Bagaimana Awal Kehidupan di Bumi? Memadukan Perspektif Yuval Noah Harari, Charles Darwin, dan Agama

23/01/2025
Gambar Karikatur Yuval Noah Harari dan Charles Darwin yang mencerminkan kepribadian serta latar belakang intelektual mereka masing-masing. (Foto diolah Artificial Intelligence)
Christ J. Belseran, Jakarta

Asal-usul kehidupan di Bumi terus menjadi perdebatan yang menggugah pikiran. Di satu sisi, teori evolusi memberikan kerangka ilmiah yang komprehensif tentang proses biologis yang membentuk kehidupan. Di sisi lain, agama menawarkan narasi metafisik yang menyentuh spiritualitas manusia. Dalam esai ini, saya akan memadukan pandangan Yuval Noah Harari, Charles Darwin, dan berbagai refleksi agama Abrahamik untuk memahami kompleksitas asal-usul kehidupan manusia.

 

Yuval Noah Harari: Evolusi Sosial dan Narasi Kolektif

Yuval Noah Harari lahir di Haifa, Israel, Yuval Noah Harari lahir pada 24 Februari tahun 1976. Dia menerima gelar Ph.D. dari Universitas Oxford pada 2002, dan sekarang menjadi dosen di Jurusan Sejarah, Universitas Ibrani Yerusalem. Beliau merupakan seorang sejarawan Israel yang juga menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem.

Yuval Noah Harari, seorang sejarawan terkemuka, mengungkapkan bahwa perjalanan manusia dari spesies biasa menuju penguasa planet dipengaruhi oleh kemampuan unik Homo sapiens untuk menciptakan mitos kolektif. Dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind, Harari menjelaskan bahwa revolusi kognitif sekitar 70.000 tahun lalu menjadi katalisator penting. Bahasa yang kompleks memungkinkan manusia membangun struktur sosial berbasis kepercayaan bersama.

Namun, Harari juga memperingatkan dampak negatif dari dominasi manusia, seperti kerusakan lingkungan, stratifikasi sosial, dan eksploitasi spesies lain. Ia menekankan bahwa konsep ras, sering kali digunakan untuk diskriminasi, hanyalah konstruksi sosial, bukan fakta biologis. Dalam konteks modern, Harari mengajak manusia untuk mengatasi perpecahan dan fokus pada tantangan global seperti perubahan iklim dan resistensi antibiotik.

Foto IIustrasi manusia Purba

 

Sapiens dan Evolusi Keberagaman Ras

Seiring dengan migrasi Homo sapiens keluar dari Afrika sekitar 70.000 tahun lalu, variasi genetik mulai berkembang, menghasilkan ciri-ciri fisik berbeda yang kita kenal sebagai ras. Harari menjelaskan bahwa adaptasi lingkungan, kebutuhan lokal, serta isolasi geografis memainkan peran penting dalam membentuk keberagaman ini. Namun, apakah konsep ras ini benar-benar esensial dalam memahami umat manusia? Dalam pandangan Harari, konsep ras lebih merupakan konstruksi sosial dibandingkan fakta biologis yang solid, karena Homo sapiens secara genetik sangat seragam.

Berbagai jenis ras yang dikenal, seperti Kaukasoid, Negroid, Malayan-Mongoloid, dan lainnya, mencerminkan adaptasi manusia terhadap lingkungan tertentu. Namun, dunia modern yang semakin terhubung telah mengaburkan batas-batas rasial ini. Sebagai contoh, urbanisasi dan migrasi telah menciptakan masyarakat multikultural di mana ras bukan lagi faktor dominan dalam menentukan identitas.

 

Dampak Globalisasi terhadap Identitas Rasial

Di era globalisasi, konsep ras menghadapi tantangan baru. Sebagai contoh, ras Malayan-Mongoloid yang mendominasi Indonesia kini hidup berdampingan dengan berbagai ras lain melalui pernikahan antarbudaya dan globalisasi ekonomi. Pola migrasi baru ini menciptakan identitas hibrida yang memperkaya keberagaman budaya, tetapi juga memunculkan tantangan dalam mempertahankan identitas lokal.

