titastory, Jakarta – Amnesty International Indonesia menilai pemerintah dan aparat keamanan bereaksi secara berlebihan terhadap fenomena pengibaran bendera bajak laut dalam serial anime One Piece yang ramai menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-80. Organisasi HAM global itu menegaskan, tindakan razia, penyitaan, hingga ancaman pidana terhadap warga yang mengibarkan simbol fiksi tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
“Pengibaran bendera One Piece adalah bagian dari ekspresi damai, bukan tindakan makar,” ujar Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, dalam pernyataan tertulis kepada titastory.id, Senin (4/8).

Menurutnya, tindakan represif negara ini tidak selaras dengan prinsip demokrasi dan bertentangan dengan konstitusi serta kewajiban Indonesia sebagai negara pihak dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). “Negara tidak boleh anti terhadap kritik,” tegas Usman.
Kritik Sosial dalam Simbol Fiksi
Bendera bajak laut One Piece, atau jolly roger, yang menggambarkan tengkorak bertopi jerami bersilang tulang, dinilai sebagian warga sebagai simbol ketidakpuasan terhadap situasi sosial, ketimpangan hukum, dan kekecewaan terhadap elite politik. Namun, simbol ini justru direspons negara layaknya ancaman separatisme.
“Aparat seharusnya menangkap pesan di balik ekspresi simbolik ini, bukan menangkap benderanya,” tandas Usman.
Amnesty menyebut bahwa aksi pengibaran jolly roger, mural karakter One Piece, hingga unggahan foto penghormatan terhadap bendera fiksi bukanlah pelanggaran hukum, melainkan bentuk satir politik yang dijamin oleh Pasal 19 ICCPR — termasuk untuk gagasan atau simbol yang dianggap “mengejutkan, menyerang, atau mengganggu”.
Dari Tuban hingga Sragen: Aparat Bergerak, Warga Dibungkam
Kasus pengibaran bendera One Piece pertama mencuat di Kerek, Tuban, Jawa Timur. Seorang pemuda berinisial ARdidatangi aparat gabungan dari kepolisian, TNI, dan Satpol PP usai mengunggah foto dirinya hormat kepada bendera jolly roger yang dikibarkan di depan rumah. Meskipun tak ditangkap, aparat menyita bendera berukuran kecil dan menghapus foto dari ponsel AR.
Di Sragen, Jawa Tengah, mural bertema One Piece dihapus warga usai mendapat “arahan” dari aparat TNI dan Polri. Sementara di Tangerang, Wakapolda Banten menyatakan akan menindak warga yang sengaja mengibarkan bendera bajak laut pada peringatan kemerdekaan, meski tidak dijelaskan tindakan hukum yang dimaksud.
Pernyataan keras juga datang dari sejumlah pejabat tinggi negara. Menko Polhukam Budi Gunawan menyebut pengibaran bendera fiksi itu sebagai tindakan pidana yang mencederai kehormatan bendera merah putih. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bahkan menudingnya sebagai upaya memecah persatuan nasional. Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan simbol jolly roger bisa dikategorikan sebagai bentuk makar.
Negara Wajib Lindungi Ekspresi Damai
Amnesty International menilai narasi makar dalam kasus ini sangat mengada-ada. Usman Hamid menyebut, daripada merespons dengan represi, pemerintah seharusnya mendengarkan keresahan publik yang mendorong munculnya simbol-simbol alternatif dalam ruang ekspresi.
“Ini soal ruang demokrasi. Negara harus hadir sebagai pelindung kebebasan sipil, bukan pelaku pembungkaman,” katanya.
Analisis: Fiksi, Simbol, dan Kebenaran yang Terluka
Dalam serial One Piece, bajak laut adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan korup dan sistem hukum yang timpang. Maka tidak mengherankan jika banyak anak muda menjadikannya sebagai metafora atas realitas sosial Indonesia saat ini: ketimpangan, kekerasan negara, hingga kerusakan lingkungan yang didiamkan.
Pengamat budaya menilai, simbol jolly roger adalah bentuk kritik budaya populer terhadap janji-janji kemerdekaan yang belum sepenuhnya ditepati. Jika simbol ini menakutkan bagi negara, bisa jadi karena yang fiksi bukan hanya kartunnya, tetapi juga narasi keadilan yang selama ini digaungkan negara.
Penulis: Edison Editor: Christ Belseran