titastory.com, maluku tengah – Kisruh pemilihan raja di Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), ternyata hingga kini belum juga berakhir. SK Bupati Malteng yang diterbitkan untuk pemilihan raja ulang memperparah situasi dan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat setempat. Pasalnya , lewat SK tersebut, diduga ada manuver yang dilakukan Bupati Malteng, Tuasikal Abua untuk merubah status negeri adat menjadi desa administrasi.
Menyikapi kebijakan itu, masyarakat adat meminta Bupati Tuasikal menghargai dan menghormati nilai-nilai adat di negeri tersebut. Warga bahkan mendesak agar segera dilakukan Rapat Akbar Musyyawarah Adat Negeri Tulehu , untuk menentang kebijakan bupati.
Raja Negeri Tulehu, Urian Ohorella yang dikonfirmasi wartawan, kemarin membeberkan tentang keruwetan yang terjadi, buntut dari proses penetapan calon raja oleh Mata Rumah Parenta.
Menurutnya, mata rumah Parenta setelah mendapat pemberitahuan dari Saniri Negeri Tulehu agar mengusulkan calon raja, kemudian melaksanakan musyawarah. Hasilnya secara aklamasi, dirinya ditetapkan sebagai calon raja. Namanya selanjutnya diusulkan sebagai raja negeri Tulehu kepada Saniri Negeri.
Setelah seminggu berselang surat berita acara musyawarah mata rumah parentah masuk di Saniri Negeri, diakuinya, tiba-tiba muncul usulan hasil musyawarah tandingan, yang dimotori oleh Hari Ohorela.
Agar tidak terjadi polemik, Badan Saniri lanjut dia telah mengambil kebijakan untuk menggelar seleksi adat, diikuti salah satu nashab Abdullah.
“Seleksi diikuti oleh saya dan Hary Ohorela. Badan Saniri mempersilahkan saya sampaikan visi misi, kemudian saudara Hary Ohorela,”ucapnya.
Namun ternyata bukannya menyampaikan visi misi, , Hary Ohorela menolak seleksi adat dan keluar dari prosesi adat tersebut.
Menyikapi sikap tersebut, panitia seleksi adat kemudian mengambil kesimpulan, Hari Ohorelka didiskualifikasi. Sebulan kemudian, Saniri mengeluarkan surat penetapan calon Raja Negeri Tulehu, dan berproses untuk usulkan ke Pemkab Malteng pada 20 Desember 2017.
Selang tiga bulan, barulah muncul surat pengembalian berkas dari Sekda Malteng, terkait kekurangan tiga berkas berupa surat penetapan saniri disertai daftar hadir, Perneg Tulehu tentang proses pemilihan pencalonan dan pelantikan, dan berita acara mata rumah parenta yg harus dilengkapi. “Tiga berkas itu sebenarnya ada, hanya lalai untuk dilampirkan.
Namun yang jadi polemik, ada satu point yang meminta agar mata rumah parenta kembali melakukan musyawarah ulang,”ungkapnya.
Atas permintaan itu lanjutnya, mata rumah parentah menegaskan, proses adat bersifat sakral dan sudah final , sehingga hanya bisa diadakan satu kali dalam satu periode pemilihan raja.
“Badan Saniri minta kita untuk serahkan berita acara, dan kita sudah lengkapi. Setelah semua dilengkapi, saniri negeri sampaikan ke camat, tapu tidak direspons, sehingga terjadi chaos. Kita audiens dengan Pemkab Malteng dan camat, ada progres, tapi tiba-tiba lahir SK pemilihan raja, sehingga terjadi persoalan besar,”tukasnya.
Masyarakat negeri adat Tulehu, lanjut Ohorela, menolak dengan tegas SK tersebut, karena bertentangan dengan adat dan tradisi yang selama ini dipegang oleh masyarakat adat negeri Tulehu.
“Hal ini yang menjadi masalah. Proses pelantikan raja terakhir itu tahun 1963 dan 2012 masih menggunakan sistem adat. Makanya masyarakat Tulehu tolak SK Bupati.
Kita sudah audiens dengan bupati, tapi tidak direspons. Bahkan kita sudah membuat surat protes ke Pemkab Malteng terkait SK, tapi lagi-lagi tidak direspons, sehingga terjadi pergolakan,”tukasnya.
Diakuinya, sebagai bentuk penolakan dan protes atas kebijakan Bupati Malteng yang mencoba untuk mengalihkan status negeri adat menjadi desa administratif, Ohorela menegaskan, masyarakat telah mendesak dirinya membuat Rapat Akbar Musyawarah Adat Tulehu.
