Belém, Brasil, – Aktivis lingkungan asal Papua turut hadir dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 yang sedang berlangsung di Belém, Brasil. Keterlibatan mereka menandai minimnya respon pemerintah Indonesia terhadap perlindungan hutan dan ruang hidup masyarakat adat di Tanah Papua. Selain mengikuti rangkaian diskusi resmi, para aktivis lingkungan ini juga melakukan kunjungan solidaritas ke komunitas adat Ka’apor di wilayah Amazon, dan bergabung dalam aksi Flotilla.
Pengkampanye Yayasan Pusaka, Dorthea Wabiser, menjelaskan bahwa kunjungan ke Suku Ka’apor dilakukan sebagai bentuk solidaritas masyarakat adat lintas benua yang menghadapi ancaman serupa. Ka’apor dikenal sebagai komunitas yang berani menggugat kebijakan destruktif pemerintah Brasil dan perusahaan, termasuk gugatan terhadap Presiden JairBolsonaro atas dugaan ecocide.

Iklim- COP30 UNFCCC yang berlangsung di Belem, Brasil, Sabtu, 15 November 2025.
Masyarakat Adat Papua Barat menjadi bagian dari sedikitnya 30 ribu Masyarakat Adat yang
menuntut partisipasi bermakna Masyarakat Adat, penghentian solusi palsu iklim dan
pengesahan RUU Masyarakat Adat. (dok/ JustCOP.)
“Kini wilayah adat Ka’apor kembali ditekan melalui ekspansi industri tebu, penebangan kayu, dan proyek karbon berskala besar,” kata Dorthea, Kamis, 13 November 2025.
Selain berdiskusi dengan masyarakat Ka’apor, delegasi Papua juga mengikuti gerakan kolektif Flotilla. Aksi tersebut menggunakan armada besar yang mengantar lebih dari 5.000 perwakilan masyarakat adat dari 60 negara menuju lokasi COP30. Armada ini mencakup kapal-kapal ikonik seperti Yaku Mama (Ekuador), The Answer Caravan (Brasil) yang dipimpin tokoh adat Raoni Metuktire, serta Flotilla 4 Change.
Aksi sepanjang lebih dari 3.000 kilometer sungai Amazon itu menyerukan penghentian “solusi iklim palsu” dan mendesak negara-negara untuk menempatkan masyarakat adat sebagai pusat strategi iklim global. “Momen tersebut melambangkan kekuatan dan ketahanan masyarakat hutan, sebagai penjaga Amazon, suara mereka sangat penting bagi diskusi iklim global,” katanya.

Banyak masyarakat adat di belahan dunia lain serupa nasibnya. Keterlibatan dan suara mereka kerap diabaikan dalam negosiasi resmi. “Sungguh disayangkan banyak suara masyarakat adat tidak dilibatkan dalam negosiasi COP30, dan kami sangat merasakan hal ini sebagai orang Papua Barat. Hutan kami bukan untuk dinegosiasikan, hutan kami bukan bank anda,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merauke, Teddy Wakum, mengatakan di Tanah Papua, proyek strategis nasional di Merauke tak hanya merusak hutan dan ruang hidup masyarakat, tapi juga hadirnya aparat militer di sana menimbulkan ketegangan sosial. Hal ini akan mereka sampaikan dalam forum COP30.
“Ini proyek besar negara. Tapi bagi kami, apapun caranya akan kami tempuh, termasuk lewat mekanisme internasional, agar dunia tahu bahwa masyarakat adat Papua hari ini sedang menghadapi ketidakadilan,” kata Teddy.
Ia menilai kian mencoloknya paradoks antara diplomasi hijau Indonesia di luar negeri dan realitas kehancuran hutan di dalam negeri. “Di luar, Indonesia bicara soal perdagangan karbon dan pelestarian hutan. Tapi di Merauke, hutan masyarakat adat justru dibabat. Kalau serius ingin bicara iklim, hentikan proyek-proyek perusak hutan,” ujarnya.
Para aktivis itu juga akan membahas tentang kearifan lokal masyarakat adat yang telah terbukti menjaga dan memanfaatkan hutan secara bijak.
“Kami yakin masyarakat adat dengan pengetahuan kearifan adat mereka, sejak lama mampu mengelola hutan, dibandingkan negara,” katanya.
Dalam berbagai pernyataan resmi di COP30, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa mekanisme perdagangan karbon nasional dan regulasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) akan memberi manfaat nyata kepada masyarakat penjaga hutan. Pemerintah juga mengklaim penguatan pengakuan hutan adat melalui alokasi sekitar 1,4 juta hektare. Namun menurut organisasi masyarakat sipil, kenyataan di lapangan justru berlawanan.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menyatakan bahwa negara terus mendorong konversi hutan skala besar demi kepentingan komersial. “Negara cenderung berorientasi memanfaatkan hasil hutan untuk tujuan komersial yang terbukti merusak dan justru berperan sebagai driver of deforestation,” kata Franky.
Ia mencontohkan, di Merauke, Papua Selatan, pemerintah mengembangkan proyek strategis pangan, energi, dan air yang akan mengonversi sekitar 2 juta hektare kawasan hutan. Tahun 2025, SK Menteri Kehutanan telah melepaskan dan mengubah peruntukkan kawasan hutan di Papua, termasuk sekitar 490 ribu hektare untuk proyek food estate Merauke. Pada September lalu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan pun justru mengatakan bahwa pemerintah akan mempercepat pembangunan kawasan tersebut dengan menargetkan total pembebasan lahan 1 juta hektare dengan melakukan perubahan tata ruang.
Menurut Franky, program tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa berkonsultasi dan bermusyawarah dengan masyarakat, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang mendiami wilayah tersebut. “Pemerintah memandang hutan adat sebagai milik negara yang bebas dialihfungsikan. Ini menunjukkan pandangan kolonial yang masih hidup dalam kebijakan negara,” ujarnya.
