titaStory, Maluku Utara – UPAYA untuk mencari keadilan terus digalakan oleh masyarakat adat Tobelo Dalam atas dugaan Tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Polres Halmahera Timur.
Atas upaya tersebut, Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara menerima permohonan masyarakay adat ini dengan menggelar persidangan perdana pra Peradilan yang diajukan oleh 2 (dua) anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa), yang bernama Samuel Baikole dan Alen Baikole, Selasa, (2/5/2023).
Upaya hukum ini dilakukan karena adanya dugaan kesalahan prosedur dan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Termohon (Kepolisian Polres Halmahera Timur) mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka.
Termohon, diduga melakukan penangkapan dan penahanan terhadap dua tersangka yang dituduh telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang masyarakat dari Dusun Tukur-Tukur pada Oktober 2002.
Persidangan ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, Kemal Syafrudin, S.H.
Pada persidangan ini, kedua tersangka diwakili oleh kuasa hukumnya yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Kuasa hukum kedua tersangka berjumlah 11 advokat pembela yang berasal dari Jakarta, Makasar dan Ternate.
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, turut hadir dalam persidangan tersebut, menjelaskan mengenai gugatan Praperadilan ini dilakukan karena diyakini adanya tindakan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status kedua Masyarakat Adat sebagai tersangka.
Tindakan ini menurutnya, merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena termohon yang dalam persidangan ora peradilan ini diwakilkan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Kedua tersangka.
“Berdasarkan keterangan yang kami miliki, sangat kuat dugaan bahwa penangkapan serta penahanan tersangka telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)” ungkap Alam.
Ketua PPMAN ini menambahkan bahwa tindakan Termohon dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik Tersangka tanpa prosedur merupakan tindakan pelanggaran hukum, karena sejatinya penyitaan barang milik tersangka harus memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dan selain itu penyitaan harusnya dilakukan melalui proses di Pengadilan, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atau setidaknya mengacuh pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.
Sementara itu, Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, mengatakan bahwa tindakan termohon dengan melakukan kekerasan dengan cara menendang, memukul, mengikat tangan tersangka di kursi, mengintimidasi dan mengancam agar kedua tersangka mengakui perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang harus dituntut secara hukum.
Perempuan yang biasa disapa dengan Rani ini juga menambahkan bahwa gugatan Prapid ini juga meminta kepada Termohon untuk memberikan ganti kerugian atas tindakan yang telah merugikan kedua tersangka, kerugian baik itu secara materiil maupun imateriil.
“Selain itu Termohon harus melakukan rehabilitasi nama baik kedua tersangka melalui media lokal dan media nasional”, tuntut Rani.
Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentikan penuntutan dan Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi (pasal 1 angka 10 KUHAP).
Agenda persidangan pra peradilan berikutnya pada tanggal 3 sampai dengan 9 Mei 2023 adalah pembuktian, kesimpulan para pihak dan majelis tunggal pada tanggal 9 Mei 2023 rencananya akan menjatuhkan putusan atas perkara ini.
Sebelumnya, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), kata alam menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh anggota masyarakat adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara oleh anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur.
“Korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat interogasi kepolisian, anggota keluarga dibatasi aksesnya bertemu, serta korban dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban,” ujarnya.
Penangkapan dan penyiksaan, menurut Ketua PPMAN ini diduga erat kaitannya sebagai pembatasan atas upaya enam orang masyarakat adat menggunakan hak hukumnya membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang mengharuskan mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun di penjara Lembaga Permasyarakatan Ternate.
Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari eskpansi modal dan pembangunan di wilayah masyarakat adat Tobelo Dalam yang massif. Upaya sistematis -kriminalisasi- ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan masyarakat adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka.
Alam merunut penyiksaan yang terjadi berawal saat aparat Kepolisian Halmahera Timur menangkap dan menahan Alen Baikole, seorang anggota masyarakat adat suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara, rabu, 22 Maret 2023. Alen Baikole, diduga ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada rabu pagi hari oleh anggota kepolisian.
“Informasi yang dihimpun oleh Perhimpunan Pembela Masyaraat Adat Nusantara (PPMAN) di lokasi peristiwa, diduga Alen telah mengalami penyiksaan pada saat penangkapan atau saat dilakukan interogasi oleh pihak kepolisian Halmahera Timur. Luka memar di wajah Alen diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi,” tukasnya.
