IMO Didesak Tolak Biofuel Berbahaya dari Agenda Net-Zero
London, – Sejumlah organisasi lingkungan global mendesak Organisasi Maritim Internasional (IMO) agar menolak penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) dalam Kerangka Kerja Net-Zero sektor pelayaran internasional. Mereka menilai, dorongan terhadap biofuel justru mengancam hutan dunia, memperparah krisis iklim, dan melanggengkan praktik deforestasi di negara-negara tropis seperti Indonesia dan Brasil.
Seruan ini disampaikan oleh Biofuelwatch, Forest Watch Indonesia (FWI), dan Global Forest Coalition (GFC), menyusul keputusan IMO yang menunda adopsi Kerangka Kerja Net-Zero hingga 2026 dalam pertemuan luar biasa Marine Environment Protection Committee (MEPC ES.2) di London, pekan lalu.
Meski penundaan itu memberi waktu untuk memperdalam diskusi, organisasi lingkungan memperingatkan bahwa biofuel berbasis tanaman pangan tidak boleh masuk dalam daftar energi transisi bersih.

Biofuel Dinilai “Hijau Semu”
Menurut para pegiat lingkungan, biofuel berbasis kedelai dan kelapa sawit bukan solusi iklim yang berkelanjutan. Sebaliknya, bahan bakar ini memicu emisi tinggi akibat Perubahan Penggunaan Lahan Tidak Langsung (Indirect Land Use Change/ILUC) serta menimbulkan ketimpangan sosial dan perampasan lahan.
“Biofuel bukanlah solusi berkelanjutan dalam keadaan apa pun. Dorongan terhadap biofuel berbasis kedelai mempercepat deforestasi dan menggusur masyarakat adat di Amerika Latin. Jika IMO menciptakan permintaan baru, itu berarti lebih banyak emisi, ketidaksetaraan, dan perampasan lahan,” ujar Jana Uemura, Climate Campaigner di Global Forest Coalition, dalam rilis yang diterima titastory.id, Selasa (21/10/2025).
Sementara itu, Anggi Putra Prayoga, Forest Campaigner dari Forest Watch Indonesia, menegaskan bahwa keputusan IMO untuk menolak biofuel dapat menjadi momentum penting dalam melindungi hutan tropis dunia.
“Menolak biofuel berarti melindungi sisa hutan tropis yang menjadi penyerap karbon global. Indonesia adalah contoh nyata bagaimana ekspansi sawit untuk biofuel telah menghancurkan hutan, bahkan di kawasan lindung,” ujarnya.
Menurut FWI, sejak program mandatori B35 dan B40 di Indonesia diperluas, ekspansi perkebunan sawit meningkat di kawasan hutan Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Dalam konteks ini, kebijakan pelayaran global yang mendorong penggunaan biofuel justru akan menambah tekanan terhadap hutan-hutan Indonesia.

Pasokan Terbatas, Risiko Manipulasi Tinggi
Selain biofuel berbasis tanaman pangan, para pegiat juga mengkritisi wacana penggunaan limbah minyak goreng (Used Cooking Oil/UCO) dan produk turunan sawit seperti POME dan PFAD.
Meski UCO dinilai “lebih bersih”, pasokannya tidak mencukupi untuk mendukung kebutuhan energi global. Menurut estimasi lembaga independen EASAC, UCO hanya dapat memenuhi sekitar 5% dari permintaan energi sektor pelayaran dunia.
“Kelangkaan pasokan membuat industri mencari alternatif termurah berikutnya, yaitu biofuel berbasis sawit yang berisiko tinggi terhadap deforestasi,” jelas Pax Butchart, Biofuel Campaigner di Biofuelwatch.
Ia menambahkan, industri biofuel sawit juga sarat penipuan, terutama pada klaim bahan bakar yang disebut berasal dari limbah (POME dan PFAD). Audit yang lemah dan manipulasi rantai pasok membuat penggunaan biofuel ini tidak dapat diverifikasi secara berkelanjutan.
Krisis Energi dan Kolonialisme Iklim
Para pegiat menilai, dorongan negara-negara maju untuk memenuhi target emisi nol bersih melalui impor biofuel dari negara tropis merupakan bentuk baru dari “kolonialisme iklim”.
Negara industri menekan emisi di dalam negeri, namun mengalihkan beban ekologis ke negara produsen bahan baku biofuel.
“Kebijakan ini tidak adil. Di Jepang dan Eropa, emisi dari biofuel dihitung nol. Tapi di Indonesia, kami kehilangan hutan dan menghasilkan emisi dari lahan yang dibuka untuk memenuhi pasokan mereka,” ujar Anggi Putra Prayoga.
Desakan Global untuk Transisi Energi yang Adil
Koalisi organisasi lingkungan menyerukan tiga tuntutan utama kepada IMO dan pemerintah negara-negara anggota:
- Menolak biofuel berbasis tanaman pangan dan limbah sawit dari kerangka kerja Net-Zero sektor pelayaran.
- Meningkatkan investasi pada teknologi nol-emisi sejati, seperti energi angin, efisiensi bahan bakar, dan inovasi kapal berteknologi bersih.
- Mencabut subsidi biofuel yang terbukti memperparah deforestasi dan ketimpangan sosial.
“Pemerintah kini punya kesempatan bersejarah untuk mengarahkan sektor pelayaran menuju solusi energi nol-emisi yang benar-benar bersih — bukan sekadar cat hijau untuk praktik kotor,” tegas Pax Butchart.
Konteks Global: Strategi IMO 2023
Meskipun adopsi kerangka kerja Net-Zero ditunda hingga 2026, Strategi Gas Rumah Kaca (GRK) IMO 2023 tetap berlaku. Strategi ini menargetkan emisi nol bersih pada 2050 untuk seluruh pelayaran internasional.
Namun, tanpa kejelasan definisi “energi bersih”, aktivis menilai kerangka ini berisiko dimanfaatkan oleh industri biofuel untuk meraup keuntungan, dengan konsekuensi ekologis besar di negara-negara selatan.
“Jika biofuel tetap dimasukkan ke dalam agenda Net-Zero, IMO akan gagal membedakan antara energi terbarukan sejati dan solusi palsu yang menghancurkan hutan,” ujar Jana Uemura menegaskan.