Dalam buku Sapiens, Harari menyoroti bagaimana manusia menciptakan hierarki sosial berdasarkan kategori seperti ras, agama, dan budaya. Hierarki ini sering digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan atau diskriminasi. Dalam konteks modern, upaya untuk mengatasi rasisme dan diskriminasi berbasis ras menjadi agenda penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.

 

Perbandingan dengan Kondisi Manusia Modern

Ketika kita menganalisis keberadaan ras di dunia modern melalui perspektif Harari, jelas bahwa evolusi teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah cara manusia memandang identitas mereka. Di satu sisi, teknologi telah menyatukan manusia melalui komunikasi global dan perdagangan. Namun, di sisi lain, teknologi juga menciptakan segregasi baru berbasis ekonomi dan akses informasi.

Peta Penyebaran Homo Sapiens. (Sumber: Buku Yuval Noah Harari tentang Sapiens)

Sebagai contoh, ras Negroid yang sebagian besar tinggal di Afrika masih menghadapi ketimpangan ekonomi global yang diwariskan dari kolonialisme. Sementara itu, ras Kaukasoid sering diasosiasikan dengan dominasi global dalam politik dan ekonomi. Di Asia, ras Malayan-Mongoloid menghadapi tantangan modernisasi yang mengaburkan tradisi budaya lokal mereka.

 

Charles Darwin: Seleksi Alam dan Mekanisme Evolusi

Rasanya belum lengkap kalau hanya membahas teori Charles Darwin, tetapi tidak membahas tentang biografi dari Charles Darwin. Nama Darwin semakin terkenal ketika ia berusaha mengungkapkan asal-usul manusia. Beliau lahir pada tanggal 12 Februari 1809 dengan nama lengkap yaitu Charles Robert Darwin. Hari kelahiran Darwin sama dengan tanggal kelahiran dari Presiden Amerika Serikat yang ke-16, yaitu Abraham Lincoln. Beliau lahir tanah Inggris atau lebih tepatnya di wilayah Shrewsbury dan lahir dari keturunan keluarga yang berkecukupan.

Karikatur yang dibuat pada tahun 1871 yang menggambarkan Darwin dengan tubuh kera merupakan salah satu contoh karikatur yang paling terkenal , sehingga dalam budaya populer, Darwin dikenal sebagai penulis utama teori evolusi. (Sumber foto: Wikipedia)

 

Keterkaitan Darwin terhadap makhluk hidup ternyata turun langsung dari keluarganya. Ayah Darwin yang bernama RW Darwin adalah seorang dokter dan kakeknya Darwin yang bernama Erasmus Darwin adalah seseorang yang ahli dalam bidang botani. Ayah Darwin sangat menginginkan anaknya untuk menjadi seorang dokter. Akan tetapi, semua keinginan itu belum bisa terwujud karena Darwin untuk melihat darah belum memiliki keberanian, bahkan bisa muntah.

Darwin ketika berusia 16 tahun memilih untuk melanjutkan studinya di Universitas Edinburgh bersama dengan adiknya. Hanya dalam waktu dua tahun, beliau sudah melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Darwin menjadi seorang mahasiswa di Christ’s College yang ada di Cambridge. Ketika menempuh pendidikan di sana, Darwin mengambil sebuah studi teologi.

Darwin lulus dari Christ’s College pada tahun 1831 dan ia lulus sebagai sarjana seni. Setelah lulus dari Christ’s College, Darwin diajak oleh mentornya yang merupakan seorang profesor, John Stevens Henslow dan ia adalah seorang profesor botani sekaligus mentor Darwin di Christ’s College. Darwin direkomendasikan oleh mentornya sebagai seorang naturalis untuk ikut ke dalam pelayaran HMS Beagle.

Charles Darwin, melalui The Origin of Species, memperkenalkan teori seleksi alam sebagai fondasi evolusi. Darwin menjelaskan bahwa kehidupan berkembang melalui adaptasi bertahap, di mana makhluk yang paling sesuai dengan lingkungannya memiliki peluang bertahan lebih besar. Penemuan fosil seperti Australopithecus dan Homo erectus menjadi bukti mendukung bahwa manusia modern berbagi nenek moyang dengan spesies lain.

