Bupati Malteng Diminta Hargai Nilai Adat, Ada Indikasi Ubah Status Negeri Jadi Desa Adminitratif

by
21/02/2020
Ketgam : Suasana masyarakat menjemput raja Urian Ohorella dari rumah raja ke masjid untuk melaksanakan sholat idul fitri thn 2019. Foto : Istimewa

titastory.com, maluku tengah – Kisruh pemilihan raja di Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku  Tengah (Malteng),  ternyata hingga kini belum juga berakhir.  SK Bupati Malteng  yang diterbitkan untuk pemilihan raja ulang memperparah situasi dan   ditolak mentah-mentah oleh masyarakat setempat. Pasalnya , lewat SK tersebut,  diduga ada manuver yang dilakukan  Bupati Malteng, Tuasikal Abua  untuk merubah status negeri adat menjadi desa administrasi.

Menyikapi kebijakan itu, masyarakat adat meminta  Bupati  Tuasikal menghargai dan menghormati nilai-nilai adat di negeri tersebut. Warga bahkan mendesak agar segera dilakukan  Rapat  Akbar  Musyyawarah Adat  Negeri  Tulehu , untuk menentang kebijakan bupati.

Raja Negeri Tulehu, Urian Ohorella yang dikonfirmasi wartawan, kemarin membeberkan tentang   keruwetan yang terjadi, buntut dari proses penetapan calon raja oleh Mata Rumah Parenta.

Menurutnya,  mata rumah  Parenta  setelah  mendapat pemberitahuan dari Saniri Negeri Tulehu  agar mengusulkan calon raja,  kemudian melaksanakan musyawarah.   Hasilnya  secara aklamasi, dirinya   ditetapkan sebagai calon raja. Namanya selanjutnya diusulkan  sebagai raja negeri Tulehu kepada Saniri Negeri.

Setelah  seminggu  berselang surat berita acara musyawarah mata rumah parentah masuk di Saniri Negeri,  diakuinya, tiba-tiba   muncul usulan hasil musyawarah  tandingan,   yang dimotori  oleh Hari Ohorela.

Agar tidak terjadi polemik,  Badan Saniri  lanjut dia  telah mengambil kebijakan untuk menggelar seleksi adat, diikuti salah satu nashab Abdullah.

“Seleksi diikuti oleh saya dan Hary Ohorela. Badan  Saniri mempersilahkan saya sampaikan visi misi, kemudian  saudara Hary Ohorela,”ucapnya.

Namun  ternyata bukannya  menyampaikan visi misi, ,  Hary Ohorela menolak   seleksi adat dan keluar dari prosesi adat tersebut.

Suasana saat raja melaksanakan sholat sunatul masjid sebelum khotbah Idul Fitri.
Foto : Istimewa

Menyikapi sikap tersebut,  panitia seleksi adat  kemudian mengambil kesimpulan, Hari Ohorelka  didiskualifikasi. Sebulan kemudian, Saniri mengeluarkan surat penetapan calon  Raja  Negeri Tulehu,  dan berproses untuk usulkan ke Pemkab Malteng pada 20 Desember 2017.

Selang tiga bulan, barulah muncul   surat pengembalian  berkas dari Sekda Malteng, terkait  kekurangan tiga berkas berupa  surat penetapan saniri disertai  daftar hadir, Perneg  Tulehu tentang proses pemilihan pencalonan dan pelantikan, dan  berita acara mata rumah parenta  yg harus dilengkapi. “Tiga berkas itu sebenarnya ada, hanya lalai untuk dilampirkan.

Namun yang jadi polemik, ada satu point yang meminta agar  mata rumah parenta kembali melakukan musyawarah ulang,”ungkapnya.

Atas  permintaan itu lanjutnya, mata rumah parentah menegaskan, proses adat  bersifat sakral dan sudah final ,  sehingga hanya bisa diadakan satu kali dalam satu periode pemilihan raja.

“Badan Saniri minta kita untuk serahkan berita acara, dan kita sudah lengkapi.  Setelah  semua dilengkapi, saniri negeri sampaikan  ke camat,  tapu tidak direspons, sehingga terjadi chaos.   Kita audiens dengan Pemkab Malteng dan camat, ada progres, tapi tiba-tiba lahir SK pemilihan raja, sehingga terjadi persoalan besar,”tukasnya.

Masyarakat negeri adat  Tulehu,  lanjut Ohorela, menolak dengan tegas SK tersebut,  karena bertentangan dengan  adat dan tradisi yang selama ini dipegang oleh masyarakat adat negeri Tulehu.

“Hal ini yang menjadi masalah. Proses pelantikan raja terakhir itu  tahun 1963 dan 2012  masih menggunakan sistem adat. Makanya masyarakat  Tulehu tolak SK Bupati.

Kita sudah audiens dengan bupati, tapi tidak direspons. Bahkan kita sudah membuat surat protes ke Pemkab Malteng terkait SK, tapi lagi-lagi tidak direspons, sehingga terjadi pergolakan,”tukasnya.

Diakuinya, sebagai bentuk penolakan dan protes atas kebijakan Bupati Malteng yang mencoba untuk mengalihkan status negeri adat menjadi desa administratif, Ohorela menegaskan,   masyarakat telah mendesak  dirinya membuat Rapat  Akbar  Musyawarah Adat  Tulehu.

