Hutan adat Kapiraya di Papua Tengah porak-poranda akibat penebangan dan tambang ilegal. Seorang tua adat menuturkan perjuangannya menjaga sisa hutan yang tinggal separuh napas.
Deiyai, Papua Tengah – Di balik lereng Pegunungan Papua Tengah, hutan Kapiraya yang dulu hijau kini sepi dan gundul. Di tempat yang dahulu menjadi rumah bagi burung-burung surga dan damar bergetah bening, kini hanya tersisa batang rebah, tunggul lapuk, dan tanah merah yang retak.
Dari udara, ketika helikopter yang saya tumpangi dari Waghete menurunkan roda di padang rumput Kapiraya, luka hutan itu terlihat jelas. Sungai mengeruh, tanah terbelah, dan bekas roda alat berat membentuk jalur panjang menuju tepi sungai.
Di tengah hamparan itu berdiri Belian Badokapa, seorang tua adat Suku Mee yang sejak muda menjaga hutan kampungnya. Ia mengenakan koteka, menggenggam busur di tangan, dan memandangi lembah yang kini terbuka seperti dada yang disayat.
“Hutan ini dulu tempat kami berburu, tempat anak-anak bermain,” katanya dengan suara pelan.“Perusahaan datang mencuri kayu, dibeking aparat. Kami sudah usir, tapi hutan kami habis.”
Belian menunduk. Di sekelilingnya, batang-batang damar berserakan, bekas gergaji masih terlihat di pangkal batang. “Ribuan kayu dibawa lewat kapal. Bahkan ada kapal rusak karena muatannya terlalu banyak,” ujarnya lirih.
Hutan yang Hilang, Sungai yang Mati
Distrik Kapiraya di Kabupaten Deiyai kini menjadi sorotan akibat aktivitas ilegal logging dan tambang emas liar. Warga menyebut dua nama perusahaan: PT Mutiara Alas Katulistiwa, penebang kayu besi dan damar, serta PT Zoomlion, yang masuk belakangan untuk menambang emas tanpa izin.
Akibatnya, lanskap Kapiraya berubah total. Sungai yang dulu jernih kini keruh dan beracun. Ikan-ikan mati, ladang mengering, dan warga kehilangan sumber air minum.
“Air kami sekarang seperti lumpur,” kata seorang ibu di Kampung Apiraya.
“Anak-anak sering gatal, dan tanaman di kebun tak tumbuh.”
Masalah bertambah pelik karena batas wilayah antara Mimika, Dogiyai, dan Deiyai belum tuntas disepakati. Situasi itu membuka celah bagi perusahaan untuk beroperasi tanpa izin yang jelas. Aparat keamanan disebut warga justru mengawal perusahaan alih-alih melindungi masyarakat adat.

Pemerintah Provinsi Papua Tengah telah menyatakan bahwa aktivitas tambang dan penebangan di Kapiraya ilegal dan melanggar hukum. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret.
Seorang pejabat Dinas Kehutanan Papua Tengah yang enggan disebut namanya mengakui lemahnya koordinasi antar kabupaten.
“Semua tahu itu pelanggaran,” katanya. “Tapi untuk menertibkan, kami butuh sinergi lintas wilayah. Itu yang sulit di Papua.”
Sementara itu, warga bertahan dengan cara sendiri. Mereka melakukan sasi hutan — ritual adat untuk menandai kawasan sakral yang tak boleh diganggu. Namun ritual itu sering diabaikan. Perusahaan datang membawa alat berat dan senjata, sementara warga hanya memiliki panah dan doa.
Ketika Adat Tak Lagi Didengar
Bagi masyarakat adat Mee dan Komoro, hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi sumber kehidupan dan spiritualitas. Setiap pohon dianggap memiliki roh, setiap mata air punya penjaga. Namun, di mata para pemodal, semua itu hanya sumber daya.
“Kami tidak menolak pembangunan,” kata Belian. “Kami hanya mau diajak bicara. Jangan datang mencuri seperti pencuri di malam hari.”
Ia menunjuk dua kawasan yang disebutnya sakral: Ka Wan Fafu Olon dan Kaku Mokin Lahin. Dua tempat itu kini telah diratakan. “Di situ leluhur kami berdoa. Sekarang hilang,” katanya sambil menatap tanah kosong.
Kasus Kapiraya mencerminkan wajah lama konflik agraria di Papua: masyarakat adat menjadi penonton di tanah sendiri. Mereka jarang tahu isi izin, tidak dilibatkan dalam konsultasi, dan tidak mendapat kompensasi.
“Kalau kami ribut, kami dianggap ganggu proyek negara,” kata seorang pemuda Kapiraya. “Kami ini hanya pemilik tanah di atas kertas adat, bukan di mata hukum.”
Ketiadaan pengakuan atas tanah ulayat membuat masyarakat mudah tergusur. Ketika aparat datang, mereka sering membawa surat perintah yang tak pernah diperlihatkan kepada warga. Situasi ini menegaskan betapa jauh jarak antara hukum formal dan keadilan sosial di Papua Tengah.

Menjaga Sisa Harapan
Meski banyak kehilangan, masyarakat Kapiraya tak menyerah. Mereka membentuk kelompok penjaga hutan adat, menanam kembali damar dan meranti, dan mengawasi pergerakan orang luar. Namun tanpa dukungan negara, upaya mereka seperti melawan arus besar.
“Kami bukan melawan negara,” ujar Belian Badokapa sebelum kami berpisah.
“Kami hanya jaga hutan agar anak cucu kami masih punya tempat tinggal.”
Di antara batang pohon rebah dan suara jangkrik yang menggantikan kicau burung, semangat masyarakat Kapiraya tetap hidup. Di tengah sunyi, mereka terus menjaga apa yang tersisa—hutan, martabat, dan harapan.
Kasus penebangan liar dan tambang emas ilegal di Distrik Kapiraya, Kabupaten Deiyai, telah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Papua Tengah. Namun hingga berita ini ditulis, belum ada tindakan hukum terhadap perusahaan yang disebut terlibat dalam aktivitas tersebut.
Penulis: Jackson Ikomou
