titastory, Papua – Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, polisi dan aparatur sipil negara (ASN) bertindak secara berlebihan terhadap aksi protes pelajar sekolah yang menolak program makan bergizi gratis (MBG) di sejumlah kota di Tanah Papua.
Penggunaan tembakan peringatan serta gas air mata dalam merespons aksi pelajar yang sedang berdemonstrasi jelas merupakan bentuk intimidasi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Mencegat apalagi menangkap siswa yang hendak melakukan aksi damai menolak program MBG tanpa alasan hukum yang dibenarkan adalah bentuk pelanggaran HAM yang sangat nyata yang dipertontonkan oleh kepolisian di Tanah Papua,” kata Usman Hamid dalam keterangan pers yang diterima titastory.id, Selasa (18/2).

Pihak kepolisian diminta mengusut apakah tindakan oleh anggotanya tersebut dilakukan sudah sesuai aturan. Apalagi mengeluarkan tembakan peringatan dan menembakkan gas air mata secara serampangan merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat.
Pihaknya juga mendesak kepolisian melakukan investigasi mendalam terhadap anggotanya yang menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam merespon aksi protes siswa di Nabire, Yalimo, Jayapura dan Wamena.

Selain itu, memastikan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan bukanlah solusi dalam merespon aksi protes di Papua, terlebih jika mereka harus berhadapan dengan aksi yang dilakukan oleh pelajar sekolah seperti dalam aksi menolak program MBG tersebut.
Sebelumnya, seorang ASN Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Nabire, Papua Tengah juga ikut melakukan aksi kekerasan fisik dengan menendang seorang siswa sekolah. Hal tersebut, menurut Usman merupakan pelanggaran HAM.
Ironisnya, aksi kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di depan mata aparat keamanan yang seharusnya melindungi siswa Papua dari segala bentuk ancaman.
Untuk itu, kepolisian harus memproses hukum ASN yang tertangkap kamera menginjak seorang siswa karena jelas tindakan tersebut melanggar UU Perlindungan Anak Tahun 2014.
“Sikap anti-kritik yang dinormalkan lewat tindakan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat dan juga ASN Papua yang melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap seorang siswa Papua harus segera dihentikan,” tegasnya.
Dia menegaskan, apa yang terjadi di Papua merupakan bagian dari taktik yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam meredam suara kritis terkait program MBG di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Negara harus terbuka menerima kritik dari siswa bukan malah meredamnya.

“Mereka juga harus memproses anggotanya yang telah lalai membiarkan terjadinya aksi kekerasan ASN,” tegasnya.
Seperti orang dewasa, anak-anak pun memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan melakukan protes damai. Anak-anak yang menyuarakan pendapatnya secara damai justru harus dilindungi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak-Hak Anak.
“Negara juga harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi anak-anak yang menyuarakan pendapatnya secara damai, sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak.’ tegasnya pula.
Penulis: Edison Waas Editor : Khairiyah