- Koran Pembebasan berkesempatan melakukan wawancara dengan DR Max Lane. Wawancara ini dilakukan setelah hiruk pikuk pemilu legislatif 2014 dan selanjutnya kita dihadapkan pada pemilu presiden yang akan berlangsung bulan Juli nanti.
- Perbedaan-perbedaan pandangan terhadap pemilu 2014 mengemuka dari berbagai kelompok, begitu pula akan terjadi dalam pemilu presiden 2014. Ada kah kemungkinan-kemungkinan alternatif yang perlu dibangun? Mari kita simak.
Surya:
Selamat siang bung Max Lane. Bagaimana pandangan bung Max Lane terhadap pemilu 2014 ini?
Max Lane:
Kalau dipandang dari hasilnya secara umum pola hasil pemilu ini sama dengan pemilu-pemilu paska 1999. Memang ada partai baru yang berhasil masuk parlemen seperti Partai Nasdem, ada partai yang kehilangan suara seperti Partai Demokrat, ada partai-partai yang sedikitbanyak bertambah suara seperti: PDIP, Gerindra, PAN, dan PKB. Ada perbedaan-perbedaan dengan pemilu sebelumnya, tetapi tidak terlalu penting dibanding dengan hal-hal yang sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu: pertama, bahwa sebagian besar masyarakat miskin Indonesia teralienasi atau terasingkan, merasa aspirasinya sama sekali tidak disuarakan atau diwakili oleh partai-partai yang ada. Ini tercerminkan dalam dua hal: pertama, orang yang tidak memilih, Golput itu sebesar 37%, belum lagi tercatat orang yang merusak surat suaranya sebagai tanda protes. Dan, belum juga termasuk orang yang terdaftar, menjadi pemilih tetapi tidak terdaftar sebagai pemilih, itu berarti minimal 45% orang Indonesia yang menurut perhitungan saya orang yang berhak memilih tetapi tidak memilih. Padahal di tahun 1999, Golput itu sangat rendah. Ada pola, sejak 1999 sampai sekarang, semakin banyak orang merasa tidak terwakili melalui organisasi-organisasi yang ada sekarang ini.
Faktor kedua adalah bahwa dukungan terhadap partai-partai yang ada sangat rendah sekali, mungkin yang terendah di dunia. Yang unggul adalah PDIP dengan 19,70%, aku hitung yang mendukung PDIP di rakyat Indonesia hanya sekitar 11-12% orang. Dan dukungan itu hanya pasif, hanya memilih. Kalau kita lihat yang mendukung kampanye dan mobilisasi hanya yang berkaos merah –tidak ada rakyat yang spontan mendadak ikut kampanye. Belum lagi partailainnya, misalnya, Gerindra naik suaranya mendapatkan 12%, tetapi 12% dari 60% yang berarti hanya 8% yang memilih Gerindra dan secara pasif. Faktor ini, Golput yang tinggi dan dukungan yang pasif pun untuk partai-partai yang sangat rendah sudah menunjukkan bahwa memang ada alienasi masyarakat daripada situasi sistem proses formal politik yang ada.
Faktor yang harus dikomentari juga adalah bahwa dalam bulan-bulan terakhir bahkan mungkin sejak Joko Widodo terpilih sebagai Gubernur DKI dan kemudian menjadi calon presiden, sejak itu ada terus menerus diskusi, publik, media, bahkan di pinggir jalan, bahwa elektabilitas Joko Widodo sangat tinggi. Bahkan sampai sekarang, kalau di Pilpres Joko Widodo kemungkinan besar akan menang. Tetapi di saat yang sama, semua orang sudah komentar, kok suara PDIP meskipun naik sejak 2009, tapi jauh di bawah poling-poling selama 2012 -2013.
Dimana PDIP dapat 23% hingga 27%, dan figur-figur pimpinan PDIP di depan publik menyatakan “kita pasti dapat 27%”, bukan sebagai target tetapi sebagai yang pasti akan bisa diraih. Kita baca di surat kabar dan sosial media betapa banyak orang mulai membicarakan bahwa tidak ada Jokowi Effect. Buat saya ini fenomena penting, mengajak kita menganalisa lebih mendalam, mengapa selama ini Joko Widodo sangat disukai masyarakat.
