Cendrawasih, Burung Surga di Pulau Kobror Kepulauan Aru

23/01/2025
Seekor burung Cendrawasih jantan sedang menari dan memperlihatkan keindahan bulunya yang berkilauan keemasan saat bertengger di salah satu dahan pohon. Foto: christ/titastory

“KUK kuk, kuk kuk, kuk kuk, kuk kuk.” Suara nyaring itu memecah keheningan di tengah belantara Pulau Kobror, Aru Tengah. Burung cendrawasih, si burung surga, akhirnya terdengar. Kami segera memperlambat langkah, mencoba menyelinap lebih dalam ke hutan. Aroma dedaunan basah bercampur tanah khas hutan tropis menemani perjalanan ini, memberikan kesan menenangkan di tengah ketegangan menunggu kemunculan sang burung.

Perjalanan dimulai dari Desa Lorang, tempat tinggal masyarakat asli yang menggantungkan hidup mereka pada hasil hutan dan laut. Menggunakan longboat, kami melintasi selat kecil yang nyaris seperti sungai, dikelilingi mangrove hijau yang rapat. Setelah satu jam perjalanan air, kami tiba di Pulau Kobror, rumah bagi salah satu hutan perawan yang tersisa di Kepulauan Aru.

Jalur menuju Kokoyarjurem, lokasi favorit burung cendrawasih menari, tak mudah dilalui. Hutan yang rapat dengan akar pohon menyembul dari tanah memaksa kami berhati-hati agar tak tersandung. Mika Ganobal, pemandu kami dari Desa Lorang, memimpin perjalanan dengan langkah pasti. “Hati-hati. Jangan terlalu berisik, karena mereka bisa mendengar dari jauh,” katanya. Kami berjalan sekitar 30 menit sebelum akhirnya menemukan tempat terbaik untuk bersembunyi.

Kepulauan Aru yang terdiri dari pulau-pulau yang saling berhimpitan dan terbentang dari timur ke barat oleh tiga aliran utama yang terhubung dengan laut. (Foto: oleh Forest Watch Indonesia)

Tarian Sang Cendrawasih

Di bawah kerindangan pohon raksasa, kami menunggu. Sepuluh menit berlalu, lalu dua puluh. Hutan terasa begitu sunyi hingga bunyi napas kami terdengar jelas. Tiba-tiba, Mika memberi isyarat agar kami diam sepenuhnya. Dengan perlahan, saya mengangkat kepala, dan di atas dahan pohon terlihat seekor burung cendrawasih jantan dengan bulu keemasan panjang yang menjuntai.

Jantan itu mulai menari. Kepakan sayapnya, gemulai gerak tubuhnya, dan bulunya yang berkilauan dalam cahaya pagi seperti tarian surgawi. Beberapa burung betina segera mendekat, menjadi penonton setia sang jantan. Ritual ini adalah bagian dari musim kawin mereka, yang biasanya terjadi antara Juni hingga Agustus.

Burung ini adalah simbol keindahan dan keagungan alam Papua, tetapi sekaligus menjadi salah satu satwa yang paling terancam.

“Cendrawasih semakin sulit ditemukan karena banyak diburu. Mereka dulu jadi hiasan topi atau sekadar koleksi,” kata Mika.

Penulis bersama beberapa warga Aru sedang memantau langsung burung cendrawasih di Kokoyarjurem kawasan hutan Kobror, tempat mengamati burung cendrawasih. (Foto: christ/titastory)

Keindahan yang Terancam

 Kepulauan Aru menyimpan sekitar 83 persen hutan perawan, menjadikannya salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain cendrawasih, kawasan ini adalah habitat bagi kasuari, kanguru pohon, dan ratusan spesies endemik lainnya. Namun, ancaman datang dari berbagai arah. Penebangan liar, perburuan, hingga rencana alih fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar kerap menghantui.

