TITASTORY.ID,- Sepanjang sejarah modern, mahasiswa yang sering mengkritik segala kebijakan pemerintah sangat rentan dengan represi. Mulai dari pemanggilan, skorsing, Drop Out, intimidasi, pengasingan, bahkan pembunuhan. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia menunjukan sejumlah kaum muda yang mendapat intimidasi dari pemerintah kolonial.
Aliarcham misalnya pernah dikeluarkan dari sekolahnya (Sekolah Guru Atas/Hogere Kweekschool) karena tidak mau tunduk terhadap kebijakan kepala sekolah yang mengahalang-halangi aktivitasnya untuk mewalan kolonialisme Belanda. Setelah dikeluarkan dari sekolah, ia menyatukan diri dengan perjuangan rakyat.
Pada bulan maret 1923 dimana dalam suatu kongres yang dilangsungkan di Bandung, ia dipilih sebagai ketua Serikat Rakyat. Serikat Rakyat merupakan faksi kiri Serikat Islam Merah yang sebelumnya berada di Serikat Islam. Ketika semakin aktif mengintegrasikan diri dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, ia diganjar hukuman penjara selama 6 bulan. Represi terakhir yang ia alami adalah ketika dibuang ke Boven Digul, dan di Boven Digoel lah Aliarcham menutup usia.
Salah satu sejarah represi terhadap mahasiswa selepas era kemerdekaan yang paling brutal terjadi bersamaan dengan peristiwa 1965 dan naiknya kepemimpinan militeristik Orde Baru Soeharto tampuk kekuasaan. Militer di bawah kepemimpinan Soeharto melakukan pembantaian terhadap anggota, simpatisan, atau mereka yang sekedar dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia/PKI. Bahkan tak sedikit di antaranya adalah para Soekarnois maupun anggota dan simpatisan Partai Nasionalis Indonesia.
Dari sekian banyak korban saat itu, ada sekitar 3464 (tiga ribu empat ratus enam puluh empat) mahasiswa dari beberapa kampus seperti Universitas Gajah Madah Yogyakarta, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung yang turut ketiban sial. Banyak di antaranya yangdiskorsing, diberhentikan, bahkan dibunuh dan dihilangkan.Hal ini disokong oleh kebijakan resmi melaluimelalui surat keputusan No.01/dar tahun 1965 yang dikeluarkan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan yang kala itu dijabat oleh Syarif Thayeb.
Setelah itu muncul setumpuk kebijakan politik yang bertujuan mengekang ruang kebebasan mahasiswa, dan membungkam kritik serta gagasan ilmiah di dalam kampus yang menjadi pondasi kediktatoran pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Hingga akhirnya gerakan reformasi mampu memberikan perubahan terhadap iklim kebebasan berpikir di Indonesia. Kebebasan berkumpul dan berserikat dilindungi, dan menggelar demonstrasi penyampaian pendapat di muka publik diperbolehkan. Tetapi perlahan tapi pasti, capaian-capaian reformasi tersebut mulai kembali dikikis.
Setelah aksi reformasi dikorupsi (September 2019-Januari 2020).Sekitar 43 mahasiswa yang di-droup out dan 11 orang diberi surat peringatan. Lalu semenjak tahun 2015-2019 sekitar 8 (delapan) universitas di Indonesia mendapatkan kebijakan serupa termasuk didalamnya dikenai sangsi skorsing serta ancaman (Kirana Anjani, 2020; Babak Belur di Kampus Sendiri).
Fakta di atas dapat memberi gambaran, bahwa pertentangan antara ide-ide kolot nan represif dengan ide pembaharu yang ilmiah terus terjadi. Represi adalah konsekuensi logis dari upaya pembaharuan dan perlawanan terhadap ststus quo, dan sejarah telah berulang kali menunjukan tidak pernah ada jalan damai dan nyaman untuk menyelesaikannya. Pertentangan akan terus terjadi selama nafas perubahan yang menggoyang kekuasaan itu ada. Jika di dalam kampus, mahasiswa akan berhadapan dengan pejabat kampus dalam gedung rektorat dengan setumpuk aturan yang lucunya-kadang mereka langkahi sendiri.