Buat saya popularitas Jokowi selama ini karena dia dipandang seorang politisi yang mental dan gayanya berlawanan dengan mental politisi lama yang gayanya itu pejabat yang otoriter, pejabat yang arogan, biasa disebut pejabatisme. Jokowi dipandang oleh masyarakat sebagai tokoh yang mental dan gayanya bertolak belakang dengan Pejabatisme ini. Tetapi anti-pejabatisme ini dangkal dan pasif. Jokowi tidak pernah mengajak masyarakat untuk berorganisasi dan memperjuangkan haknya. Gaya Joko Widodo adalah melakukan blusukan dan mengkampanyekan bahwa dia tidak seperti pejabat Lain, dia mau mendengarkan, buktinya dia mau datang ke tempat rakyat. Rakyat tak usah khawatir, rakyat tunggu saja dan dia (Jokowi) akan menyelesaikan masalah. Tidak cukup membangkitkan suatu momen politik untuk meningkatkan suara PDIP kalau cuma pasif anti pejabatisme. Tidak cukup.
Harus isi program yang memang mengajak rakyat bergerak, dan punya program yang kongkret menjawab situasi rakyat miskin, minimal redistribusi kekayaan kepada rakyat miskin dari yang kaya. Minimal itu.
Dan buat saya sudah jelas sekali, tidak ada pelaku politik sekarang yang mampu atau mau memimpin suatu perubahan meninggalkan perlawanan terhadap pejabatisme yang pasif itu. Pelakunya harus datang dari luar dunia partai politik yang ada. Dan harus datang dari bawah.
Surya:
Ada polarisasi terhadap posisi gerakan kiri dalam merespon pemilu. Ada yang mendukung Jokowi, ada yang masuk ke seluruh partai kecuali demokrat, seperti PRD. Ada yang menolak pemilu dan memukul semuanya. Ada yang menolak pemilu dan menekankan pada serangan terhadap militerisme. Dan diluar kiri, ada gerakan buruh seperti FSPMI, dibawah Said ikbal, yang memiliki perspektif “go politik” namun masuk ke semua partai untuk memperjuangkan agenda-agenda buruh, dan pada pilpres nanti kecenderungannya akan mendukung Prabowo. Bagaimana pandangan bung Max Lane?
Max Lane:
Kalau dikatakan ada polarisasi di gerakan kiri. Saya belum melihat itu. Kalau kita bicarakan gerakan kiri. Karena yang memberi “dukungan” kritis, dukungannya sangat kelihatan tetapi kritisnya tidak kelihatan.
Sebagian besar sudah lama tidak terlibat dalam proses membangun organisasi-organisasi gerakan. Kecuali mungkin melalui LSM. Kalau dikalangan organisasi gerakan kiri, saya lihat minoritas organisasi gerakan kiri ambil sikap menolak pemilu, artinya ini merupakan pernyataan bahwa tidak ada satu partai politik yang pantas didukung, semuanya adalah partai yang menjaga status quo kapitalis.
Perbedaan yang kelihatan sementara ini adalah sejauh mana butuh memberi tekanan khusus kepada menghadang berkuasanya kembali bagian dari elit yang memiliki record menggunakan kekerasan represif dalam politik dan bahkan juga menawarkan model politik kembali kepada sistem otoriter.
Dalam kasus ini sejauh mana memprioritaskan tekanan khusus atau menghadang berkuasanya partai Gerindra. Memang semua partai politik yang berkembang selama ini sejak 1999, memang semuanya garis besar status quo kapitalisme semi kolonial yang ada di Indonesia.
Tetapi diantara partai-partai itu yang jelas menunjukkan minat atau kesanggupan bahwa menjaga status quo ini bisa juga dengan kekuasaan represif dan itu memang Partai Gerindra, meskipun partai-partai lain di situasi tertentu bisa kembali ke pendekatan militeristik.
Salah satu warisan daripada pengalaman perlawanan terhadap Soeharto dan mengangkat agenda reformasi yaitu terjadi politisasi masyarakat Indonesia secara umum. Banyak gejalanya, bahwa lebih banyak orang aktif di politik daripada sebelumnya, baik di parpol maupun di luar parpol.
Tetapi misalnya jutaan buruh sudah lebih aktif di serikat buruhnya dibanding dulu. Jumlah LSM-LSM kecil, komite-komite aksi kecil, lingkaran-lingkaran diskusi di kampus, baik mahasiswa dan dosen, seniman-seniman yang ingin bicarakan politik sudah banyak sekali dan dengan bermacam-macam kesadaran. Saya kira sektor ini bisa disebut sebagai sektor demokrat progresif dan sektor ini besar sekali di Indonesia.