Beberapa tahun lalu, rencana perkebunan tebu oleh PT Menara Grup memicu gelombang penolakan masyarakat lokal. Beruntung, upaya advokasi berhasil menggagalkan proyek itu. Namun, ancaman serupa bisa saja muncul kapan saja. “Jika habitat mereka rusak, burung-burung ini tak akan punya tempat lagi untuk hidup,” kata Simon Kamsi, aktivis lingkungan setempat.

Selain itu, perubahan iklim mulai menunjukkan dampaknya di wilayah ini. Pola hujan yang tak menentu memengaruhi musim kawin dan ketersediaan makanan bagi satwa liar. Situasi ini menambah tekanan bagi spesies yang sudah rentan.

Saat matahari mulai turun ke barat, kami meninggalkan Kokoyarjurem dengan langkah berat. Perjalanan kembali ke Desa Lorang terasa lebih sunyi, seperti menyerap pelajaran dari hutan dan penghuninya. Burung cendrawasih tak hanya simbol keindahan, tetapi juga pengingat bahwa manusia punya tanggung jawab besar menjaga rumah bersama ini.

Kepulauan Aru adalah permata yang tak ternilai. Hutan, burung-burung, dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan alam adalah cerita yang tak boleh hilang. Ketika saya menengok ke belakang, bayangan burung cendrawasih yang menari masih tergambar jelas. Ia seperti berbisik, memohon agar hutan ini tetap lestari.

Seekor burung Cendrawasih jantan sedang menari dan memperlihatkan keindahan bulunya yang berkilauan keemasan saat bertengger di salah satu dahan pohon. Foto: christ/titastory

Keindahan yang Terancam: Penelitian tentang Burung Cenderawasih di Kepulauan Aru

Kabupaten Kepulauan Aru adalah gugusan pulau di tenggara Provinsi Maluku yang dikelilingi selat-selat, disebut “wakat” atau sungai oleh masyarakat setempat. Namun, selat ini bukan sungai biasa melainkan laut bebas tanpa sumber air darat. Kabupaten ini termasuk wilayah muda, terbentuk berdasarkan UU No. 40 Tahun 2003 melalui pemekaran Kabupaten Maluku Tengah. Awalnya terdiri dari tiga kecamatan: Kecamatan PP Aru (ibukota Dobo), Kecamatan Aru Tengah (ibukota Benjina), dan Kecamatan Aru Selatan (ibukota Djerol).

Kabupaten Kepulauan Aru, yang berbatasan langsung dengan perairan Australia, memiliki keindahan alam serta keanekaragaman flora dan fauna. Salah satu keunikan fauna di wilayah ini adalah burung cenderawasih (Paradisaea apoda). Penelitian oleh Lesly Latupapua dari Universitas Pattimura Ambon bersama C.K. Pattinasarany dan L. Kasanaborbi menyoroti habitat dan populasi burung ini di Desa Laininir, Pulau Trangan, Kecamatan Aru Selatan.

Di tengah kepulauan yang terpencil dan memukau di Aru, burung cenderawasih, yang dikenal sebagai “burung dari surga,” mengisyaratkan keindahan hutan yang memikat sekaligus menyimpan misteri ekologi. Namun, di balik panorama alam yang spektakuler ini, ancaman terhadap keberlangsungan hidup cenderawasih semakin nyata, mendorong para peneliti dan konservasionis untuk bertindak.

Hamparan Hutan Mangrove di Aru Tengah. (Foto: Christ belseran)

Kepulauan Aru: Surga Terakhir bagi Cenderawasih

Kepulauan Aru terletak di kawasan paling timur Indonesia, dikelilingi oleh laut biru jernih dan hutan lebat yang menjadi habitat alami bagi berbagai spesies endemik, termasuk beberapa jenis burung cenderawasih. Kawasan ini menjadi pusat perhatian ilmuwan karena keragaman hayatinya yang unik dan perannya sebagai ekosistem yang penting secara global.

