Oleh: Said Latuconsina
Sejarah mencatat bahwa kejayaan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya memaknai jati diri dan lingkungannya sebagai kekuatan, serta memanfaatkan kelemahan lawan menjadi peluang untuk ciptakan keunggulan. Sebaliknya, bangsa yang mengabaikan identitasnya serta gagal mengerahkan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan adaptif, tidak akan tampil lama dalam sebuah pentas sejarah.
Perang Punisia pada abad ke-3 SM antara Republik Roma dan Kekaisaran Kartago memberikan pelajaran berharga tentang transformasi orientasi jati diri sebuah bangsa. Roma, awalnya merupakan negara dengan kekuatan kontinental, bertransformasi menjadi kekuatan maritim, sementara itu Kartago, yang semula berjaya sebagai kekuatan maritim, perlahan kehilangan identitas kelautannya ketika beralih ke orientasi kontinental. Pergeseran ini berkontribusi terhadap keruntuhannya, hilang dari panggung sejarah, sementara Roma justru berkembang menjadi kekuatan besar.
Perang Punisia: Transformasi Roma dan Kejatuhan Kartago
Perang Punisia I (264–241 SM) berawal dari perebutan kekuasaan atas Sisilia, sebuah wilayah strategis yang berada di jalur perdagangan Mediterania. Pada masa itu, Kartago dipimpin oleh para jenderal tangguh seperti Hanno Agung dan Hamilcar Barca, yang berasal dari keluarga militer paling berpengaruh di Kartago. Mereka memimpin armada laut yang unggul dalam penguasaan laut Mediterania. Namun, seiring berjalannya waktu, Kartago mulai kehilangan fokus pada laut. Ambisi ekspansi ke daratan Iberia (Spanyol modern) dan Afrika Utara membuat kekuatan maritimnya melemah, sehingga supremasi laut yang semula menjadi kejayaannya tidak lagi terjaga.
Sebaliknya, Roma sebelumnya dikenal dengan kekuatan darat, justru beradaptasi secara cepat menghadapi medan perang maritim. Roma tidak lagi mengandalkan kekuatan daratnya karena secara taktik Kartago bisa memblokade suplai logistik dan mobilitas mereka lewat laut. Menghadapi ancaman ini, Roma mulai menyusun armada laut.
Di bawah kepemimpinan para konsul seperti Gaius Duilius, Roma membuat kapal-kapal perang berukuran besar dan memperkenalkan inovasi corvus (jembatan sergap) yang memungkinkan prajurit infanteri Roma mengubah pertempuran laut menjadi pertempuran darat di atas kapal. Inovasi ini memberi keuntungan karena Roma unggul dalam pertarungan darat, dan bisa menerapkannya di medan laut.
Transformasi ini terbukti efektif, Roma berhasil memenangkan pertempuran penting di Mylae (260 SM) di bawah komando Duilius, menandai kemenangan laut pertama bagi Roma. Setelah serangkaian pertempuran panjang, Roma akhirnya meraih kemenangan pada 241 SM dalam Pertempuran Kepulauan Aegates, yang dipimpin Gaius Lutatius Catulus. Kekalahan itu memaksa Kartago menandatangani perjanjian damai dan menyerahkan Sisilia kepada Roma.
Perang Punisia I menjadi titik balik, Roma berhasil mengubah dirinya dari kekuatan kontinental menjadi kekuatan maritim, menjadikan laut sebagai media utama ekspansi kekuasaan mereka. Sementara itu, Kartago yang meninggalkan orientasi maritimnya justru kehilangan daya tempur, membuka jalan bagi kehancurannya pada perang-perang berikutnya.
Relevansi bagi Indonesia sebagai Negara Maritim
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa perairan, pada hakikatnya adalah negara maritim. Laut bagi Indonesia merupakan ruang penghubung yang menyatukan berbagai pulau dalam satu kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut ulung yang menguasai jalur-jalur pelayaran penting di Asia Tenggara, bahkan hingga Samudera Hindia. Mereka membangun jaringan perdagangan dan interaksi budaya yang luas, mulai dari Maluku sebagai pusat rempah dunia hingga Afrika Timur dan Madagaskar. Fakta historis ini menegaskan bahwa identitas maritim telah melekat dalam peradaban nusantara sejak berabad-abad silam.
Kebijakan pembangunan Indonesia saat ini masih berorientasi pada paradigma kontinental, dibandingkan maritim. Laut belum sepenuhnya dipandang sebagai “halaman depan” yang strategis. Padahal, mengabaikan laut sama artinya dengan mengingkari jati diri sebagai bangsa maritim. Indonesia harus belajar dari Roma yang memperoleh takdir keunggulannya setelah berpaling ke laut.
Nilai Strategis Provinsi Maluku
Letak geografis Provinsi Maluku yang berada pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III menjadikan Maluku sebagai pintu gerbang penting lalu lintas laut di kawasan Indo-Pasifik menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Konsekuensi Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan di sepanjang jalur ini. Pengelolaan yang efektif dan kerjasama internasional yang baik akan memastikan bahwa ALKI III dapat terus berfungsi sebagai jalur vital bagi perdagangan dan stabilitas kawasan. Pada posisi tersebut, Maluku menjadi wilayah penting dalam memproyeksikan kekuatan Indonesia mewujudkan keamanan maritim dan mempertahankan kedaulatan, sekaligus mengontrol lalu lintas laut kawasan.