Namun, Darwin tidak mengklaim bahwa evolusi adalah narasi absolut. Ia mengakui keterbatasan teorinya, terutama dalam menjelaskan asal-usul kehidupan pertama. Darwin juga berhati-hati dalam membahas hubungan evolusi dengan kepercayaan agama, menyadari potensi kontroversi yang dapat timbul.

Evolusi manusia bukanlah cerita sederhana, tetapi mosaik kompleks dari perubahan genetik, adaptasi lingkungan, dan seleksi alam—proses yang menempatkan kita sebagai Homo sapiens di puncak hierarki kehidupan, tetapi tetap menjadi bagian integral dari ekosistem Bumi.

Setelah publikasi The Origin of Species, Thomas H. Huxley, seorang pendukung setia Darwin, memperluas teori ini dengan fokus pada evolusi manusia. Dalam bukunya, Man’s Place in Nature (1863), Huxley membandingkan anatomi manusia dengan simpanse dan gorila, menunjukkan kesamaan struktural yang signifikan. Penemuan ini memperkuat gagasan bahwa manusia adalah bagian dari pohon kehidupan yang lebih besar, meskipun bukan keturunan langsung dari spesies kera modern.

Teori Darwin yang menyatakan bahwa semua makhluk hidup bersaing di alam ini melalui seleksi alam, membuat semua manusia terutama ras-ras tertentu merasa terancam. Sejak teori ini dihembuskan, sejak itu pula secara signifikan manusia semakin berlomba untuk dapat bertahan dengan berbagai cara, terutama melalui peperangan.

Pernyataan Darwin mendukung bahwa manusia modern berevolusi dari sejenis makhluk yang mirip kera. Selama proses evolusi yang diduga telah dimulai dari 5 atau 6 juta tahun yang lalu, dinyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk peralihan antara manusia modern dan nenek moyangnya yang ditetapkan menjadi empat kelompok dasar sebagai berikut:

  1. Australophithecines (berbagai bentuk yang termasuk dalam genus Australophitecus)
  2. Homo habilis
  3. Homo erectus
  4. Homo sapiens

Para evolusionis menggolongkan tahapan selanjutnya dari evolusi manusia sebagai genus Homo, yaitu “manusia.” Menurut pernyataan evolusionis, makhluk hidup dalam kelompok Homo lebih berkembang daripada Australopithecus, dan tidak begitu berbeda dengan manusia modern. Manusia modern saat ini, yaitu spesies Homo sapiens, dikatakan telah terbentuk pada tahapan evolusi paling akhir dari genus Homo ini. Fosil seperti “Manusia Jawa,” “Manusia Peking,” dan “Lucy,” yang muncul dalam media dari waktu ke waktu dan bisa ditemukan dalam media publikasi dan buku acuan evolusionis, digolongkan ke dalam salah satu dari empat kelompok di atas. Setiap pengelompokan ini juga dianggap bercabang menjadi spesies dan sub-spesies, mungkin juga. Beberapa bentuk peralihan yang diusulkan dulunya, seperti Ramapithecus, harus dikeluarkan dari rekaan pohon kekerabatan manusia setelah disadari bahwa mereka hanyalah kera biasa.

 

Agama dan Sains: Perdebatan atau Kolaborasi?

Ilustrasi planet Bumi. Studi menemukan, sel pertama yang membuktikan awal kehidupan di Bumi.(SHUTTERSTOCK/Johan Swanepoel) Sumber: Kompas.com

 

Dalam artikel Quora yang ditulis oleh Mohammad Kanedi, ia menguraikan bagaimana teori evolusi sering kali bertentangan dengan narasi agama Abrahamik. Agama, yang muncul di masa pengetahuan manusia tentang alam masih terbatas, menjadi ‘obor penerang’ bagi masyarakat. Kitab suci dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa disangkal.