Warga juga sudah melakukan sanksi berupa sasi adat sebagai simbol protes atas kebijakan Pemkab Malteng. Sasi adat kantor desa ini kata dia, sebagai simbol penolakan terhadap SK Pemilihan Raja. Warga juga mulai resah dengan kebijakan yang seolah-olah memberangus nilai nilai adat.
Diantaranya , kebijakan bupati mengangkat badan saniri dengan alasan masa periode telah berakhir, padahal tidak sesuai dengan nilai-nilai adat.
“Menurut perneg Tulehu, masa jabatan saniri adalah sesuai tradisi, saniri hanya dapat diganti apabila usianya sudah uzur, sakit permanen dan mengundurkan diri dengan sukarela. Pembentukan saniri baru oleh bupati ini lebih mengacu pada desa difinitif. Hal ini juga memicu masalah baru,”ucapnya.
Ditegaskan, masyarakat Tulehu berpegang pada UU no 6 tahun 2006, bahwa penyelenggaran pemerintahan sesuai dengan adat dan tradisinya.
“Ada surat pemberitahuan tentang penataan saniri, sedangkan saniri lain masih aktif, sehingga pejabat undang Kepala Soa, tapi tidak bisa ambil kebijakan, karena tidak masuk dalam sistem adat. Yang berhak menentukan saniri adalah raja, sehingga sangat aneh ketika muncul saniri baru tanpa melalui mekanisme adat,”tegasnya.
Dengan kebijakan ini, dirinya berpendapat bupati juga sudah melawan UU.Dia juga memprediksikan, apabila ada lagi manuver baru dari bupati, maka tidak menutup kemungkinan akan kembali timbul chaos, yang dapat mempengaruhi perekonomian.
Menyikapi hal itu, Ohorela juga meminta agar Pemprov Maluku mengambil alih untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Dia mengingatkan, Maluku selama ini dijuluki sebagai negeri raja-raja, sehingga adat setiap negeri harus dijunjung tinggi dan dihormati.
Ohorela mengkhawatirkan, kejadian seperti ini juga menimpa negeri-negeri adat lainnya. Ohorela juga mengakui karena menunggu terlalu lama, dirinya telah dilantik secara adat oleh masyarakat sebagai raja negeri Tulehu, untuk mendorong agar Bupati secepatnya melakukan pelantikan. Namun ternyata hal itu tidak dilakukan, sebaliknya Bupati Malteng tetap memaksakan kehendaknya.
“Kami harapkan bupati malteng hargai nilai-nilai adat di negeri Tulehu,”pungkasnya
Sebelumnya Akademisi Dosen hukum Unpatti, Dr. Rirvency Vania Rugebregt, SH, MH dalam sosialisasi tentang UU desa di Negeri Tulehu, pekan kemarin menyebutkan, rata-rata masalah yang terjadi di Maluku Tengah terkait dengan desa-desa adat ini hampir seragam, yakni pemilihan raja, mata rumah parentah.
Tapi menurut dia, dengan adanya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, sudah ada ketentuan khusus yang diatur. Bahwa segala hal yang terkait dengan desa adat harus semua diatur oleh masyarakat adat dan desa adat, sesuai dengan adat yang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
“Jangan kita membuat polemik di masyarakat terkait hal-hal yang berkaitan dengan adat, karena sudah jelas bahwa apa yang diselenggraakan oleh desa adat, harus dikembalikan ke desa adat,”tegasnya.
Jadi semua proses baik itu pemilihan raja dan hal-hal yang ada di desa adat, kata dia, harus diselesaikan secara adat.
“Konstitusi tertinggi pasal 18 B UUD 1945 mengakui masyarakat adat dan masyararat tradisionalnya, kemudian UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa juga dengan pasal 96 sampai pasal 101, mengiisyaratkan bahwa semua hal yang terkait dengan adat, harus diserahkan kepada desa adat dan susunan adat di desa adat itu sendiri. Kriteria terkait dengan desa adat harus diserahkan ke desa adat, juga terkait dengan pemilihan raja dan pengangkatan raja itu sendiri di negeri Tulehu itu menurut saya selaku akademisi yang membidangi hukum adat,”jelasnya.
Rugebreg bahkan menduga, pemerintah belum paham benar, apa yang terkait dengan desa adat dan desa administrasi. Pemerintah juga dinilainya tidak paham, tentang hak-hak apa yang dimiliki desa adat yang harus diterapkan, dan bagaimana pemberlakuan desa administrasi.
“Saya berharap masyarakat adat bisa mengetahui informasi hak-hak yang mereka miliki selaku masyarakat adat. Mereka memiliki hak sebagai pemilik hak dari tanah-tanah dan semua hal yang ada di Negara ini yang harus mereka perjuangkan, karena mereka adalah pemilik hak dan pemerintah seharusnya hadir sebagai penjamin hak-hak yang mereka miliki,”tukasnya. (TS-01)
Discussion about this post