Dalam semua aktifitas ini biar pun dengan tingkat kesadaran yang berbeda-beda, ada benang merahnya yaitu dukungan terhadap hak asasi dan hak demokratis, ketidaksetujuan dengan ketidakadilan sosial di semua bidang, baik sosial ekonomi, maupun antar gender atau pun dalam bidang lingkungan.
Dan sebagian besar daripada sektor ini tidak percaya bahwa elit politik Indonesia mampu atau berniat menyelesaikan masalah-masalah ini. Jadi sektor ini adalah sektor laten dengan semangat menolak seluruh elit yang ada.Tetapi selama tidak jadi bagian dari sebuah gerakan yang berstrategi, militansinya akan selalu mengalami pasang surut. Sektor ini harus diberi argumentasi dan diyakinkan untuk menjadi bagian dari gerakan yangmemiliki strategi merebut kekuasaan.
Sekali lagi, sektor demokrat progresif ini besar, meskipun tidak sebesar yang seharusnya. Tetapi sektor ini memang tidak sibuk membangun organisasi gerakan untuk merebut kekuasaan.
Biar pun kesadarannya kadang-kadang bisa radikal, tidak ada perhatian atau kurang ada perhatian pada masalah strategi. Kesadaran non partai ini memang bisa jadi hambatan besar, tetapi adanya suasana demokratis progresif adalah hal yang sebenarnya harus memberi kita harapan bahwa bisa juga, atau ada basis juga, untuk langkah-langkah awal membangun suatu kekuatan politik alternatif.
Memang kalau kita bicarakan wacana pembangunan kekuatan politik alternatif, artinya kekuatan politik yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat miskin, ada perkembangan baru di masyarakat Indonesia.
Membangun yang alternatif tidak boleh lagi dianggap sebagai sekadar sebuah wacana dan mungkin butuh waktu lama untuk diwujudkan. Perkembangan baru ini adalah munculnya untuk pertama kali dalam waktu 50 – 80 tahun gerakan serikat buruh yang riil dan sejati.
Dengan kategori yang saya mau tekankan bahwa serikat buruh ini tidak lagi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara ataupun sebagai perpanjangan tangan sebuah parpol tertentu. Bahwa serikat buruh-serikat buruh ini bisa memiliki pengurus yang berhaluan moderat, konservatif, ataupun opportunis, selain mungkin juga orang-orang radikal, itu lain masalah.
Yang penting untuk dicatat bahwa ada 2 -3 juta pekerja pabrik yang sudah berserikat. Dan 2-3 juta orang yang berserikat ini tidak akan bisa melarikan diri dari realitas bahwa memang harus Go Politic.
Serikat-serikat buruh di Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 sudah menunjukkan kalau berbuat kampanye berskala cukup besar bisa meraih kenaikan upah minimum dan pengurangan outsourcing. Tetapi juga terbukti gampang sekali terjadi penangguhan kenaikan upah, gampang sekali manipulasi kontrak-outsourcing, gampang sekali terjadi pemecatan massal dan lain sebagainya. Mau atau tidak, kalau anggota serikat buruh ingin mendapatkan kemenangan-kemenangannya di tangannya akan harus ada kekuatan politik; bukan hanya kekuatan serikat di lapangan.
Makanya masuk akal sekali kita melihat, berbagai unsur elit mulai intervensi ke dunia serikat buruh. Baik itu dari PDIP, PKS, ataupun Gerindra. Hal ini terjadi karena dengan adanya 2-3 juta orang yang sudah berinfrastruktur politik memang ada pelaku politik baru yang masuk medan. Dan pelaku politik baru itu pasti elemen-elemen elite berusaha merebutnya sebagai sekutu mereka. Jadi memang serikat buruh mau atau tidak mau akan go politik. Cuma masalahnya adalah program, isi dan metode go politik itu bagaimana?
Saya sendiri cukup yakin bahwa cepat atau lambat dan pasti dengan banyak zig-zag, dunia gerakan serikat buruh ini memang akan melahirkan kekuatan-kekuatan yang ingin dan sanggup membantu membangun gerakan politik alternatif. Akan terjadi bagaimana? Belum jelas. Tetapi kita tahu dunia gerakan serikat buruh ini terdiri dari jutaan orang. Sehingga pasti juga berbagai tingkat kesadaran akan ada. Sejauh mana muncul kesadaran militan untuk membangun sebuah gerakan alternatif juga bergantung pada usaha-usaha mendidik dan meyakinkan orang tentang kemungkinan-kemungkinannya sambil berjuang untuk mencapai tuntutan buruh sesaat.
