titastory, Ternate – Kepolisian Daerah Maluku Utara menyatakan telah mengamankan puluhan warga yang disebut melakukan aksi premanisme bersenjata tajam saat menghentikan aktivitas tambang di wilayah Maba Sangaji, Halmahera Timur. Penangkapan dilakukan pada Jumat, 16 Mei 2025, sekitar pukul 12.00 WIT.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Utara, Komisaris Besar Bambang Suharyono menyatakan, warga yang ditangkap diduga melakukan perampasan kunci alat berat milik perusahaan tambang serta membawa berbagai senjata tajam.
“Ini tindakan premanisme yang meresahkan masyarakat dan mengganggu investasi,” ujarnya, Senin, 19 Mei 2025.

Dari penggerebekan tersebut, polisi mengamankan 10 parang, 1 tombak, 5 ketapel, 1 pelontar panah, 19 busur panah, serta berbagai perlengkapan logistik seperti spanduk, terpal, dan ranting pohon yang diduga digunakan untuk membuat kamp di kawasan hutan.
Sebanyak 27 warga kini ditahan dan diperiksa di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Maluku Utara, Kota Ternate. Dari jumlah tersebut, 11 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Polda Maluku Utara menyebut mereka melanggar:
* Pasal 2 ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena membawa senjata tajam tanpa izin, dengan ancaman 10 tahun penjara;
* Pasal 162 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 karena merintangi kegiatan pertambangan yang memiliki izin, dengan ancaman pidana 1 tahun;
* serta Pasal 368 ayat 1 jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang dugaan pemerasan dan pengancaman.
“Langkah ini bukan keberpihakan pada satu pihak, melainkan bentuk kehadiran negara dalam menjaga situasi keamanan di Halmahera Timur,” kata Bambang.
Warga Klaim Lindungi Hutan Adat
Namun, pernyataan aparat kepolisian itu berbeda dengan kesaksian warga dan lembaga bantuan hukum. Laporan sebelumnya menyebut, para warga yang ditangkap adalah bagian dari komunitas adat Maba Sangaji yang sedang mempertahankan wilayah hutan adat mereka dari ekspansi tambang nikel PT Position.
Warga menggelar aksi damai sejak April 2025 di sekitar kawasan hutan adat yang diklaim telah diserobot perusahaan. Pada Jumat pagi, 16 Mei, ketika aksi berlangsung, 30 warga sempat ditangkap, namun 3 orang dilepas di lokasi. Sebanyak 27 lainnya langsung digiring ke Kota Ternate.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi menyebut mereka belum mendapatkan akses hukum kepada warga yang ditahan. “Kami sudah ke Ditreskrimum tadi malam. Polisi bilang warga masih diinterogasi dan kami diminta datang lagi besok pagi,” kata Lukman Harun dari LBH Marimoi, yang mendatangi Polda bersama Yulia Pihang pada Minggu malam, 18 Mei 2025.
Aksi protes terhadap PT Position telah berlangsung sejak November 2024. Warga menolak aktivitas perusahaan karena dianggap menyerobot sekitar 700 hektare hutan adat, membabat pohon-pohon besar, dan merusak aliran Sungai Maba Sangaji—sumber air utama warga.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mencatat bahwa 51 persen saham PT Position dikuasai PT Tanito Harum Nickel (THN), anak perusahaan tak langsung dari Harum Energy milik konglomerat Kiki Barki. Sementara 49 persen lainnya dimiliki Nickel International Kapital Pte. Ltd, berbasis di Singapura.
Konflik ini memperlihatkan ketegangan antara masyarakat adat dan kepentingan industri tambang di Maluku Utara, yang kerap berujung pada kriminalisasi warga lokal. LBH Marimoi dan Jatam menilai tindakan Polda Maluku Utara sebagai bentuk intimidasi terhadap gerakan rakyat adat yang menuntut keadilan atas ruang hidup mereka.
Penulis : Redaksi
 
            
 
                             
                             
                             
                            