Menurut penelitian terbaru, terdapat setidaknya lima spesies cenderawasih yang menghuni Kepulauan Aru, termasuk cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) dan cenderawasih raja (Cicinnurus regius).

“Burung ini tidak hanya penting secara ekologi tetapi juga memiliki nilai budaya yang mendalam bagi masyarakat Aru,” ujar Dr. Maria Lenora, seorang peneliti burung dari Universitas Cendrawasih Papua.

Namun, ancaman terhadap keberlangsungan hidup burung ini semakin meningkat. Perluasan perkebunan sawit, aktivitas pembalakan liar, dan perburuan ilegal telah mengurangi luas hutan primer yang menjadi habitat utama cenderawasih. Data dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Maluku menunjukkan bahwa lebih dari 30% hutan di Kepulauan Aru telah dikonversi menjadi lahan pertanian dalam dua dekade terakhir.

Selain itu, perdagangan ilegal bulu cenderawasih, yang sering digunakan sebagai hiasan tradisional, masih menjadi masalah besar. Meskipun ada larangan perdagangan internasional melalui Konvensi CITES, permintaan lokal dan internasional tetap tinggi.

“Perburuan burung cenderawasih tidak hanya mengancam populasi mereka tetapi juga memengaruhi keseimbangan ekosistem,” kata Dr. Lenora.

 

Penelitian dan Upaya Konservasi

Di tengah berbagai ancaman, upaya penelitian dan konservasi di Kepulauan Aru terus dilakukan. Penelitian terbaru yang dipimpin oleh tim dari Universitas Papua berfokus pada pola perilaku dan ekologi burung cenderawasih, termasuk analisis kebiasaan makan, musim kawin, dan dinamika populasi mereka.

“Kami menemukan bahwa cenderawasih sangat bergantung pada hutan primer untuk bertahan hidup. Kehilangan habitat hutan primer akan membawa konsekuensi serius bagi populasi mereka,” ungkap Dr. Lenora.

Selain itu, program konservasi berbasis masyarakat mulai diterapkan. Yayasan Keanekaragaman Hayati Maluku bekerja sama dengan masyarakat adat untuk melestarikan hutan dan membangun kesadaran tentang pentingnya melindungi burung cenderawasih.

Pendekatan ini melibatkan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan adat dan pelatihan untuk mengurangi ketergantungan pada perburuan liar.

“Masyarakat adat di Aru telah hidup berdampingan dengan burung cenderawasih selama berabad-abad. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan burung ini,” kata Samuel Rumatan, koordinator lapangan yayasan tersebut.

Pendidikan lingkungan juga menjadi komponen utama dalam melindungi cenderawasih. Program pendidikan untuk anak-anak dan remaja di Kepulauan Aru bertujuan menanamkan nilai-nilai pelestarian sejak dini. “Generasi muda perlu memahami bahwa melindungi cenderawasih berarti melindungi masa depan ekosistem kita,” ujar Samuel.

Kerja sama antara lembaga pemerintah, LSM, dan akademisi juga menjadi kunci keberhasilan konservasi. Pemerintah daerah Aru telah mengusulkan inisiatif baru untuk memperluas kawasan konservasi dan meningkatkan penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal yang mengancam cenderawasih.

 

Harapan bagi Burung dari Surga

Di tengah tantangan besar, upaya untuk melindungi burung cenderawasih di Kepulauan Aru menunjukkan tanda-tanda harapan. Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat lokal, pemerintah, dan komunitas internasional, keindahan burung dari surga ini mungkin masih bisa dinikmati oleh generasi mendatang.

“Cenderawasih adalah simbol dari harmoni alam yang rapuh. Kita harus melindunginya, bukan hanya untuk mereka tetapi juga untuk kita sendiri,” pungkas Dr. Lenora.

Penulis adalah Christ Jacob Belseran, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta
error: Content is protected !!