Sedikit meromantisasi makna asal muasal sekolah, sekolah berasal dari bahasa latin Scola yang artinya tempat persinggahan bagi mereka yang memiliki waktu luang. Sejak awal, sekolah tidak memiliki tumpukan aturan yang mengatur para penghuninya soal mana yang boleh dan tidak boleh dipikirkan. Semua orang melakukan segalanya dengan cara menghadap kepada orang yang dipandang mengetahui banyak hal. Dan semua ilmu yang ada diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Maklum saat itu sekolah belum menjadi komoditas ladang uang seperti saat ini.
Sejarah sekolah maupun pendidikan secara umum kemudian bertaut dengan kekuasaaan politik. Di sana lah ia perlahan kehilangan maknanya. Sekolah mulai berubah menjadi wahana doktrinisasi dan propaganda status quo. Hal itu diperparah dengan sengkarut tabiat mencari laba melalui institusi pendidikan. Lalu dimulailah setumpuk aturan dibuat untuk menjaga tidak ada satu pun penghuninya yang berani bertanya atau mengusik penguasa.
Kawan-kawan solidaritas, terutama mahasiswa di berbagai tempat. Kita semua tahu tugas sejarah bangsa yang ditinggalkan oleh leluhur pejuang sebelumnya sangatlah berat. Namun itu, lagi-lagi, merupakan sebuah konsekuensi logis dari dialektika zaman. Di mana ide-ide baru dan progresif pasti akan berhadapan dengan ide lama. Represi akan terjadi namun sejarah telah mengajarkan kita bagaimana untuk mempelajari ciri-cirinya, lalu apa solusinya, serta bagaimana cara kita melawannya.
Sejarah bukan semata-mata terdapat sususan waktu: nama hari, tanggal, dan tahun. Namun kandungan sejarah adalah sejumlah fakta pertentangan dari berbagai pihak atau satu komunitas dengan komunitas lainya yang sangat kompleks. Semua bisa diketahui dan diterima sebagai khazanah ilmu pengetahuan kalau saja tempat persinggahan yang kita sekarang sebut sebagai kampus memberikan akses dan ruang yang bebas untuk kita merenunginya.
Melalui tulisan ini, saya Arbi M. Nur, satu dar 3 mahasiswa Universitas Khairun Ternate yang di-drop outkarena terlibat dalam aksi solidaritas untuk Papua ingin berbagi informasi bahwa pada 15 Januari 2021 putusan banding yang kami ajukan untuk membatalkan SK DO kami keluardengan hasil yang sudah kami perkirakan. Sejak awal kami sudah menyadari bahwa kasus DO yang menimpa kami sarat akan berbagai kepentingan dan campur tangan negara dalam menjaga status quo.
Kebijakan DO rektor yang kemudian semakin dikokohkan dan putusan majelis hakim di PTUN Ambon bukanlah sebuah aturan yang berada pada ruang hampa tata tertib kampus pada umumnya. Ia merupakan manifestasi dari serangkaian upaya negara dan perangkat suprastrukturnya dalam menjalankan sekaligus mempertahankan ideologi negara bernama “NKRI Harga Mati”.
Kami menyadari bahwa mengharap kemenangan dalam kasus ini adalah sebuah hal yang musykil. Namun jalan ini harus terus kami tempuh sebagai sebagai wujud tanggung jawab terhadap ilmu pengetahuan yang kami dapatkan. Setidaknya ini yang bisa kami lakukan sejauh ini untuk menghormati perjuangan rakyat West Papua sekaligus upaya mengurai benang kusut sejarah kelam yang dialami oleh leluhur kami.Maka inilah resiko yang saya beserta 3 kawan lain ambil dan hadapi.
Persimpangan Jalan, 12 Januari 2021.
Penulis adalah Mahasiswa DropOut Universitas Khairun Ternate
Discussion about this post