Sebaliknya, sains bersifat tentative dan berkembang berdasarkan fakta yang dapat diverifikasi. Doktrin agama sering kali tidak confirmed dengan temuan ilmiah, sementara teori evolusi lebih banyak memiliki validasi empiris. Namun, hal ini tidak berarti agama salah dan evolusi benar secara mutlak. Kanedi menyarankan bahwa sains dan agama tidak perlu dipertentangkan, melainkan disandingkan untuk saling melengkapi.

 

Narasi Adam dan Evolusi Homo Sapiens

Anggrayudi Hardianniccko, dalam tulisannya di Quora, mempertanyakan apakah Adam adalah manusia pertama. Berdasarkan bukti fosil, Homo sapiens telah ada sekitar 250.000 tahun lalu, hidup berdampingan dengan spesies Denisova dan Neanderthal. Dalam perspektif agama Abrahamik, Adam diyakini hidup sekitar 7.000 hingga 10.000 tahun lalu, sesuai dengan munculnya pertanian.

Hardianniccko menunjukkan bahwa Al-Qur’an menggambarkan Adam sebagai manusia pertama yang ditempatkan di Bumi setelah makhluk cerdas sebelumnya dihancurkan. Namun, ini bertentangan dengan fakta ilmiah yang menunjukkan bahwa Homo sapiens pernah kawin silang dengan spesies manusia lainnya. Penulis ini menekankan pentingnya memahami sains tanpa menolak keyakinan religius.

Baik Harari, Darwin, maupun narasi agama Abrahamik, semuanya menawarkan wawasan berharga tentang asal-usul kehidupan. Harari mengajarkan pentingnya narasi kolektif dalam membentuk masyarakat manusia, sementara Darwin memberikan kerangka biologis yang menjelaskan evolusi. Agama, meskipun sering bertentangan dengan sains, tetap relevan dalam memberikan makna spiritual bagi umat manusia.

Penting untuk melihat bahwa sains dan agama dapat berdiri berdampingan. Keduanya tidak harus dipahami sebagai kebenaran yang saling meniadakan, tetapi sebagai alat untuk memahami realitas yang kompleks. Dengan pendekatan ini, manusia dapat menghargai perjalanan evolusi sekaligus memelihara nilai-nilai spiritual.

 

Kesimpulan

Mengintegrasikan pandangan Yuval Noah Harari, Charles Darwin, dan refleksi agama memberi kita perspektif yang lebih luas tentang perjalanan manusia. Evolusi manusia bukan hanya kisah biologis tetapi juga cerita tentang pencarian makna, identitas, dan tanggung jawab terhadap dunia.

Sebagai Homo sapiens, tantangan terbesar kita adalah memastikan bahwa dominasi kita atas Bumi membawa kebaikan bagi seluruh makhluk hidup. Dengan pengetahuan dari sains, bimbingan dari agama, dan refleksi mendalam tentang sejarah, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

 

Referensi: 

  1. Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper.
  2. Darwin, C. (1859). On the Origin of Species by Means of Natural Selection. John Murray.
  3. Kanedi, M. (2023). “Mengapa teori evolusi bertentangan dengan kebanyakan agama Abrahamik,” Quora. (https://id.quora.com/Mengapa-teori-evolusi-bertentangan-dengan-kebanyakan-agama-abrahamik)
  4. Hardianniccko, A. (2023). “Kalau Adam dan Hawa adalah manusia pertama,” Quora. (https://id.quora.com/Kalau-Adam-dan-Hawa-adalah-manusia-pertama-yang-tercipta-sempurna-mengapa-dipercayai-bahwa-manusia-purba-justru-mendekati-kera)
  5. Julio Pereto et al. (2023), “Charles Darwin dan Asal Usulnya,” jurnal ilmiah, (https://link-springer-com.translate.goog/article/10.1007/s11084-009-9172-7?error=cookies_not_supported&code=5ba331fd-7059-4c99-9914-3ab30b659e74&_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc)
  6. Muh. Raka Katresna, Mahasiswa Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia. “Perbandingkan konsep Darwin dan Harun Yahya mengenai asal usul manusia”, (https://www.scribd.com/document/363435637/ESAI-TEORI-EVOLUSI)
  7. Morissan, Ph.D. (2022). Kajian Media dan Budaya.
Penulis adalah Christ Jacob Belseran, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta
error: Content is protected !!