titastory.id, -Air sungai Nalbesi semakin deras seiring, hujan mengguyur Desa Neath dan Liang, Kabupaten Buru Selatan, Maluku pada kamis pagi, tetapi penduduk desa masih berbondong-bondong ke tepi sungai.
Sungai ini, merupakan satu-satunya akses bagi penduduk di dua desa, yaitu Neath dan Liang, untuk mencapai pusat Kecamatan, Leksula. Mereka juga kian sementara mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyeberangi sungai ini.
Diantara penduduk yang menyebrangi sungai pagi itu, adalah Nori Hukunala yang baru saja pulang pusat kecamatan, Leksula. Dia bersama anaknya yang masih bayi. Bayi berusia 8 bulan. Nori baru membeli perlengkapan bulanan kebutuhan di Leksula.
Leksula berjarak sekitar 3 hingga 4 kilometer dari Sungai Nalbesi. Di musim hujan, penduduk terpaksa melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, seperti halnya Nori dengan bayinya hari itu. Tanpa kendaraan.
Dengan cuaca buruk dan air yang deras, Nori berkelana menyeberangi sungai sambil membawa anaknya dengan sarung untuk kembali ke rumahnya di Desa Liang.
Tak hanya Nori, sejumlah pemuda juga sejak pagi berada di lokasi itu. Mereka merupakan warga dari dua setempat. Neath dan Liang. Mereka juga ingin melakukan aktifitas yang sama.
Di lokasi itu juga ada tiga orang dengan sukarela membantu Nori dan penduduk lainnya menyeberangi sungai. Ketiganya adalah Fendy Nurlatu, Hening Tasane, dan Henok Hukunala. Mereka merenggangkan helai tali nilon di seberang sungai dan mengikatnya dengan batang pohon di kedua sisi sungai.
Mereka membungkus helai tali nilon di sekitar peregangan, menyimpulkannya dan mengikatnya ke dahan kayu yang berfungsi sebagai tempat duduk untuk nantinya diayunkan melewati sungai.
“ini adalah pekerjaan kami. Terkadang kami harus tiba di rumah kami malam hari. Ini karena membantu warga menyebrangi sungai,” ujar seorang relawan, Fendy Nurlatu.
Setiap hari, Fendy dua rekannya menyaksikan bagaimana penduduk melawan rasa takut dan cemas mereka, sementara juga tetap waspada untuk menyeberangi sungai dengan selamat.
′′ Saya melihat bahwa Nori khawatir. Dia takut karena dia sedang menggendong bayinya. Tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Dia harus menyeberangi sungai,” Kata Fendy.
Untuk menyeberangi sungai, Nori duduk di dahan kayu dengan satu tangan memegang anaknya dan satu tangan memegang tali gantung. Tali itu ditarik dari sisi lain sungai perlahan-lahan hingga ia mencapai tepi sungai.
Nori mengatakan kepada Fendy betapa gugupnya dia menyeberangi sungai dengan seorang anak di tangan, terutama ketika mereka menjeda di tengah sungai.
′′beta berdoa dan berdoa, Tuhan ee kapan beta bisa menyeberangi kali ini ?” kata Fendy, menyampaikan apa yang dikatakan Nori kepadanya.
Setelah menyeberangi sungai, Nori melanjutkan perjalanan ke desanya, yang berjarak sekitar 4 km dari Sungai Nalbesi, kata Fendy. Selain Nori, beberapa wanita juga menyeberangi sungai dengan cara yang sama hari itu.
Seorang mahasiswa dari Liang, Melky Solisa, mengatakan penduduk setempat telah menyeberangi sungai selama beberapa dekade kapan pun mereka ingin berbelanja untuk kebutuhan dasar atau menjual produk perkebunan mereka di pasar di pusat kecamatan.
Melky, yang sedang belajar di Universitas Pattimura di Ambon, Maluku, mengingat kejadian yang menimpa penduduk menyeberangi sungai tahun lalu.
′′ Seorang penduduk dilarikan ke rumah sakit tahun lalu karena ia terjatuh dan terbawa arus sungai. Korban terluka tapi hidup,” ujar Melky.
Kata pemuda yang menimba ilmu di Universitas Pattimura ini, warga sempat mengalami kecelakaan akibat menyebrangi sungai Nalbesi.
′′ Seorang penduduk dilarikan ke rumah sakit tahun lalu karena ia terjatuh dan terbawa arus sungai. Korban terluka tapi hidup,” ujar Melky.
Penduduk desa, termasuk Fendy dan Melky, menyayangkan bahwa tidak ada rencana sebenarnya dari pemerintah pusat atau daerah untuk membangun jembatan di atas sungai.
Fendy mengatakan bahwa Bupati dan anggota legislatif setempat telah berjanji untuk membangun jembatan darurat selama kampanye pra-pemilihan mereka tetapi tidak pernah menyadari program tersebut.
Dia kesal karena selalu dijanjikan oleh bupati setempat untuk membangun jembatan sementara.
Janji itu, menurut Fendi selalu datang bila mereka berkampanye Pemilihan Bupati maupun Pemilihan anggota Legislatif. Setelah itu tak kunjung kembali lagi, jika telah terpilih.
“ 5 Tahun lalu sempat dijanjikan jembatan darurat. Bupati sekarang Tagop Solisa menjajinkannya. Tapi sampi sekarang kondisinya masih seperti begini,” ujar Fendi.
Tak hanya Bupati, warga juga mengharapkan ada campur tangan Negara untuk bisa membangun jembatan yang pemanen. “Tuan Presiden tolong lihat penderitaan kami. Padahal sebentar lagi mau 75 tahun usia Indonesia. Kami belum merdeka, lihatlah kondisi kami,” kata Melky menutup harapannya untuk Presiden Joko Widodo .
Reporter : Belseran
Editor : Redaksi
Discussion about this post