titastory.id,- Merespon penahanan terhadap setidaknya 23 orang warga Maluku terkait pengibaran bendera ‘Benang Raja’, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, angkat bicara.
Dalam rilisnya yang diterbitkan pada situ Amnesty International Indonesia, usman sangat menyesalkan penangkapan yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian kepada para aktivis Maluku yang mengibarkan bendera RMS.
“Kami menyesalkan terjadinya penangkapan di tengah tingginya wabah COVID-19. Mereka yang mengibarkan bendera Benang Raja hanya menjalani kegiatan dalam rangka memperingati hari Republik Maluku Selatan (RMS),” sesal Usman.
Menurutnya, kegiatan damai tersebut merupakan bagian dari hak untuk berkumpul dan berekspresi. “Kami mendesak pembebasan segera dan tanpa syarat baik yang ditangkap maupun yang menyerahkan diri.” Tutur Usman.
Penahanan terhadap para aktivis RMS ini membuat Amnesty International cepat mengambil langkah komunikasi dengan pihak Kepolisian.
“Kami sudah berkomunikasi dengan jajaran kepolisian dan mereka menjamin tidak ada kekerasan dan penyiksaan. Kami sangat mengapresiasi namun tetap berharap agar tidak dilakukan penahanan,”ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia ini, penahanan itu inkonsisten dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah narapidana dan tahanan demi mencegah COVID-19 di penjara.
Usman memaparkan, jika negara serius mengikuti saran Komisioner HAM PBB agar mengurangi populasi penjara, maka penahanan ini tak perlu. “Negara harus memakai pola pendekatan edukatif dan persuasif sehingga hukum terasa adil bagi masyarakat,”Pungkasya.
Tiap tahun, menurut Usman memang kerap terjadi pengibaran bendera Benang Raja di beberapa desa di Maluku. Tapi sulit menilai apa maknanya bagi warga desa.
“Bagi sebagian mungkin hanya berupa upacara atau bagian dari tradisi. Bagi sebagian lainnya, ini dianggap sebagai aksi protes politik kepada pemerintah pusat. Namun, sejauh dilakukan secara damai, negara wajib melindunginya.” Jelasnya.
Kata Usman, Pengibaran bendera itu mungkin juga merupakan cara simbolik dalam mengemukakan keluhan atas ketidakseriusan pemerintah pusat dalam melayani kebutuhan ekonomi dan sosial di wilayah yang terisolasi itu. Namun, meski berskala kecil, negara kerap menilai ekspresi itu sebagai gerakan separatisme dengan menerapkan pasal-pasal makar.
“Ini keliru dan telah ditinggalkan pada era Pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Ini waktunya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghapus atau mengubah peraturan terkait makar yang kerap berujung pada pelanggaran hak asasi manusia,” Paparnya.
Latar belakang
Berdasarkan pantauan Amnesty International, hingga Senin, 27 April 2020, Polda Maluku telah menangkap dan menahan 23 warga sipil yang merupakan aktivis gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) karena mengibarkan bendera Benang Raja, simbol kemerdekaan RMS. Mereka ditangkap karena melakukan aksi damai untuk memperingati hari ulang tahun gerakan RMS.
Laporan yang didapat Amnesty menunjukan bahwa aparat militer setempat telah memaksa setiap keluarga di Maluku untuk mengibarkan bendera nasional merah putih sejak 23 Maret 2020. Bagi keluarga maupun individu yang membangkang mendapat ancaman tindakan tegas dari aparat setempat.
Amnesty juga mendapat laporan dari organisasi lokal setempat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sekitar 100 aparat militer dan 30 polisi yang berjaga-jaga di wilayah Maluku.
Aparat berwenang Indonesia terus menggunakan pidana makar dalam pasal 106 KUHP untuk memenjarakan para aktivis politik, baik di Maluku dan Papua, karena mengekspresikan pandangan mereka secara damai. Banyak dari mereka yang dipidana bertahun-tahun dan mendapat penyiksaan oleh petugas berwenang selama masa penahanan.
Tahun 2018 silam, aparat kepolisian Maluku juga menangkap lima orang warga atas tuduhan makar karena mengibarkan bendera Benang Raja. Kelima tahanan Maluku tersebut adalah Izack Siahaya (80), Telly Siahaya (50), Johan Siahaya (35), Markus Siahaya (30), dan Basten Siahaya (30). Hingga kini mereka masih ditahan dan diancam hukuman 5 tahun penjara.
Kasus lainnya juga menimpa Johan Teterissa, seorang aktivis RMS. Kasus ini merupakan salah satu bukti nyata kesewenangan otoritas. Meskipun sudah bebas, Johan sempat mendekam di penjara selama lebih dari 10 tahun karena memimpin aksi damai pada 2007 di depan Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan Amnesty menyebutkan Johan mendapat penyiksaan selama masa penahanan.
Bagi Amnesty International, seluruh aktivis politik Maluku tersebut merupakan para tahanan hati nurani (prisoners of conscience) yang dipenjara semata-mata karena mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai. Oleh karenanya mereka harus segera dibebaskan tanpa syarat.
Penangkapan dan penahanan aktivis RMS karena pengibaran bendera adalah tindakan semena-mena dan pelanggaran HAM. Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR, di mana Indonesia adalah negara pihaknya.
Amnesty International tidak mengambil posisi apapun akan status politik dari provinsi apa pun di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan. Namun, organisasi kami percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi harus sepenuhnya dijamin dan dilindungi oleh negara. (TS-01)
Discussion about this post