Ambon, – Kasus perdagangan satwa dilindungi jenis Kakatua Maluku (Cacatua moluccensis) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon. Dua terdakwa, Haryanto Hehanussa alias Hary (37) dan Said Vikram Asegaff alias Vikram, didakwa melakukan tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Namun di tengah proses hukum yang berjalan, muncul dugaan ketidakadilan. Kuasa hukum terdakwa menyoroti belum ditangkapnya penjual utama, Sahril Mahu, yang disebut memasok dua dari empat burung kakatua yang hendak diselundupkan.

Awal Kasus: Transaksi Burung Endemik Dilindungi
Kasus bermula dari transaksi jual beli empat ekor Kakatua Maluku satwa endemik Pulau Seram dan sekitarnya yang dilindungi secara hukum.
Terdakwa Hary mengaku membeli dua ekor kakatua dari Sahril Mahu seharga Rp2,5 juta, dan dua ekor lainnya dari Vikram senilai Rp1,6 juta.
Keempat burung disimpan sementara di rumah kerabat sebelum diselundupkan keluar daerah. Pada 10 Februari 2025 malam, Hary bersama Vikram dan seorang saksi, Gilang Ramadhan Abdul Rahim, memodifikasi pipa paralon putih sebagai wadah dan menyembunyikan burung-burung itu di bagasi mobil Toyota Innova.
Mereka berangkat dari Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, menuju Ambon untuk menjual satwa tersebut kepada sejumlah calon pembeli, termasuk oknum aparat.
Namun perjalanan mereka dipantau petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku. Aksi kejar-kejaran sempat terjadi di jalur Desa Liang sebelum mobil berhasil dihentikan di Tulehu, Maluku Tengah. Petugas menemukan empat ekor kakatua hidup di dalam bagasi mobil dan langsung mengamankan seluruh penumpang ke kantor BKSDA Ambon.
Sahril Mahu Belum Ditahan, Ada Apa?
Kuasa hukum terdakwa, Thomas Wattimury, menyampaikan kejanggalan besar dalam kasus ini.
“Ada kejanggalan dalam penegakan hukum. Mengapa penjual utama, Sahril Mahu, yang memasok dua ekor Kakatua Maluku, tidak ikut ditahan?,” ujar Thomas kepada titastory, Selasa (21/10/2025).
Menurut Thomas, penegakan hukum terhadap perdagangan satwa dilindungi seharusnya dilakukan secara utuh dan tidak tebang pilih, mengingat kejahatan satwa liar melibatkan rantai aktor dari pemburu, perantara, hingga pembeli akhir.
Ia menilai kliennya hanyalah bagian kecil dari rantai panjang tersebut.
“Motif klien kami lebih pada kebutuhan ekonomi, bukan jaringan penyelundupan profesional,” tambahnya
Kakatua Maluku: Satwa Ikonik yang Terancam
Kakatua Maluku atau Cacatua moluccensis, dikenal juga sebagai Salmon-crested Cockatoo, adalah satwa endemik Kepulauan Seram, Saparua, dan Haruku di Provinsi Maluku.
Burung ini termasuk jenis rentan (Vulnerable) menurut daftar merah IUCN Red List (2024) dan terdaftar dalam Lampiran I Konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti perdagangan internasionalnya dilarang keras.
Menurut data BirdLife International (2023), populasi Kakatua Maluku di alam liar diperkirakan kurang dari 8.000 ekor dan terus menurun akibat perburuan liar, hilangnya habitat, serta perdagangan ilegal.
Laporan TRAFFIC Southeast Asia juga menyebut Maluku, Halmahera, dan Papua sebagai wilayah dengan tingkat perdagangan burung endemik tertinggi di Indonesia Timur.
Ancaman Hukuman Berat
Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat Pasal 84 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 juta.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perburuan dan perdagangan satwa endemik bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman serius bagi keanekaragaman hayati Indonesia.
“Jika satu spesies endemik hilang, maka sebagian dari identitas ekologis Maluku ikut lenyap,” ujar seorang pejabat BKSDA Maluku saat dihubungi terpisah.
Perdagangan Satwa: Masih Jadi Luka Lama Maluku
Perdagangan satwa dilindungi, khususnya jenis burung paruh bengkok seperti Kakatua Maluku, Nuri Ternate, dan Nuri Bayan, masih menjadi persoalan klasik di Indonesia Timur.
Berdasarkan data KLHK (2022), sekitar 1.200 ekor burung dilindungi diamankan dari berbagai operasi penegakan hukum di Maluku dan Papua setiap tahunnya. Namun, sebagian besar pelaku utama dan jaringan besar di balik perdagangan ini jarang tersentuh hukum.