Alen, kata Alam, mengeluhkan sakit dibagian dada dan seluruh badannya karena ditendang.
“Informasi terhimpun, kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi”
Tak hanya Alen yang ditangkap, Samuel Baikole masyarakat adat di Dusun Tukur-tukur juga ditangkap oleh aparat Polres Halmahera Timur.
Syamsul bilang, sehari sebelum penangkapan, Samuel Baikole, dimintai keterangan oleh penyidik di Polres Halmahera Timur. Diduga Samuel mendapatkan tekanan dalam proses pengambilan keterangan, pada tanggal 21 Maret 2023, Samuel ditahan oleh penyidik Polres Halmahera Timur.
Alen Baikole kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada tanggal 29 Oktober 2022 di Lokasi Kebun Semilo Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur. Penetapan status tersangka Alen Baikole dituangkan dalam surat penetapan tersangka Nomor: Sp. Tap/34/III/Res 1.7/2023/Reskrim, Tanggal 22 Maret 2023.
Istri Alen, “Y” yang berusaha menemui suaminya di Polres Haltim pada sore hari juga mengalami intimidasi, anggota polisi yang bertugas membatasi akses untuk menemui tersangka.
Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa “Y” untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022. Meskipun terus di tekan oleh penyidik, “Y” tetap tidak memberikan pengakuan atas keterangan yang diinginkan oleh penyidik.
“Saksi “Y” berusaha meyakinkan penyidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersama “Y”. Meskipun demikian, dengan nada mengancam akan memenjarakan “Y” selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa “Y” untuk membenarkan tuduhannya,” kata Alam.
Hak Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara merilis kasus yang terjadi di Halmahera Timur khususnya di komunitas Masyarakat adat Tobelo Dalam di Dusun Tukur-Tukur. Dalam rilisnya, AMAN menjelaskan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) telah diadopsi oleh General Assembly Resolution 61/295 (Resolusi Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani UNDRIP, sehingga, Hak-Hak Masyarakat Adat yang tercantum dalam deklarasi ini mengikat Indonesia secara moral untuk mengakui, menghormati dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat di wilayah Indonesia.
UNDRIP memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Hak-hak dan kebebasan dasar dari masyarakat adat juga menjadi inti dari UNDRIP yang seluruh pasal dan ayatnya mengatur tentang pengakuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhannya. Termasuk di dalamnya, sejumlah pasal yang mengatur tentang hak masyarakat adat untuk menerima atau menolak berbagai usulan atau rancangan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah adat mereka. Prinsip yang mengatur tentang hak untuk menerima atau menolak ini dikenal dengan free, prior, and informed consent (FPIC).
Sekjen AMAN Ruka Sombolinggi mengatakan Prinsip-prinsip FPIC mencerminkan bahwa sebuah negara demokrasi wajib menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat adat, tidak diskriminatif, memberikan kebebasan kepada rakyat, termasuk masyarkat adat, untuk berperan serta Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dialami oleh Elen Baikole, maupun pemidanaan yang dialami oleh enam orang anggota masyarakat adat Tobelo Dalam sebelumnya, bagaimanapun, tidak hanya melanggar hukum Indonesia, tetapi juga hak asasi manusianya.
Indonesia, Kata Ruka adalah negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Indonesia juga adalah salah satu negara yang menandatangani UNDRIP yang menjamin hak atas kontrol masyarakat adat terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan tanah-tanah mereka, wilayah dan sumber daya alam mereka, akan memungkinkan mereka untuk menjaga dan memperkuat Lembaga-lembaga, budaya-budaya dan tradisi-tradisi mereka, dan untuk memajukan pembangunan mereka selaras dengan aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Indonesia juga kata Sekjen AMAN terpilih periode2023-2028 ini merupakan negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyerukan anggotanya untuk melindungi hak-hak semua orang atas kebebasan dan keamanan.
Menurut ICCPR, kata Ruka, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan seseorang terhadap perampasan oleh pihak ketiga. UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia juga menjamin hak atas pangan, kesehatan, adil dan hak atas kebebasan dan keamanan. Ini jaminan hukum, bagaimanapun, tidak ditegakkan dengan benar. Selain itu, UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
“Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM” (TS-01)
Discussion about this post