AMAN Kecam Penggusuran Brutal di Nanghale: PT Krisrama dan Aparat Dinilai Langgar Hak Masyarakat Adat

24/01/2025
Suasana penggusuran rumah masyarakat adat Nanghale, Sikka oleh PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), perusahaan milik Keuskupan Maumere, menggunakan ekskavator. (Foto tangkapan layar video warga Nanghale)

titastory, Maumere – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Nusa Bunga mengecam keras tindakan brutal berupa penggusuran rumah dan tanaman milik masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale, Kabupaten Sikka. Penggusuran itu dilakukan oleh PT Krisrama (Kristus Raja Maumere), sebuah perusahaan yang berada di bawah naungan Keuskupan Maumere, pada Rabu, 22 Januari 2025.

Ketua Pengurus Harian AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi, menyatakan bahwa setidaknya 50 rumah hancur, dan ratusan tanaman warga dirusak dalam aksi tersebut. Penggusuran dilakukan di bawah pengawalan ketat oleh aparat gabungan dari Satpol PP Kabupaten Sikka, Polres Sikka, dan TNI. Di lokasi juga terlihat kehadiran sejumlah orang berikat kepala kain merah, yang diduga preman yang sengaja dikonsolidasi oleh pihak perusahaan.

Foto Dokumentasi Warga: Wihelmus Jawa (ayah) dan Nasti (anak), penderita tuna netra, bersama istrinya, Anselina Ansel, adalah Tiga dari ratusan warga Masyarakat Adat Suku Soge & Goban Runut, Korban Penggusuran oleh PT. Krisrama Maumere

 

Tindakan yang Tidak Mencerminkan Kaum Klerus

Sebagai perusahaan di bawah Keuskupan Maumere, PT Krisrama dinilai bertindak bertolak belakang dengan nilai-nilai cinta kasih yang seharusnya dijunjung oleh kaum klerus. Maximilianus menyoroti bahwa tugas kaum klerus adalah melayani umat dengan cinta kasih, bukan malah menggusur rumah dan merampas tanah umatnya.

“Klerus seharusnya tampil sebagai pelindung umat, bukan pengelola perusahaan yang melakukan penggusuran brutal. Tindakan PT Krisrama ini mencoreng nama baik gereja,” tegas Maximilianus.

Ia menilai, penggusuran ini tidak hanya melanggar hak-hak masyarakat adat, tetapi juga menciptakan trauma bagi warga yang kehilangan tempat tinggal.

“Jika PT Krisrama benar-benar berpegang pada prinsip cinta kasih, seharusnya dialog bermartabat menjadi jalan utama, bukan kekerasan,” tambahnya.

Suasana rumah warga yang digusur menggunakan alat berat jenis excavator. (Foto Dokumentasi Warga/website pocoleok melawan)

Dugaan Rekayasa dan Pembiaran oleh Polres Sikka

AMAN juga mengecam keras sikap Polres Sikka yang dinilai membiarkan aksi kekerasan ini terjadi, termasuk keberadaan preman di lokasi penggusuran. Maximilianus menilai, kehadiran preman dengan atribut kain merah ini diduga sebagai bagian dari skenario untuk menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat adat.

“Masyarakat adat Suku Soge dan Goban Runut juga berhak atas perlindungan yang sama dari aparat. Melindungi bukan karena ada uang atau kuasa, tetapi karena itu kewajiban Polri sebagai pengayom masyarakat,” ujar Maximilianus.

Penggusuran ini juga berlangsung di tengah proses persidangan delapan warga adat Suku Soge dan Goban Runut di Pengadilan Negeri Maumere. Mereka dituduh merusak properti milik PT Krisrama, meskipun tindakan tersebut dilakukan untuk mempertahankan wilayah adat mereka dari perampasan.

Puluhan perempuan adat Nanghale mencoba menghadang eksavator yang akan menggusur kebun dan rumah-rumah mereka. (Foto: Tangkapan layar video warga Nanghale)

Tuntutan AMAN

AMAN mengeluarkan sejumlah tuntutan untuk menyikapi kasus ini:

  1. Menghentikan penggusuran rumah dan tanaman milik masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale.
  2. Membatalkan SK HGU PT Krisrama karena dinilai cacat administratif.
  3. Mencopot Kapolres Sikka, yang dinilai melakukan pembiaran terhadap tindakan penggusuran dan keberadaan preman di lokasi.
  4. Membebaskan delapan warga adat yang saat ini menjalani proses hukum.
  5. AMAN meminta hakim Pengadilan Negeri Maumere untuk bertindak objektif dan membebaskan mereka dari segala tuntutan hukum.

“Perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan tanah leluhur mereka bukanlah tindak pidana. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap perampasan tanah adat yang harus dihormati,” ujar Maximilianus.

Ironi Penggusuran oleh Gereja

Maximilianus menyoroti ironi besar di balik kasus ini, di mana perusahaan yang dimiliki Keuskupan Maumere justru merampas hak masyarakat adat, yang sebagian besar merupakan umat gereja tersebut.

“Bagaimana mungkin gereja yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi penindas umatnya sendiri? Ini adalah peringatan keras untuk gereja agar tidak menyalahgunakan kuasanya,” tutupnya.

Kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia. AMAN dan jaringan masyarakat sipil berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini demi keadilan bagi masyarakat adat Nangahale.

Editor: redaksi
error: Content is protected !!