Begini Cara Masyarakat Adat Von Siwalalat Menjaga Hutan dengan Ritual “Kanahoam” untuk Menolak Investasi Tebu dan Sawit

27/03/2025
Masyarakat adat Von Siwalalat menggelar ritual adat "Kanahoam" atau sasi hutan sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana investasi PT Visqa Mulia Mahakarya, di kawasan hutan Fulla Wai Vanath, Rabu (22/3/2025). Foto: titastory/Josua

titastory, Seram Bagian Timur – Gelombang penolakan terhadap investasi perkebunan tebu dan sawit di Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, terus meluas. Setelah Masyarakat Adat Negeri Elnusa dan Negeri Sabuai menyuarakan sikap serupa, kini giliran masyarakat adat Dusun Von yang menggelar ritual adat “Kanahoam” atau sasi hutan sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana investasi PT Visqa Mulia Mahakarya.

Ritual berlangsung pada Rabu (22/3/2025) sekitar pukul 12.00 WIT di kawasan hutan Fulla Wai Vanath. Prosesi ini melibatkan para tetua adat, kepala dusun, serta masyarakat Dusun Von yang berkumpul untuk menegaskan hak mereka atas tanah adat.

Masyarakat adat Von Siwalalat menggelar ritual adat “Kanahoam” atau sasi hutan sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana investasi PT Visqa Mulia Mahakarya, di kawasan hutan Fulla Wai Vanath, Rabu (22/3/2025). Foto: titastory/Josua

Kepala Dusun Von, Agus Lessa, menegaskan bahwa ritual ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hutan adat mereka, yang menjadi sumber kehidupan bagi generasi saat ini dan mendatang. Ia dengan tegas menolak kehadiran perusahaan yang akan menggarap lahan untuk perkebunan tebu, sawit, dan eksploitasi kayu bulat.

“Katong seng mau perusahaan masuk. Katong mau jaga katong pung hutan, karena ini yang hidupi katong sampe sekarang. Katong harus jaga ini par ana cucu pung masa depan,” ujarnya.

Lessa juga mengungkapkan bahwa di kawasan hutan mereka terdapat situs-situs bersejarah dan tempat keramat yang diwariskan oleh leluhur. Baginya, menjaga hutan bukan sekadar mempertahankan ruang hidup, tetapi juga merawat identitas dan warisan budaya yang telah ada sejak dahulu.

“Di katong pung hutan ini ada tempat-tempat keramat yang sudah ada dari dulu. Itu warisan dari katong pung leluhur, jadi tanggung jawab katong untuk jaga,” katanya.

Ia berharap pemerintah tidak melakukan pengambilalihan lahan adat secara sepihak dan mempertimbangkan kembali rencana investasi tersebut. Masyarakat Dusun Von, kata Lessa, tidak ingin menjadi korban kebijakan yang mengorbankan hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan.

“Katong minta pemerintah jangan ambil katong pung tanah dan jangan kasi masuk perusahaan di katong pung wilayah. Katong seng mau jadi korban,” tutupnya.

Abdon Nababan, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa tanpa melalui proses pengukuhan, suatu wilayah tidak dapat secara hukum disebut sebagai kawasan hutan. Dalam pernyataannya di media sosial, ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/2011 yang menetapkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus melalui tahapan berurutan, yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan terakhir, penetapan sebagai kawasan hutan.

Menurut Abdon, penataan batas kawasan hutan bukan sekadar proses teknis, melainkan bagian dari proses hukum yang mengharuskan keterlibatan semua pihak yang berbatasan dengan wilayah tersebut. Ia menekankan pentingnya asas contradictor delimitasi, sebuah prinsip hukum yang mengharuskan adanya pemberitahuan dan persetujuan dari pihak-pihak berkepentingan sebelum pengukuran dan penandatanganan batas tanah dilakukan. Hal ini harus dibuktikan dengan Berita Acara Tata Batas (BATB).

“BATB adalah keharusan sebelum kawasan hutan ditetapkan. Jika ada penetapan kawasan hutan tanpa BATB, maka pengukuhannya cacat dan batal demi hukum,” ujar Abdon. Ia juga mengingatkan bahwa sekalipun BATB telah dibuat, keabsahannya tetap perlu diperiksa. “Kita harus memastikan bahwa yang menandatangani BATB memiliki legitimasi sebagai pemangku hak. Jika tidak, maka dokumen tersebut cacat hukum, dan penetapan kawasan hutan yang bersangkutan juga tidak sah,” tegasnya.

Abdon menegaskan bahwa kawasan hutan yang ditetapkan secara sepihak, tanpa proses pengukuhan yang sah, pada dasarnya bukanlah kawasan hutan menurut hukum.

Penulis: Josua Ahwalam
error: Content is protected !!