Jakarta, – Fenomena pengibaran bendera putih di berbagai wilayah Aceh menjadi simbol paling gamblang dari kegagalan negara membaca skala krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung di Sumatra. Di tengah banjir bandang dan longsor yang menewaskan lebih dari seribu orang, bendera putih berkibar bukan sebagai tanda menyerah, melainkan jeritan minta tolong dari warga yang kehabisan daya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pengibaran bendera putih merupakan ekspresi politik warga korban bencana yang kecewa terhadap lambannya respons negara. “Bagi ribuan warga yang terkepung lumpur dan kelaparan, bendera putih adalah wujud kekecewaan atas kegagalan negara bertindak cepat,” ujar Usman dalam pernyataan resminya.
Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah dilanda bencana ekologis selama lebih dari tiga pekan. Namun, hingga kini pemerintah pusat tetap menolak menetapkan status Bencana Nasional dan menutup pintu bantuan internasional. Narasi resmi negara menyebut situasi “masih terkendali”, bertolak belakang dengan kondisi lapangan: logistik tersendat, daerah terisolasi, dan ribuan warga bertahan tanpa kepastian bantuan.

Sikap Presiden Prabowo Subianto yang menolak bantuan internasional atas nama kemandirian nasional menuai kritik keras. Dalam perspektif hak asasi manusia, Amnesty menilai keputusan tersebut berpotensi melanggar kewajiban negara untuk melindungi hak hidup dan standar hidup layak warganya. Indonesia terikat oleh ICCPR dan ICESCR, yang mewajibkan negara memastikan akses pangan, air bersih, dan layanan kesehatan—terutama dalam situasi darurat.
“Ketika kapasitas nasional terbukti tidak memadai, menutup pintu bantuan internasional bukan lagi soal kedaulatan, melainkan kelalaian negara,” kata Usman. Ia mengingatkan tragedi Badai Nargis 2008 di Myanmar, ketika junta militer menolak bantuan asing dan menyebabkan puluhan ribu kematian yang seharusnya bisa dicegah.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 19 Desember 2025 mencatat sedikitnya 1.072 orang meninggal, sekitar 7.000 luka-luka, 186 orang hilang, lebih dari 147 ribu rumah rusak, dan 111 ribu warga mengungsi. Angka-angka ini menegaskan skala bencana yang jauh dari “terkendali”.
Di tingkat daerah, tafsir terhadap bendera putih pun beragam. Muzakir Manaf menyebutnya sebagai bentuk solidaritas dan seruan bantuan. Namun bagi warga di Aceh Tamiang, Bireuen, Pidie Jaya, hingga Banda Aceh, bendera putih adalah simbol keputusasaan. “Kami sudah kehabisan daya,” kata seorang warga kepada media lokal.
Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi negara. Bendera putih adalah ultimatum moral: segera buka bantuan internasional, tetapkan Bencana Nasional, dan hentikan narasi yang menutup penderitaan korban. Jika negara terus menyangkal realitas lapangan, sejarah akan mencatat bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan kegagalan kemanusiaan.
