Belem, Brasil, – Pada 18 November 2025, PBI Kanada menggelar sebuah webinar internasional yang menghadirkan tiga figur penting dalam isu lingkungan dan masyarakat adat: Dina Danomira dan Teddy Wakum, pembela tanah dan lingkungan hidup dari Papua Barat, serta Javier Garate, penasihat kebijakan Global Witness di Brasil. Lebih dari 100 peserta dari 14 negara turut menyimak percakapan yang menyoroti ancaman serius terhadap ruang hidup masyarakat adat di Indonesia menjelang COP30 di Belém, Brasil.
Pada hari yang sama, Pelapor Khusus PBB termasuk Mary Lawlor, Michel Forst, dan Elisa Morgera mengeluarkan pernyataan keras:
“Masyarakat Adat menghadapi pelanggaran yang meluas… Solusi iklim harus dikembangkan bersama mereka.”
Pernyataan ini secara langsung menegaskan situasi kritis yang sedang terjadi di Papua Barat dan berbagai wilayah adat lainnya di Indonesia.

Papua Barat: “Hutan Hujan Terbesar Ketiga Dunia Sedang Hancur”
Dalam webinar tersebut, Dina Danomira membuka fakta yang jarang diketahui publik internasional bahwa Papua Barat memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Amazon dan Kongo. Tapi mereka menghadapi kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang masif.
The Guardian telah melaporkan bagaimana Papua Barat di bawah kendali Indonesia sejak 1963 menjadi lokasi ribuan hektar hutan yang ditebang untuk tebu, sawit, bioetanol, dan berbagai konsesi tambang emas, tembaga, mineral, maupun gas alam.
Pertanyaan besar pun muncul: Bagaimana komitmen iklim global bisa dicapai jika salah satu paru-paru bumi dibiarkan terus rusak atas nama investasi?
Merauke: 2 Juta Hektar Hutan & Savana Terancam Hilang
Teddy Wakum, pengacara dan Direktur LBH Merauke, memaparkan ancaman terbesar mereka saat ini adalah pembukaan secara besar-besaran lahan dan hutan.
“Kami prihatin dengan rencana pemerintah mengambil alih dua juta hektar lahan di Merauke.”
Dia katakan, menurut data Mongabay sebelumnya mengungkapkan sebanyak 2 juta hektar hutan, rawa, dan padang rumput akan dibabat untuk mega-proyek tebu. selain itu juga melibatkan 5 konsorsium raksasa, termasuk PT Global Papua Abadi dengan nilai investasi mencapai Rp 130 triliun.
Menurut laporan investigasi, proyek ini merupakan bagian dari PSN (Proyek Strategis Nasional) yang sering mengorbankan hak masyarakat adat.
Wakum menegaskan bahwa masyarakat adat sudah menghadapi kriminalisasi, konflik, dan hilangnya ruang hidup akibat proyek food estate yang dipaksakan.
Global Witness: 2.253 Pembela Lingkungan Tewas Sejak 2012
Javier Garate dari Global Witness membawa perspektif global yang menggetarkan: Sejak 2012, sedikitnya 2.253 pembela tanah dan lingkungan tewas atau hilang.
Di Indonesia saja menurutnya, 25 orang pembela lingkungan dilaporkan tewas dalam rentang 2012–2024, termasuk aktivis anti-tambang dan pejuang adat yang mempertahankan wilayah mereka dari ekspansi perkebunan dan proyek PSN.
Dalam COP Rakyat di Brasil, satu tembok khusus menampilkan ribuan nama pembela lingkungan yang gugur sebagai simbol perlawanan.
Petisi Mendunia: Hentikan PSN Merauke
Di akhir webinar, Dina Danomira menyampaikan seruan penting, Sekadar menyebut Papua Barat dalam aksi atau protes di mana pun, sangat berarti bagi mereka. Kasus Merauke Papua, kata Dina, sama dengan Amazon, Kongo, bahkan Palestina.
Ia mendorong solidaritas global melalui petisi internasional agar membantu menyuarakan petisi
“Perampasan Lahan & Deforestasi Terbesar: Presiden Prabowo, Hentikan PSN Merauke.”
Petisi ini menjadi bagian dari gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi yang menuntut evaluasi seluruh proyek strategis nasional yang dituding memicu kekerasan, penggusuran, dan konflik agraria.
Peringatan PBB: Perlindungan Pembela HAM Harus Jadi Syarat Pendanaan Iklim
Sejalan dengan webinar, Pelapor Khusus PBB Elisa Morgera menulis pernyataan keras agar Indonesia bisa Melindungi pembela HAM adalah inti pencapaian Perjanjian Paris. Tanpa perlindungan mereka, kata Elisa, tidak ada transisi energi yang adil.
PBB kata Elisa juga menekankan bahwa: Proyek tambang nikel, biofuel, PSN, dan kredit karbon tidak boleh dijalankan tanpa persetujuan masyarakat adat. Selain itu, Pendanaan iklim internasional harus mewajibkan perlindungan terhadap pembela HAM dan wilayah adat.
COP30 dan UNEA-7 katanya juga menjadi momentum penting untuk mendesak negara-negara, termasuk Indonesia.
Agenda Global Mendatang
UNEA-7 – Nairobi, Kenya pada 8–12 Desember 2025, COP30 Belém, Brasil 2025 dan COP31 Antalya, Turki pada November 2026. Ketiga forum ini akan menjadi ruang utama bagi gerakan global untuk mendorong perlindungan masyarakat adat dan pembela lingkungan.
Webinar PBI Kanada ini menjadi panggung penting yang menghubungkan Papua Barat dengan solidaritas internasional.
Kerusakan ekologis, proyek PSN, ekspansi tebu dan sawit, kriminalisasi pejuang adat, hingga pembakaran hutan demi industri ekstraktif adalah isu global yang kini tak bisa lagi disembunyikan.
Suara Danomira menutup webinar dengan pesan yang menggetarkan:
“Kami tidak meminta banyak. Kami hanya meminta dunia melihat Papua Barat.”
