titastory.id, Aru – Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak kembali terjadi di Kepulauan Aru. Kali ini menimpa seorang perempuan bernama Mirna, dia di-PHK setelah mempertanyakan hak-haknya.
Serikat Pekerja Persaudaraan Pekerjaan Kepulauan Aru (SPPPKA) menilai, PT Pulau Timur Utama (PTU) melakukan PHK sepihak dan sewenang-wenang tanpa melindungi pekerja sebagaimana aturan yang berlaku.
“Kami menilai adanya sikap sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Sehingga proses PHK tidak sesuai dengan mekanisme aturan yang ada. Harusnya seseorang di pecat atau akan di PHK setelah adanya surat peringatan ketiga. Tetapi yang terjadi tanpa peringatan pertama sudah ada peringatan kedua,” kata Ketua SPPPKA, Jonias Galanggoga, Sabtu (1/3).

Jonias menjelaskan, awalnya korban bekerja pada PT Laut Timur Utama (LTU) dari 2018 hingga 2021, kemudian dipindahkan ke PT Pulau Timur Utama (PTU). Saat dipindahkan, kompensasi kepada korban tidak dibayarkan.
“Artinya sudah perusahaan berbeda, harusnya kompensasi sudah diberikan,” katanya.
Sebelumnya, telah dilakukan perundingan Bipartit antara Serikat Pekerja Persaudaraan Pekerjaan Kepulauan Aru (SP.PPKA-17) dan pihak PT PTU guna membicarakan hak korban berupa keterlambatan pembayaran gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), jaminan BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan.
Pihak perusahaan menjanjikan akan membayar sebesar Rp 3,1 juta sesuai UMP. Namun, pihak perusahaan tak membayar sesuai kesepakatan awal. Pihak perusahaan hanya membayar senilai Rp 2,9 juta.
Selain itu, uang jaminan makan yang diberikan kepada korban baru dibayarkan hingga bulan Oktober 2024. Empat bulan selanjutnya tidak diberikan hingga korban menerima surat PHK tanpa persetujuannya.
Dia menjelaskan, karena perundingan Bipartit yang dilakukan belum mencapai kesepakatan ataupun keputusan yang diambil secara bersama, pihaknya bakal menyurati Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sebagai pihak mediator untuk dilakukan proses Tripartit.
“Serikat Pekerja Persaudaraan Pekerjaan Kepulauan Aru (SP.PPKA-17) akan melanjutkan pada proses Tripartit,” tuturnya.
Jika mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, menurut perhitungan SP.PPKA-17, ada sekitar Rp 80 juta yang mesti dibayarkan perusahaan kepada korban.
“Perincian yang kami sampaikan mengacu pada regulasi yang berlaku, sehingga seluruhanya berjumlah sekitar 80 juta rupiah. Sebab seseorang ketika bekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama 5 tahun berarti sudah harus diangkat sebagai pekerja tetap,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT. PTU belum bersedia memberikan konfirmasi ihwal perkara ini.
Penulis : Johan Djamanmona Editor : Khairiyah