Seram Bagian Timur, -Berobat atau mati di jalan. Itulah pilihan pahit yang masih harus dihadapi warga Kecamatan Kesui Watubela, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, pada 2025. Di wilayah yang masuk kategori terluar, terdepan, dan terisolasi (3T), negara kembali absen ketika hak paling dasar layanan kesehatan harus diakses dengan mempertaruhkan nyawa. Tanpa jalan darat dan fasilitas kesehatan yang memadai, warga terpaksa menandu pasien sejauh belasan kilometer melewati sungai, perbukitan, dan pantai. Pembangunan yang dijanjikan selama bertahun-tahun belum juga tiba.
Di Kecamatan Kesui Watubela, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, sakit bukan hanya persoalan medis. Ia adalah awal dari perjalanan panjang yang mempertaruhkan nyawa. Tanpa akses jalan darat dan fasilitas kesehatan yang memadai, warga di wilayah terluar, terdepan, dan terisolasi (3T) ini harus menandu pasien berjam-jam melewati sungai, perbukitan, dan garis pantai demi mencapai puskesmas terdekat.

Pemandangan memilukan itu kembali terjadi saat Fazri Sahwan Wali, warga Desa Keldor, mengalami kecelakaan serius di hutan. Ia terpeleset dan terkena benda tajam hingga empat jari tangannya terputus, disertai benturan di bagian kepala. Dalam kondisi kritis, satu-satunya pilihan bagi warga adalah bergotong royong menandu Fazri menuju Puskesmas Tamher Timur, fasilitas kesehatan terdekat yang bisa dijangkau.
Perjalanan yang harus ditempuh bukan perjalanan singkat. Jarak sekitar 15 kilometer dilalui dengan berjalan kaki selama lima hingga enam jam. Puluhan warga bergantian memikul dan membopong pasien, menyeberangi sungai, mendaki bukit terjal, dan menyusuri pantai. Ketika laut bergelombang dan jalur laut tak memungkinkan dilalui, jalur darat—yang sebenarnya belum pernah ada menjadi satu-satunya harapan.
Video amatir yang beredar merekam detik-detik genting tersebut. Beberapa kali warga nyaris terpeleset saat melewati jalur licin. Keringat bercampur lumpur, langkah tertatih, dan napas tersengal mengiringi setiap meter perjalanan. Namun tak seorang pun berhenti. Nyawa Fazri adalah taruhan bersama.
Kondisi ini bukan peristiwa tunggal. Bagi warga Kesui Watubela, menandu pasien sudah menjadi bagian dari keseharian saat keadaan darurat kesehatan terjadi. Tidak adanya akses jalan darat menuju fasilitas kesehatan membuat setiap sakit serius berubah menjadi krisis kemanusiaan. Dalam situasi tertentu, keterlambatan penanganan bisa berujung pada kematian di tengah jalan.
Farid Rumadaul, warga Desa Keldor, mengatakan penderitaan ini seharusnya tidak terus dibiarkan. Ia mendesak pemerintah daerah dan pemerintah provinsi segera membangun jalan lingkar Kesui agar warga tidak lagi terisolasi.
“Kami berharap jalan lingkar Kesui segera dibangun oleh pemerintah. Kami ingin mendapatkan akses yang layak seperti wilayah lain di Maluku,” ujar Farid.
Selain infrastruktur jalan, warga juga menuntut penambahan fasilitas kesehatan, khususnya di bagian barat Kecamatan Kesui Watubela. Jarak yang terlalu jauh menuju Puskesmas Tamher Timur dinilai memperbesar risiko kematian pasien saat kondisi darurat.
“Kalau ada puskesmas di bagian barat, rentang kendali akan lebih dekat. Pasien tidak lagi harus dibopong melewati bukit dan sungai,” tambahnya.
Ironisnya, wilayah yang kaya sumber daya alam ini masih tertinggal dalam pemenuhan hak dasar warganya. Ketimpangan pembangunan terasa nyata ketika dibandingkan dengan wilayah lain di Maluku yang telah menikmati akses jalan, transportasi, dan layanan kesehatan yang memadai.
Bagi warga Kesui Watubela, layanan kesehatan belum sepenuhnya hadir sebagai hak, melainkan perjuangan yang dipenuhi risiko. Selama akses jalan dan fasilitas kesehatan tidak dibangun, tragedi serupa akan terus berulang menyisakan pertanyaan mendasar tentang kehadiran negara di wilayah 3T.
Di Kesui, berobat bukan sekadar mencari kesembuhan. Ia adalah pilihan pahit antara bertahan hidup atau mati di jalan.
