Wamena, – Kematian Frengky Kogoya, warga Wamena, Papua Pegunungan, setelah diduga dianiaya oleh anggota TNI dari Kodim 1702/Jayawijaya, memicu kecaman keras dari Amnesty International Indonesia. Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menegaskan bahwa pengusutan harus dilakukan secara menyeluruh dan pelaku diadili melalui pengadilan umum, bukan peradilan militer.
“Kematian Frengky Kogoya pada 11 November lalu merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Kejadian ini kembali menunjukkan rapuhnya perlindungan warga sipil di Tanah Papua,” ujar Usman Hamid dalam siaran pers yang diterima titastory.id, Jumat, 14 November 2025.

Kronologi Kejadian
Berdasarkan keterangan keluarga dan pernyataan Kodim 1702/Jayawijaya:
11 November 2025, pagi–siang hari Frengky Kogoya disebut oleh pihak Kodim sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang melempari rumah dinas Sertu S sebanyak dua kali. Setelah pelemparan kedua, Sertu S keluar dan mengejar korban. Menurut Dandim, Sertu S memukul korban satu kali dan menembakkan senapan angin milik kerabatnya ke arah pinggang korban.
11 November 2025, sore hari Keluarga menemukan Frengky dalam kondisi lemah. Ia kemudian dibawa ke RSUD Wamena untuk mendapatkan perawatan. Namun kondisi korban terus memburuk.
11 November 2025, malam hari Frengky Kogoya meninggal dunia. Keluarga menduga kematian akibat pukulan dan tindakan kekerasan lain yang dilakukan pelaku.
12 November 2025, keluarga mendatangi Markas Kodim 1702/Jayawijaya sambil membawa jenazah Frengky untuk menuntut pertanggungjawaban. Situasi sempat memanas, namun direspons oleh pihak Kodim.
Dandim 1702/Jayawijaya, Letkol Reza Mamoribo, membenarkan bahwa anggotanya, Sertu S, terlibat dalam insiden tersebut. Ia telah diperiksa Subdenpom Wamena dan diterbangkan ke Jayapura untuk pemeriksaan lebih lanjut di Pomdam XVII/Cenderawasih.
Dandim mengklaim hasil visum menunjukkan penyebab kematian bukan tembakan senapan angin, melainkan “hantaman benda tumpul di beberapa bagian tubuh.”

Amnesty: Klarifikasi TNI Tidak Cukup, Harus Ada Investigasi Independen
Menurut Usman Hamid, penjelasan sepihak dari instansi militer tidak boleh dijadikan dasar penghentian penyelidikan. Ia menegaskan bahwa:
• Pemeriksaan harus dilakukan oleh lembaga independen di luar TNI,
• Melibatkan Komnas HAM dan lembaga hak asasi manusia lainnya,
• Mengutamakan transparansi dan akuntabilitas agar keluarga korban mendapatkan keadilan.
“Klaim bahwa korban hanya ditembak dengan senapan angin dan meninggal karena pukulan harus diuji melalui penyelidikan independen, imparsial, dan transparan,” tegas Usman.
Pelaku Harus Diadili di Peradilan Umum
Amnesty International menekankan bahwa tindak kekerasan terhadap warga sipil oleh aparat keamanan bukan pelanggaran disiplin internal, melainkan tindak pidana yang harus diproses sesuai KUHP.
“Para pelaku harus diadili di peradilan umum. Ini penting untuk memastikan prinsip equality before the law dan menghindari impunitas yang selama ini menjadi pola ketika kekerasan oleh aparat terjadi di Papua,” kata Usman Hamid.
Bagian dari Pola Kekerasan Sistematis di Papua
AII menilai insiden yang menimpa Frengky bukanlah kasus tunggal, melainkan bagian dari rangkaian kekerasan akibat pendekatan keamanan yang terus dipertahankan pemerintah.
“Rentetan kasus serupa adalah konsekuensi dari pendekatan militeristik yang dipertahankan negara. Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi pendekatan ini dan beralih ke dialog, pembangunan berbasis HAM, dan pendekatan kemanusiaan,” tegasnya.
Ia menambahkan, perlindungan hak hidup dan martabat Orang Asli Papua (OAP) tidak dapat dijamin tanpa perubahan strategi penanganan konflik yang selama ini menormalisasi kekerasan.