Warga juga sudah melakukan sanksi berupa sasi adat  sebagai simbol protes atas kebijakan Pemkab Malteng. Sasi adat kantor desa ini kata dia, sebagai simbol penolakan terhadap SK Pemilihan  Raja. Warga juga mulai resah dengan kebijakan yang seolah-olah memberangus nilai nilai adat.

Diantaranya , kebijakan bupati mengangkat  badan saniri dengan alasan masa periode telah berakhir, padahal tidak sesuai dengan  nilai-nilai adat.

“Menurut  perneg Tulehu,  masa jabatan saniri adalah sesuai tradisi,  saniri   hanya dapat diganti apabila usianya sudah uzur, sakit permanen dan mengundurkan diri dengan sukarela.  Pembentukan saniri baru oleh bupati ini lebih  mengacu pada desa difinitif. Hal ini juga memicu masalah baru,”ucapnya.

Ditegaskan, masyarakat  Tulehu  berpegang pada UU no 6 tahun 2006, bahwa penyelenggaran pemerintahan sesuai dengan adat dan tradisinya.

“Ada  surat pemberitahuan tentang penataan saniri, sedangkan  saniri lain masih aktif, sehingga pejabat undang Kepala Soa, tapi tidak bisa ambil kebijakan,  karena tidak masuk dalam sistem adat.  Yang  berhak menentukan saniri adalah raja,  sehingga sangat aneh ketika muncul saniri baru tanpa melalui mekanisme adat,”tegasnya.

Dengan kebijakan ini,  dirinya berpendapat  bupati  juga sudah melawan UU.Dia juga memprediksikan, apabila ada lagi  manuver baru dari bupati,    maka tidak  menutup kemungkinan akan kembali timbul chaos,  yang dapat mempengaruhi perekonomian.

Menyikapi hal itu, Ohorela juga meminta agar  Pemprov Maluku  mengambil alih untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Dia  mengingatkan,  Maluku  selama  ini dijuluki  sebagai negeri raja-raja,  sehingga adat  setiap negeri harus  dijunjung tinggi  dan dihormati.

Ohorela  mengkhawatirkan, kejadian seperti ini juga menimpa negeri-negeri adat lainnya.  Ohorela juga mengakui  karena menunggu terlalu lama, dirinya telah dilantik secara adat oleh masyarakat  sebagai raja negeri Tulehu,   untuk mendorong agar Bupati secepatnya melakukan pelantikan. Namun ternyata  hal itu tidak dilakukan, sebaliknya Bupati Malteng tetap memaksakan kehendaknya.

“Kami harapkan bupati malteng hargai nilai-nilai adat di negeri Tulehu,”pungkasnya

Sebelumnya Akademisi Dosen hukum Unpatti, Dr. Rirvency Vania  Rugebregt, SH, MH dalam sosialisasi tentang UU desa di Negeri Tulehu, pekan kemarin menyebutkan,  rata-rata masalah yang terjadi di Maluku Tengah terkait dengan desa-desa adat ini hampir seragam, yakni pemilihan raja, mata rumah parentah.

Akademisi Dosen hukum Unpatti,Ambon, Dr. Rirvency Vania Rugebregt, SH, MH saat memberikan sosialisasi tentang UU desa di Balai Negeri Tulehu

Tapi menurut dia, dengan adanya undang-undang nomor 6 tahun  2014 tentang Desa, sudah ada ketentuan khusus yang diatur.  Bahwa segala hal yang terkait dengan desa adat harus semua diatur oleh masyarakat adat dan desa adat,  sesuai  dengan adat yang berlaku, sepanjang  tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD  1945

“Jangan kita membuat polemik di masyarakat terkait hal-hal yang berkaitan dengan adat, karena sudah jelas bahwa apa yang diselenggraakan oleh desa adat,  harus dikembalikan ke desa adat,”tegasnya.

Jadi semua proses baik itu pemilihan raja dan hal-hal yang ada di desa adat,   kata dia, harus diselesaikan secara adat.

“Konstitusi tertinggi pasal 18 B UUD 1945 mengakui masyarakat adat dan masyararat tradisionalnya,  kemudian UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa juga dengan pasal 96 sampai pasal 101,   mengiisyaratkan bahwa semua hal yang terkait dengan adat, harus diserahkan kepada desa adat dan susunan adat di desa adat itu sendiri.  Kriteria terkait dengan desa adat harus diserahkan ke desa adat, juga terkait dengan pemilihan raja dan pengangkatan raja itu sendiri di negeri Tulehu itu menurut saya selaku akademisi yang membidangi hukum adat,”jelasnya.

Rugebreg bahkan menduga,  pemerintah belum paham  benar,  apa yang terkait dengan desa adat dan  desa administrasi. Pemerintah juga  dinilainya tidak paham,  tentang  hak-hak apa yang dimiliki desa adat yang harus diterapkan, dan  bagaimana pemberlakuan  desa administrasi.

“Saya berharap masyarakat adat bisa mengetahui informasi hak-hak yang mereka miliki selaku masyarakat adat.  Mereka memiliki hak sebagai pemilik hak dari tanah-tanah dan semua hal yang ada di Negara ini yang harus mereka perjuangkan,  karena mereka adalah pemilik hak dan pemerintah seharusnya hadir sebagai penjamin hak-hak yang mereka miliki,”tukasnya. (TS-01)

error: Content is protected !!