titastory, Ambon – Gunung Kobar kembali bergolak. Di tengah hijaunya daun kayu putih dan tegaknya ratusan pohon kelapa dalam di dusun Taman Jaya, Negeri Eti, Seram Bagian Barat, sebuah operasi tambang nikel ilegal berjalan nyaris tanpa hambatan. Kapal tongkang silih berganti mengangkut Ore nikel dari kaki gunung, namun negara tak mencatat sepeser pun pajak retribusi nihil, izin tambang dipalsukan, dan kerusakan lingkungan menganga. Di balik aliran ore haram itu, satu nama mencuat sebagai sutradara operasi: Jacqueline Margareth Sahetapy.

Nama Jacqueline Margareth Sahetapy kini muncul sebagai sosok sentral. Ia bukan sekadar pemain belakang layar. Beragam data dan testimoni menunjukkan Jacqueline mengendalikan sepenuhnya operasi tambang nikel ilegal dari balik perusahaan bernama PT Bina Sewangi Raya (BSR).
“Dia bukan kaki tangan, dia adalah dalangnya,” ujar Fadel Rumakat, Direktur Rumah Muda Antikorupsi (RUMMI), dengan nada geram. “Negara harus segera bertindak.”
Modus Kloning Izin: Bayangan di Balik Legalitas
RUMMI mengungkap dugaan kuat bahwa Jacqueline, melalui PT BSR, telah memanfaatkan nama PT Manusela Prima Mining (MPM) — pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) sah untuk melancarkan ekspor Ore nikel.
Namun MPM menegaskan tidak pernah memberi persetujuan. Dalam praktiknya, kapal-kapal tongkang mengangkut nikel dengan mencatut nama perusahaan tersebut tanpa sepengetahuan direksi MPM yang sah.
“Itu modus kamuflase. Nama perusahaan digunakan agar pengapalan tampak legal, padahal secara operasional tidak sah,” kata Fadel.
Ironi bertambah karena PT BSR, yang dipakai sebagai kendaraan utama operasi, tidak tercatat aktif dalam proses produksi dan pengapalan ore di lokasi sesuai prosedur pertambangan yang berlaku.

Terbongkar di Senayan
Skandal ini pecah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada 10 Juli 2025. Dalam forum resmi yang dipimpin Bambang Haryadi itu, Dirjen Minerba menyebut dugaan pengapalan Ore menggunakan tiga kapal tongkang tanpa persetujuan dari pemegang IUP sah.
Komisi VII merujuk pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 326 PK/Pdt/2024, yang secara tegas menyatakan kepemilikan dan pengoperasian sah berada di pihak lain, bukan di bawah kendali Jacqueline. Namun meski fakta hukum sudah final dan mengikat, pengapalan terus terjadi. Ironisnya, Negara turut bungkam.
Kerusakan Ekologis, Kebocoran Ekonomi
Eksploitasi liar ini tak hanya merusak hukum, tapi juga menoreh luka dalam pada alam dan masyarakat sekitar. Gunung Kobar kini terlihat gundul dari kejauhan, bekas korekan tambang menganga, dan lumpur merah mengalir hingga ke pantai.

Ekosistem laut rusak, perikanan tangkap menurun, dan kawasan pemukiman mulai terdampak longsor akibat kerusakan hulu.
RUMMI memperkirakan kerugian negara mencapai miliaran rupiah dari potensi pajak dan retribusi yang hilang akibat kegiatan tambang tak tercatat.

Ada Bekingan?
Kekhawatiran publik bertambah saat muncul dugaan adanya keterlibatan oknum birokrasi dan aparat dalam melindungi operasi tambang ini.
“Kalau hanya masyarakat kecil yang cepat ditangkap karena ambil hasil hutan atau tambang rakyat, sementara pemain besar seperti ini tak tersentuh, itu bukan penegakan hukum, itu ketidakadilan,” ujar Fadel.
Klarifikasi: Jacqueline Mengaku Sah
Di tengah tekanan publik, pihak Jacqueline tak tinggal diam. Dr. Daniel W. Nirahua, SH., MH, kuasa hukum PT BSR, mengklaim bahwa kliennya adalah pemilik sah PT Manusela Prima Mining berdasarkan akta dan sejumlah putusan hukum, antara lain:
- MA RI No. 4209 K/Pdt/2024
- PT Ambon No. 16/Pdt/2024/PT.Amb
- PN Dataran Hunipopu No. 3/Pdt.P/2024/PN.Drh
Menurut Daniel, pihak lain yang mengklaim kepemilikan MPM adalah tidak sah.
Namun di sinilah letak kebingungan publik: putusan MA No. 326 PK/Pdt/2024 sebelumnya menyatakan pihak Jacqueline tidak berhak. Dualisme ini memunculkan pertanyaan serius soal konsistensi penegakan hukum dan potensi manipulasi dokumen legalitas di pengadilan tingkat daerah.
Siapa Jacqueline Margareth Sahetapy?
Perempuan kelahiran Ambon, 21 Juli 1982 ini dikenal luas di kalangan pengusaha muda Maluku. Ia bukan akademisi, melainkan sosok Srikandi yang meniti karier di dunia wirausaha dan organisasi bisnis. Jacqueline Margareth Sahetapy—atau akrab disapa JMS—lebih memilih membaktikan dirinya pada pengembangan dunia entrepreneur dan berlaga di dunia politik.
Visinya jelas: wirausaha adalah jalan untuk menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Pandangan inilah yang membawanya aktif dalam berbagai organisasi strategis.
JMS pernah menjabat sebagai Ketua BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Maluku periode 2017–2021. Kini, ia tercatat sebagai Ketua Dewan Pembina HIPMI Provinsi Maluku dan juga menjabat di level nasional sebagai Wakil Ketua Komite Tetap (Wakomtap) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Perannya terus berkembang. Pada tahun 2025, Jacqueline mendapat kepercayaan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk menduduki posisi strategis di Departemen III Bidang Perekonomian Deputi Energi dan Sumber Daya Mineral untuk periode 2025–2030.
Namun di balik citra sebagai srikandi pengusaha yang progresif, kini nama Jacqueline mencuat dalam pusaran dugaan tambang ilegal di Gunung Kobar, Kabupaten Seram Bagian Barat. Ia disebut sebagai tokoh kunci yang diduga mengendalikan operasi gelap nikel lewat perusahaan PT Bina Sewangi Raya. Berbagai pihak menyoroti bagaimana seseorang dengan rekam jejak nasional di sektor bisnis bisa terlibat dalam jaringan pertambangan yang merusak lingkungan dan merugikan negara miliaran rupiah.
Kontras ini memunculkan satu pertanyaan besar: apakah Jacqueline adalah simbol keberhasilan perempuan Maluku dalam bisnis atau justru wajah lain dari elite yang menggunakan jejaring politik dan ekonomi untuk menutupi praktik ilegal?

Ujian Bagi Negara
Kasus Gunung Kobar adalah contoh nyata bagaimana sumber daya alam bisa berubah menjadi “ladang kekebalan” ketika dikuasai oleh segelintir elite yang punya akses ke birokrasi dan celah hukum.
Kini, sorotan mengarah ke Mabes Polri, KPK, Ditjen Minerba, dan DPR. Jika institusi negara gagal bertindak, publik akan menyimpulkan bahwa mafia tambang nikel tak hanya ada — tapi juga dilindungi.
“Kami tunggu tindakan nyata. Jika tidak ada penangkapan, itu berarti negara ikut bermain,” tutup Fadel.
Penulis: Redaksi