titaStory.id, sorong – Lebih kurang 65 tahun sudah, Papua menjadi bagian integrasi dari Negara Kesatuan yang bernama Republik Indonesia dan selama itu pula orang Papua menginginkan kemerdekaan atas tanah dan manusianya, karena merasa tidak dihargai oleh sistem pemerintahan negara Indonesia yang dalam dasar negaranya kemanusian yang diharuskan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai jaminan. Tapi pada faktanya kemanusiaan yang diharuskan adil dan beradab didusta dengan pelanggaran HAM yang sebatas menjadi materi diskusi tanpa solusi, terus bertambah: konflik yang yang terjadi di tanah Papua tidak diselesaikan, tetapi diciptakan untuk memberi keuntungan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai jaminan terbentuknya republik Indonesia tetap menjadi utopis, keadilan sosial bagi seluruh rakyat dikhususkan bagi kalangan pejabat-atas nama negara: pemerintah diduga menjadi pion investasi yang masih melakukan perampasan ruang hidup. Perihal ini dilakukan hanya demi kepentingan para petinggi dan juga oligarki.
Buntut untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh para penguasa dan oligarki adalah rakyat dijadikan tumbal. Hal itu harus dialami oleh rakyat Papua, seperti penangkapan berujung pemenjaraan yang sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dengan jeratan pasal (makar) menjadi angin yang berhembus pada bara yang membakar sekam, ketika waktunya tiba maka pasti akan terbakar, tergantung arah angin yang bertiup. Bisa jadi terbakar karena angin tersebut berasal dari konflik kepentingan para petinggi dan oligarki, serta kapital global ataupun berasal dari perasaan orang Papua yang terhina karena dihina.
Kondisi yang terus berkecamuk di tanah Papua menjadi persoalan yang saat ini bukan hanya berdampak sebagai ancaman bagi orang Papua tetapi juga orang non-Papua yang hidup di tanah Papua. JIka pemerintah tidak melihat kondisi Papua sebagai benih perpecahan maka persatuan Indonesia adalah harga yang harus dibayar sebagai ganti.
Kebencian yang Diciptakan
Negara selalu menjadikan tuntutan kemerdekaan Papua adalah sebuah tindakan makar yang mengancam persatuan dan kesatuan tanpa menyadari bahwa yang menginginkan Papua harus merdeka adalah sistem tata kelola negara yang memaksa orang Papua makin keras berjuang agar Papua terlepas (menjadi negara sendiri).
Ketika pemaknaan dari teriakan merdeka oleh orang Papua, itu berarti Orang Papua ingin terlepas, maka pemahaman pemerintah terlalu sempit dan terbatas pada tindakan yang bisa saja tidak dapat didalilkan sebagai kejahatan makar atau tindakan melawan kekuasaan yang sah di pengadilan.
Jika pemerintah bisa lebih mendalami makna tuntutan merdeka dari orang Papua semisal, kemerdekaan orang Papua dimaknai sebagaimana dalam pasal 28 UUD 1945, berarti merdeka yang dimaksud bukan semata-mata ancaman integrasi tetapi menjadi hak yang sudah harus dipenuhi oleh negara, sebagaimana dimuat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, tidak terkecuali apa yang dialami oleh orang Papua.
Pada saat kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres), Jokowi selaku presiden terpilih menyatakan akan memperhatikan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dan akan terjadi tetapi ketika menjabat hingga dua periodisasi, bukan pelanggaran HAM diperhatikan agar menjadi tolak ukur bagi rakyat Indonesia bahwa presiden Jokowi memang berusaha menyelesaikan pelanggaran HAM yang makin menjadi-jadi tetapi yang diperhatikan adalah perluasan penguasaan ekonomi-pembicaraan pelanggaran HAM hanya menjadi bahan politisasi bagi para calon pemimpin negara ini.
Berulang-kali presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja di Papua, mungkin supaya menunjukan bahwa negara sudah melakukan semua hal yang diinginkan oleh orang Papua karena lebih banyak Jokowi berkunjung ke Papua daripada daerah lain. Timbul pertanyaan, kunjungan kerja yang dilakukan apakah merubah situasi di Papua? Atau malah sebaliknya?
Pandangan untuk perubahan Papua dengan jelas terlihat dari aktivitas pemerintah pusat yang mendorong pengesahan Undang-Undang Otsus jilid II (dua) dan juga Undang-undang pemekaran wilayah Papua makin mendorong orang Papua untuk bertahan dalam perjuangan kemerdekaan.
Bukan memperbaiki kinerja dengan bentuk pertanggung-jawaban atas persoalan yang menjadi tuntutan rakyat Papua, Pemerintah malah menambah deretan kasus pelanggaran HAM yang terjadi rentetan-kasus-kasus-pelanggaran-ham-di-papua.
Seperti dilansir dari media CNN Indonesia yang berjudul “Rentetan Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua” (“Rentetan Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua” (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210730084251-12-674118/rentetan-kasus-kasus-pelanggaran-ham-di-papua) dijelaskan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat secara resmi enam kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi dalam kurun waktu 1998 sampai 2017.
Dari apa yang terjadi, orang Papua menganggap kunjungan kerja pemerintah pusat, baik Presiden maupun para Menteri di Papua tidak menunjukan kalau pemerintah sedang menjalankan kewajiban bernegara, melainkan menjalankan kepentingan berbisnis diatas tanah Papua.
Jika pemerintah pusat datang ke Papua untuk merubah kondisi Papua maka pemerintah Indonesia sudah mampu merubah mindset orang Papua terhadap Belanda; dianggap sebagai penjajah oleh Indonesia tapi tidak demikian dengan anggapan orang Papua, walaupun mereka adalah pembuat masalah yang mencuci tangan tetapi orang Papua beranggapan bahwa mereka tidak jajah oleh Belanda.
Pemberian dana afirmasi lewat otonomi khusus (Otsus) jilid II dimaknai sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua maka apa yang dikatakan oleh bung Hatta pendiri republik ini, pada saat perdebatan didalam sidang BPUPKI untuk memasukan Papua di dalam kesatuan Indonesia telah menjadi kenyataan.
Indonesia merdeka, lalu dianggap oleh orang papua sebagai penjajah sebagaimana pandangan mahasiswa, pemuda, dan seniman Papua terhadap Indonesia saat ini.
Jelas bahwa ketika lelaki dan perempuan Papua ditangkap atas dasar delik pidana yang dibuat-buat seperti beberapa kasus yang diputus bebas oleh hakim di pengadilan negeri Sorong, maka kebencian bukan hanya kebencian terhadap mereka yang ditangkap, lalu ditahan secara sewenang-wenang tetapi juga terhadap anak-anak Papua yang melihat orang tua mereka ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan Indonesia.
Stigma bahwa sistem Indonesia itu jahat adalah bara yang akan terus menyala didalam pikiran anak-generasi Papua.
Penulis Adalah Volunter di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu, di Sorong, Papua Barat Daya
Discussion about this post