berdasarkan ketentuan pasal I l ayat (3) d, dan ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2020, maka dalam upaya menemukan kebenaran material bagi putusan Pengadilan yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa terhadap diri terdakwa Antonius Latumutuany dalam perkara tersebut di atas, maka akan menghadirkan 3 saksi ahli,”ungkap Waeleruny, Jumat (28/9/2023)
Disebutkan, saksi ahli Hendrik Apituley telah memberikan penjelasan pada sidang yang digelar Senin, 2/09/2023) dimana Apituley sudah dua kali dihadirkan dalam persidangan atas tuduhan makar di Pengadilan Negeri Ambon.
Dikatakan, Semy, Saksi lainnya, Johan Gerardus Wattilete akan memberikan penjelasan secara online yang rencananya akan dilakukan tanggal 16 Oktober 2023. Dimana Ahli ini berkedudukan di Koninkrijk der Nederlanden (Belanda) dan statusnya sebagai Kepala Negara RMS di Pengasingan. Sedangkan saksi Usman Hamid Direktur Amnesty Internasional akan didengar penjelasannya berikutnya. Meskipun demikian, kepastian G Wattilete menjadi saksi dalam sidang, masih akan menunggu putusan dari majelis hakim.
Untuk diketahui, terdakwa mengibarkan bendera RMS usai melaksanakan ritual sasi adat, sebagai protes atas tindakan pihak Balai Taman Nasional Manusela yang memasang pal batas tanah, di atas kebun masyarakat adat setempat.
Pantauan media ini, sebelum masuk ke pokok perkara dalam hal pembeberan oleh saksi ahli, Hakim ketua pun mempersilahkan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan pasal 106 KUHP tentang Makar, dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah ke negara lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dalam kaitan dengan pasal yang dituduhkan ke Anthon, Hendrik Apituley, senin (02/09/2023) menerangkan bahwa dalam posisi hukum internasional terdakwa tidak cocok diadili dengan pasal Pidana 106 tentang Makar. Penjelasan ahli ini pun dikaitkan dengan history atau sejarah terbentuknya Republik Indonesia dan keberadaan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memiliki sejumlah negara bagian yang meleburkan diri menjadi RI, sementara RMS memilih untuk menjadi negara sendiri, bhakan katanya, penguasaan RI atas wilayah Maluku diduga merupakan bentuk aneksasi kepada bangsa Maluku atau Alifuru.
Menjurus pada kasus dakwaan, Apituley juga menerangkan bahwa pasal Makar tidaklah cocok karena tidak ada niat terdakwa untuk pisahkan diri dari NKRI. Dan itu adalah bagian dari ekspresi. Dan semestinya, pemerintah harus minta izin ke masyarakat adat Piliana sebelum melakukan aktivitas. Kasus di Negeri Piliana adalah catatan bahwa sebelum negara ini ada masyarakat adat lebih dulu ada, sehingga perbuatan Anthonius yang kemudian di dakwa adalah bentuk ekspresi ketidakpuasan.
“Dalam pandangan hukum internasional tidak mengenal yang namanya makar, justru hukum internasional mendudukkan masyarakat sebagai objek yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat,” ucapnya.
Apituley juga menerangkan bahwa, pada Bulan November 1949 Perjanjian Konferensi Meja Bundar dinegosiasikan di Den Haag di bawah naungan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk merumuskan agenda pengalihan kedaulatan dari pemegang kekuasaan kolonial sebelumnya, Belanda ke Negara Indonesia Serikat sesuai dengan prinsip Renville.
Dan sesuai Pasal 2 (1) Perjanjian Ketiga (Langkah- langkah Transisi) dari Konferensi menyatakan: Pembagian Republik Indonesia Serikat menjadi negara-negara bagian pada akhirnya akan ditetapkan oleh Majelis Konstituante sesuai dengan Konstitusi Sementara Negara Indonesia Serikat (RIS) dengan pemahaman bahwa pemungutan suara akan diadakan di antara penduduk wilayah-wilayah yang ditunjukkan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat atas rekomendasi Komisi Amerika Serikat untuk Indonesia, atau salah satu organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah pengawasan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang dimaksud mengenal persoalan pembentukan negara komponen yang terpisah.
Pasal 2 (2) menyatakan, Setiap negara bagian harus diberi kesempatan untuk meratifikasi konstitusi sah. Dalam hal negara komponen tidak meratifikasi konstitusi, maka diperbolehkan untuk merundingkan hubungan khusus negara bagian tersebut dengan Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Setelah mengatur pengalihan kedaulatan dari wilayah Hindia Belanda ke Indonesia yang telah merdeka, dalam Perjanjian ini, Belanda membentuk lima belas negara bagian federal. Konstitusi Federat yang dibuat pada tahun 1949 dan dokumen ini juga membahas secara singkat masalah penentuan nasib sendiri.
“Konstitusi ini mengizinkan penentuan nasib sendiri internal yang dipahami sebagai hak dari setiap orang untuk memutuskan status mereka dalam struktur federal Negara Indonesia Serikat Hindia Belanda secara resmi tidak ada lagi pada tanggal 27 Desember 1949 dan Republik Indonesia Serikat didirikan. Saat masuk PBB tahun 1950, RIS telah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua instrumen hukum tersebut menjanjikan hak untuk menentukan nasib sendiri masyarakat Maluku Selatan. Rakyat Maluku Selatan telah memilih untuk menggunakan hak ini melalui proklamasi kemerdekaan dengan proklamasinya tanggal 25 April 1950,” urainya.
Apituley dalam kedudukan sebagai ahli di ruang sidang yang memberikan keterangan di bawa sumpah menguraikan bahwa pada intinya bahwa RMS yang diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950, memenuhi semua syarat sah sebagai negara menurut hukum Internasional. Proklamasi RMS tanggal 25 April 1950, sebagai
implementasi dari hak menentukan nasib sendiri oleh orang Maluku Selatan Dalam hukum
Internasional, Orang Maluku (Maluku Selatan) sebagai suatu bangsa yakni bangsa Maluku – Alifuru berhak untuk menentukan nasib sendiri sebagai suatu negara RMS sebagai negara yang sah kemudian ditaklukkan dengan cara aneksasi (dengan cara tidak sah) oleh NKRI yang pembentukannya baru dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1950.
“Pembentukan NKRI tahun 1950 tidak sah menurut hukum internasional oleh karena tidak dilakukan melalui penentuan pendapat rakyat sebagaimana yang diwajibkan oleh hukum Internasional. Penaklukan secara tidak sah Negara RMS oleh NKRI tidak menjadi penyebab Negara RMS menjadi hilang RMS tetap ada dan diakui keberadaannya walaupun rakyatnya saat ini telah menjadi rakyat NKRI wilayahnya saat ini telah menjadi Wilayah NKRI (salah satu provinsi dari NKRI) dan pemerintahannya saat ini berada dalam pengasingan di Negeri
Belanda dan dalam pandangan hukum Internasional menentang cara-cara penaklukkan suatu negara dengan cara aneksasi. Demikian dipaparkan Ahli menjawab pertanyaan salah satu Majelis Hakim.
Terungkap juga dalam sidang yang dilaksanakan, Senin (2/09/2023) pertanyaan kuasa hukum terdakwa atas dugaan penyiksaan saat dalam tahanan. Ahli pun melontarkan jawaban bahwa seseorang dianggap bersalah setelah proses pengadilan. Dan penyiksaan itu adalah Pelanggaran HAM. (TIM)
Discussion about this post