Ambon, – Kota Ambon sedang berdiri di tepi jurang krisis sampah. Kota yang selama ini menjual citra “Manise” itu kini menghadapi kenyataan pahit: gunungan sampah kian menggerus ruang hidup, sungai berubah menjadi saluran limbah, dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Toisapu menua tanpa jeda. Pemerintah Kota Ambon akhirnya memilih jalan keras denda ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah sebagai sinyal bahwa toleransi telah habis.
Namun, ancaman sanksi saja tak cukup menutup lubang masalah. Di balik kebijakan zona bebas sampah dan pengawasan kamera, tersimpan kegamangan lama: apakah krisis ini murni soal perilaku warga, atau justru kegagalan tata kelola kota membaca batas ekologisnya sendiri? Ketika volume sampah terus bertambah, sementara lahan kian sempit, Ambon dipaksa berhadapan dengan pertanyaan mendasar menghukum siapa, dan menyelamatkan apa?

Di titik inilah pemerintah mencoba menggeser arah kebijakan, dari sekadar penertiban menuju rekayasa sistemik. Refuse Derived Fuel (RDF) digadang sebagai jalan keluar struktural: sampah tak lagi diposisikan sebagai residu kota, melainkan bahan baku energi. Mesin-mesin RDF yang direncanakan beroperasi pada 2026 menjadi taruhan besar—apakah Ambon mampu melompat dari kota pembuang menjadi kota pengolah, atau justru menunda krisis dengan teknologi yang belum tentu menjawab akar persoalan.
Kini, Pemerintah Kota Ambon mengklaim bersiap membuka babak baru. Bukan sekadar imbauan moral atau operasi bersih-bersih seremonial, melainkan kombinasi antara ketegasan hukum dan pemanfaatan teknologi. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon, Apries Gaspersz, menyebut pendekatan ini sebagai upaya “mengubah cara pandang kota terhadap sampah dari musuh menjadi sumber daya.”

Ketegasan Hukum: Kota Tanpa Toleransi Sampah
Langkah pertama adalah penegakan aturan yang selama ini nyaris tak bergigi. Melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011, Pemkot Ambon menetapkan sejumlah titik sebagai Zona Kawasan Bebas Sampah. Aturan ini tidak lagi berhenti pada slogan.
Warga yang tertangkap tangan membuang sampah sembarangan baik dari kendaraan, di badan jalan, maupun ke sungai diancam denda mulai dari Rp250 ribu hingga Rp50 juta. Pengawasan dilakukan melalui kamera CCTV yang dipasang di sejumlah ruas strategis, serta patroli lapangan oleh petugas kebersihan dan aparat terkait.
Pemkot juga memperketat waktu pembuangan sampah. Warga hanya diberi rentang empat jam, dari pukul 18.00 hingga 22.00 WIT, untuk membuang sampah ke titik-titik yang telah ditentukan. Di luar jam itu, aktivitas membuang sampah dianggap pelanggaran.
“Kota ini kecil. Kalau kita terus mentoleransi kebiasaan buang sampah sembarangan, kita sedang mempercepat kehancuran ruang hidup kita sendiri,” kata Apries.
Teknologi RDF: Sampah Menjadi Energi
Namun penegakan hukum saja tidak cukup. Beban sampah harian Ambon terus menekan daya tampung TPA Toisapu, yang kini berada di ambang kejenuhan. Untuk itu, Pemkot menyiapkan solusi jangka menengah melalui penerapan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) yang ditargetkan mulai beroperasi penuh pada 2026.
RDF bekerja dengan prinsip ekonomi sirkular. Sampah yang masuk ke fasilitas pengolahan akan dipilah, dicacah, dikeringkan, lalu dipadatkan menjadi bahan bakar alternatif berbentuk pelet. Produk ini memiliki nilai kalor tinggi dan dapat dimanfaatkan industri sebagai pengganti batu bara muda.
Dengan skema ini, volume sampah yang masuk ke TPA dapat ditekan secara signifikan, usia TPA diperpanjang, dan sampah tidak lagi semata menjadi beban lingkungan, melainkan sumber energi.
“RDF memberi kita peluang keluar dari jebakan TPA. Ini bukan sekadar teknologi, tapi perubahan paradigma,” ujar Apries.
Menjaga Sungai, Menahan Sampah ke Laut
Penanganan juga dilakukan dari hulu. Untuk mencegah sampah plastik langsung mengalir ke laut, Pemkot Ambon memasang jaring penahan sampah di sejumlah sungai utama seperti Wai Ruhu, Wai Heru, dan Wai Tomu. Sungai-sungai ini selama bertahun-tahun menjadi jalur utama limbah rumah tangga menuju pesisir.
Menariknya, proyek ini tidak menggunakan anggaran APBD. Pemkot menggandeng PT Millennium Limbah Ambon (MLA) dalam skema kemitraan. Sampah plastik yang tertangkap jaring akan diambil dan diolah oleh perusahaan, sementara pemerintah hanya menangani residu yang tidak dapat didaur ulang.
Model kolaborasi ini disebut sebagai contoh bagaimana keterbatasan anggaran dapat diatasi dengan inovasi kebijakan dan kemitraan yang tepat.
Antara Kebijakan dan Perilaku Warga
Meski demikian, seluruh strategi ini tetap bergantung pada satu faktor krusial: perubahan perilaku warga. Tanpa partisipasi publik, kamera, denda, dan mesin RDF hanya akan menjadi ornamen mahal.
Apries mengingatkan bahwa krisis sampah bukan semata persoalan teknis, melainkan persoalan etika bersama.
“Kalau hari ini kita abai, dua atau tiga dekade ke depan anak cucu kita mungkin tidak lagi hidup di kota yang layak, tetapi di atas tumpukan sampah yang kita wariskan,” katanya.
Ambon kini berada di persimpangan. Apakah strategi baru ini akan benar-benar menjemput harapan, atau justru tenggelam seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, sangat ditentukan oleh konsistensi pemerintah dan kesediaan warga untuk berubah. Di kota kecil yang dikepung laut dan perbukitan, ruang untuk gagal sesungguhnya sudah tidak ada lagi.