Yang saya lihat sementara ini, taktik-taktik yang dijalankan oleh serikat-serikat buruh secara formal belum mengarah ke membangun kekuatan alternatif. Dua konfederasi buruh besar (KSBSI dan KSPSI) mendukung PDIP. FSPMI memiliki taktik lain menjalankan program buruh go politic dengan memasukkan aktivis-aktivis FSPMI ke seluruh partai.
Menurut yang saya pernah diberitahu, sebenarnya pada awalnya akan ada pemilu raya internal serikat untuk menentukan calegnya, sehingga calon-calon caleg tersebut akan juga menawarkan program kampanye kapada anggota serikat. Dulunya juga ada konsep bahwa serikat harus tetap mendapatkan persetujuan memiliki hak recall terhadap anggota-anggotanya yang menjadi anggota parlemen kalau terpilih. Tetapi ini semua tidak terjadi sehingga anggota-anggota FSPMI yang menjadi caleg ke beberapa partai bukan sebuah ujung tombak daripada kekuatan program ataupun mandat yang kuat.
Jadi ini disatu sisi menunjukkan bahwa memang dinamika mendorong serikat go politic itu sudah kuat. Tetapi di lain sisi, jelas bukan sebuah langkah baik menuju membangun kekuatan buruh politik alternatif.
Kemudian saya juga menonton di Televisi dan membaca di surat kabar pernyatan-pernyataan dari Said Ikbal, presiden FSPMI dan KSPI, yang cenderung bersimpati kepada Prabowo Subianto dari Gerindra. Meskipun pernyataan ini belum tegas dan final sifatnya. Hal ini juga merupakan ajakan dunia serikat untuk bekerja melalui wadah-wadah yang sudah ada, bahkan yang punya record represif. Hal ini pula bukan langkah yang baik menuju kekuatan buruh politik alternatif.
Saya juga mendengar ada pimpinan FSPMI mau bekerja melalui PDIP ini pun bukan langkah menuju membangun yang baru. Jadi mungkin, proses mencari langkah yang baru, yang akan membantu dalam membangun kekuatan politik buruh alternatif, harus muncul dari elemen serikat buruh yang lain.
Surya:
Dalam rapat di Rumah Rakyat, Said Ikbal menyampaikan bahwa siasat go politic dan mendukung salah satu Capres adalah bentuk latihan politik, agar buruh punya kesadaran berpolitik, dan tujuan dia, untuk membangun partai buruh dan rakyat semakin memiliki syarat. Bagaimana pandangan bung?
Max Lane:
Proyek untuk mendirikan partai demokratik progresif berbasis rakyat miskin termasuk buruh dalam konteks Indonesia adalah proyek menciptakan dan membangun sesuatu yang sama sekali baru. Karena sejarah unik Indonesia yang selama lebih 30 tahun mengalami politik massa mengambang (floating mass) dimana gerakan politik berasal dari bawah sudah tidak ada selama beberapa generasi.
Yang dihadapi sekarang adalah tantangan membangun sesuatu yang sama sekali baru. Bukan hanya sama sekali baru, tetapi sekaligus berhadadapan langsung dengan yang lama. Suatu gerakan politik demokratik progresif yang dibangun dari bawah akan merupakan ancaman langsung terhadap kekuatan elite politik.
Karena ini memang suatu proyek yang sangat baru sekali, menciptakan gerakan politik baru, memang sejak awal, pemimpin yang mau bergerak ke arah itu harus punya sikap jelas. Sejak awal mendeklarasikan di depan publik keinginannya untuk mulai dari awal lagi dan menghindari mengajak massa atau orang lain, bergabung atau terlibat dalam wadah-wadah politik yang sudah disiapkan oleh elit tadi itu.
Latihan politik yang dibutuhkan oleh massa dunia serikat buruh, maupun rakyat pada umumnya, adalah latihan politik membangun dari bawah, bukan latihan politik menyesuaikan diri dengan yang sudah ada, biar pun dengan justifikasi yang ada itu diperbaiki. Bersambung…
DR Max Lane adalah aktivis, akademisi dan seorang Indonesianis.
Pewawancara: Surya Anta, Juru bicara Partai Pembebasan Rakyat dan Anggota Komite Politik Alternatif.
Tulisan ini dilansir dari laman web Koran Pembebasan (Bangun Alternatif dari Bawah! (Bagian Pertama) | Koran Pembebasan (wordpress.com) dengan judul: Bangun Alternatif dari Bawah! (Bagian Pertama)
Discussion about this post