Provinsi Maluku memiliki kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah, mencakup sumber daya hayati, non-hayati, dan energi. Berada dalam cakupan tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yakni WPPNRI 714, WPPNRI 715, dan WPPNRI 718, dengan kawasan perikanan tangkap seluas 658.294,69 km², menjadikannya yang terluas di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2022), potensi lestari sumber daya perikanan Maluku mencapai 4,39 juta ton per tahun, atau setara dengan 37 persen dari total potensi nasional sebesar 12,5 juta ton per tahun. Capaian ini menegaskan posisi Maluku sebagai wilayah strategis dalam mendukung ketahanan pangan laut sekaligus lumbung perikanan nasional.
Maluku juga memiliki cadangan minyak bumi dan gas alam yang signifikan. Salah satu yang terbesar adalah Blok Masela, dengan estimasi kandungan mencapai 18,54 trillion cubic feet (TCF). Pada Agustus 2025, proyek strategis nasional ini telah resmi memasuki tahap Front-End Engineering Design (FEED), yakni perancangan teknis untuk fasilitas produksi dan pengolahan gas, termasuk pembangunan pabrik LNG darat. Tahap FEED ini dijadwalkan berlanjut pada Final Investment Decision (FID) di awal 2026, dengan target operasi komersial pada 2029. Selain itu, terdapat potensi migas di Blok Binaiya (Seram) dan Blok Bobara (Aru) yang sedang dalam tahap joint study oleh beberapa perusahaan migas asing.
Kombinasi letak geografis yang strategis, potensi sumber daya alam, dan fungsi kawasan sebagai jalur pelayaran internasional, menempatkan Maluku menjadi bagian dari aset wilayah nasional bernilai strategis. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Provinsi Maluku meminta dikelola melalui sebuah kebijakan strategis yang berorientasi pada maritim.
Perjuangan Panjang Meraih Sebuah Jati Diri
Perjuangan panjang Maluku untuk diakui sebagai provinsi kepulauan guna merealisasikan visi maritimnya sudah berlangsung lebih dari dua dekade dimulai sejak era Gubernur Maluku M. Saleh Latuconsina (1997-2002) yang dikenang sebagai pengusung konsep Gugus Pulau, berhasil menanamkan kesadaran bahwa pembangunan Maluku harus berbasis laut, bukan daratan. Sebuah program pembangunan untuk menghubungkan pulau-pulau di Maluku dengan cara membangun infrastuktur jembatan melalui kapal laut. Namun sayangnya program tersebut tidak bisa dikembangkan karena bersamaan Maluku dilanda konflik komunal berkepanjangan.
Gagasan Latuconsina dilanjutkan oleh Gubernur Karel Albert Ralahalu (2004-2014) yang membawa perjuangan ke tahap lebih konkret. Di eranya, lahir Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan (BKSP), merupakan forum kerja sama delapan provinsi kepulauan yaitu Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Selatan (Sulsel), Kepulauan Riau (Kepri), dan Bangka Belitung.
Pada tanggal 20 Juli 2011, Gubernur Ralahalu bersama para gubernur yang tergabung dalam BKSP menyampaikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Kepulauan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dengan harapan dapat segera dibahas dalam masa persidangan DPR RI tahun 2011. Langkah tersebut dipandang sebagai peletak fondasi formal perjuangan di Senayan membahas daerah kepulauan.
Perkembangan pembahasan RUU Daerah Kepulauan sempat mengalami stagnasi akibat dinamika tarik-menarik kepentingan di DPR RI yang menghambat proses legislasi. Setelah melalui perjuangan panjang, masyarakat dari delapan provinsi kepulauan, kembali memperoleh harapan baru ketika dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025 pada 19 September 2024, RUU Daerah Kepulauan usulan DPD RI resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 menempati urutan ke-41 dari 41 RUU yang ditetapkan. Meskipun demikian, perjuangan belum berakhir karena setelah satu tahun berjalan, pembahasan RUU tersebut belum menunjukkan perkembangan signifikan di DPR RI. Olehnya itu, diperlukan pengawalan ketat dan konsisten dari seluruh pemangku kepentingan agar RUU Daerah Kepulauan dapat segera ditindaklanjuti dan disahkan menjadi undang-undang
Pengakuan Maluku sebagai provinsi kepulauan diharapkan mampu membuka akses terhadap afirmasi anggaran sekaligus perhatian khusus pada pembangunan daerah sesuai karakteristik wilayah kepulauan. Upaya ini sejalan dengan amanat Pasal 25A Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara. Menetapkan Maluku sebagai provinsi kepulauan, berarti pemerintah Indonesia tidak hanya melaksanakan amanat konstitusi, tetapi juga meneguhkan kembali jati diri sebagai bangsa maritim.
Penutup
Sejarah Perang Punisia memberikan arti bahwa ketika sebuah negara maritim mengabaikan identitas maritimnya maka akan kehilangan kekuatan strategis yang menopang kejayaannya.
Indonesia harus meneguhkan jati dirinya sebagai bangsa maritim. Laut merupakan halaman depan sekaligus pemersatu seluruh pulau di nusantara, serta menjadi benteng pertahanan negara.
Perjuangan Maluku untuk memperoleh pengakuan sebagai provinsi kepulauan menjadi bagian integral dari upaya mendorong Indonesia menegaskan kembali visi maritimnya. Pemerintah pusat dan wakil rakyat di DPR RI seyogianya menjadikan perjuangan tersebut sebagai momentum untuk memastikan bahwa bangsa ini tidak mengulang kesalahan sejarah Kartago. Hanya dengan merangkul kembali jati diri maritimnya, Indonesia dapat meneguhkan posisinya sebagai negara yang kuat dan berdaulat, sebab di lautlah sesungguhnya letak kejayaan bangsa.
Peneulis adalah Pemerhati isu-isu Maritim