Medan, – Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, diguncang duka mendalam setelah banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah pada Selasa malam, 25 November 2025. Hujan lebat yang berlangsung lama memicu aliran deras di sungai-sungai, menghantam permukiman, memutus akses jalan, dan menelan korban jiwa.
Data terbaru BNPB mencatat lima warga meninggal dunia, sementara empat orang lainnya masih hilang. Sebanyak tujuh orang terluka, terdiri dari lima luka berat dan dua luka ringan. Seluruh korban luka telah dievakuasi ke RSUD Doloksanggul.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan proses pencarian korban hilang terus dilakukan. Namun ia menegaskan bahwa keselamatan petugas menjadi prioritas, mengingat kondisi medan berbukit yang labil dan rentan longsor susulan.
“Pencarian terus dilanjutkan, tetapi kami meminta perhatian khusus karena medan sangat berat,” ujarnya.

Kerusakan Meluas di Tujuh Desa
yang dipicu fenomena Siklon Tropis Senyar ini memporak-porandakan sedikitnya tujuh desadi empat kecamatan: Kecamatan Doloksanggul: Desa Sampean, Kecamatan Onan Ganjang: Desa Parbotihan, Sihikkit, Sampetua, Janji Nagodang, Kecamatan Pakkat: Kelurahan Panggugunan, Desa Aek Sopang dan Kecamatan Parlilitan: Desa Janji Hutanapa
BNPB mencatat setidaknya ada 6 rumah rusak berat, 1 rumah ibadah rusak ringan, 11 titik akses jalan terputus, 1 jalur utama tertimbun material, Saluran, jembatan, dan tembok penahan tanah rusak dan Lahan pertanian warga rusak parah.
Tim gabungan BPBD, TNI–Polri, dan relawan juga dikerahkan membuka akses jalan dengan excavator dan backhoe loader, serta mendirikan dapur umum untuk kebutuhan pengungsi.

“Ini Bukan Sekadar Bencana Alam” — Suara Kritik dari Warga dan Aktivis
Di tengah penanganan darurat, peristiwa ini kembali memantik perdebatan soal kerusakan hutan dan aktivitas industri ekstraktif di kawasan hulu. Warga net asal Medan, Maruli Simanjuntak, menyebut banjir bandang yang membawa gelondongan kayu sebagai sinyal kuat adanya persoalan ekologi yang lebih dalam.
Ia menepis pernyataan sejumlah pihak yang menyamakan banjir di Humbang dengan banjir di Kota Medan.
“Yang terjadi di Tapanuli Raya itu berbeda. Banjir datang membawa gelondongan kayu setelah hutan-hutan di hulu dihancurkan. Ada lebih dari 167 ribu hektar konsesi yang ikut menyumbang kerusakan,” ujarnya.

Narasi senada muncul dalam laporan terbaru Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berjudul Bencana Ekologis: Mereduksi Risiko, Memulihkan Indonesia (2025). WALHI menegaskan bahwa mayoritas bencana di Indonesia hari ini tidak lagi sepenuhnya alami, melainkan bagian dari akumulasi krisis ekologi akibat kebijakan tata ruang dan eksploitasi sumber daya.
Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif Nasional WALHI 2021–2025, Zenzi Suhadi, menyatakan Bencana tidak pernah sepenuhnya alamiah. Banyak di antaranya adalah akibat dari keputusan politik dan kebijakan pembangunan yang jauh dari keadilan ekologis.
Pendiri Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, menegaskan dalam tulisan yang sama bahwa krisis ekologis bukan sekadar soal tata kelola alam, melainkan siapa yang menguasai ruang hidup.
“Air bah turun bukan hanya dari langit, tapi dari perusakan hutan. Longsor datang bukan semata karena hujan deras, tapi karena bukit dijadikan tambang,” katanya.
WALHI menyebut kondisi seperti di Humbang Hasundutan sebagai “bencana ekologis”, yakni bencana yang lahir dari kombinasi faktor hidrometeorologi dan kerusakan lingkungan yang menumpuk.

Peringatan Dini dan Imbauan BNPB
BNPB meminta masyarakat Humbang Hasundutan tetap waspada mengingat potensi curah hujan masih tinggi. Masyarakat diminta: menjauhi daerah lereng curam, menghindari aktivitas di sekitar aliran sungai yang airnya mulai keruh, menyiapkan rencana evakuasi keluarga, dan memantau informasi resmi dari BNPB dan BMKG.
BNPB juga memperingatkan agar masyarakat tidak mudah percaya pada informasi tidak terverifikasi yang beredar di media sosial.
Banjir bandang dan longsor di Humbang Hasundutan bukan hanya menyisakan kerusakan fisik dan duka bagi keluarga korban, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar terkait penataan ruang, tata kelola hutan, dan kebijakan pembangunan di wilayah-wilayah sensitif ekologis.
Sebagaimana ditekankan WALHI dalam buku Ini (Bukan) Bencana, dampak yang terjadi hari ini merupakan konsekuensi dari pilihan politik puluhan tahun.
Sementara itu, tim pencarian masih terus bekerja. Di tengah deru alat berat dan material longsor yang masih basah, keluarga korban menanti kabar dari sanak saudara mereka yang belum ditemukan.
