Aksi Solidaritas Dukung Tempo Hadapi Gugatan Rp200 Miliar oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman

03/11/2025
Puluhan jurnalis dan aktivis masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan koalisi kebebasan pers menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11). Foto: AJI Jakarta

Jakarta, — Puluhan jurnalis dan aktivis masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan koalisi kebebasan pers menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11). Aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap Tempo, yang digugat secara perdata oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp200 miliar.

Dalam gugatannya, Amran menilai pemberitaan Tempo, termasuk laporan sampul berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”, telah merusak citra pribadi dan reputasi Kementerian Pertanian. Ia menuntut Tempo membayar ganti rugi materiil dan immateriil, yang oleh kalangan jurnalis dinilai sebagai bentuk upaya pembungkaman terhadap media.

Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli Yosep Stanley Adi Prasetyo, mantan Ketua Dewan Pers.

Keterangan gambar: Puluhan jurnalis dan aktivis masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan koalisi kebebasan pers menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11). Aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap Tempo, yang digugat secara perdata oleh Menteri Pertanian Amran Sulaimandengan nilai ganti rugi lebih dari Rp200 miliar. Foto: AJI Jakarta

AJI: Gugatan Ini Bentuk Pembungkaman Media

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menilai langkah hukum Menteri Amran menunjukkan ketidakpahaman terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Setiap keberatan terhadap pemberitaan media seharusnya diselesaikan melalui hak jawab, hak koreksi, atau melalui Dewan Pers, bukan pengadilan,” kata Nany dalam orasi di depan PN Jakarta Selatan.

Menurutnya, gugatan Rp200 miliar ini bukan hanya berlebihan, tapi juga berpotensi menjadi preseden buruk. “Gugatan ini bukan sekadar terhadap Tempo, tapi ancaman bagi semua media di Indonesia,” ujarnya.

Nany menegaskan, membawa sengketa pemberitaan ke ranah perdata adalah bentuk pembungkaman melalui jalur hukum, atau lawfare. AJI menyerukan agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan tersebut dan menghormati mekanisme penyelesaian yang sudah dijalankan melalui Dewan Pers.

LBH Pers: Gugatan Tak Masuk Akal dan Tak Berdasar Hukum

 Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, menilai gugatan Rp200 miliar tersebut “tidak masuk akal dan tidak dibenarkan secara hukum.” Ia menjelaskan bahwa pejabat publik tidak dapat menggugat media secara perdata atas pemberitaan yang menjadi bagian dari fungsi pengawasan publik.

“Apalagi jika dalihnya adalah pencemaran nama baik lembaga,” kata Mustafa. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII-2024, tuduhan pencemaran nama baik hanya dapat diajukan oleh individu, bukan lembaga pemerintah.

“Dalam hal ini, Menteri Pertanian bertindak sebagai pejabat publik, bukan individu pribadi. Gugatan ini justru bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang harus dijaga oleh pejabat publik,” ujarnya.

Senada dengan AJI Indonesia, Ketua AJI Jakarta, Irsyan Hasyim, meminta majelis hakim membatalkan gugatandalam putusan sela karena kasus ini telah ditangani oleh Dewan Pers.

“Jika pengadilan tetap melanjutkan perkara ini, maka pengadilan telah merusak marwahnya sendiri,” katanya. “Sengketa pers bukan ranah pengadilan umum, tapi wilayah Dewan Pers.”

Tempo: Ancaman Bredel Gaya Baru

Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menyampaikan terima kasih atas dukungan komunitas wartawan terhadap Tempo. Ia menyebut gugatan ini berpotensi menjadi preseden berbahaya bagi hubungan pejabat publik dengan media di masa depan.

“Setelah hampir tiga dekade kita memiliki UU Pers, masih ada pejabat publik yang belum memahami esensinya,” kata Setri dalam keterangan tertulis yang diterima titastory.id, Senin (3/11).

Menurut Setri, Amran seharusnya menggunakan mekanisme hak jawab dan sengketa pers di Dewan Pers, bukan jalur pengadilan. “Begitu pejabat publik memilih pengadilan, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tapi juga muncul ketakutan akan ‘bredel gaya baru’.”

Tempo, kata Setri, telah memenuhi seluruh rekomendasi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor 3/PPR-DP/VI/2025, termasuk mengubah judul poster, meminta maaf, dan melakukan moderasi konten dalam waktu 2×24 jam.

“Apa yang kami lakukan hari ini bukan untuk menolak hak warga negara menggugat, tapi untuk menghentikan preseden otoritarian dalam penyelesaian sengketa pers,” ujar Setri. “Solidaritas ini bukan hanya untuk Tempo, tapi untuk menjaga kebebasan pers yang telah diperjuangkan.”

Latar Belakang Gugatan

Sengketa antara Amran Sulaiman dan Tempo berawal dari laporan Tempo bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang terbit 16 Mei 2025 di akun X dan Instagram Tempo.co. Laporan itu mengungkap kebijakan penyerapan gabah berkualitas rendah oleh Bulog dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram, yang membuat sebagian petani menyiram gabah bagus agar beratnya bertambah.

Artikel ini juga memuat kutipan langsung dari Menteri Pertanian yang mengakui adanya risiko kerusakan gabah akibat kebijakan tersebut. Sengketa kemudian dibawa ke Dewan Pers, yang menyatakan Tempo melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 dan 3.

Dewan Pers merekomendasikan agar Tempo memperbaiki judul dan menyampaikan permintaan maaf, yang telah dilaksanakan media tersebut. Namun, Amran tetap menggugat secara perdata dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL, menilai pemberitaan Tempo sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan nama baiknya dan kementeriannya.

Kasus ini kini menjadi ujian penting bagi kebebasan pers di Indonesia. Di satu sisi, pejabat publik memiliki hak untuk menuntut klarifikasi, namun di sisi lain, kebebasan media untuk mengawasi dan mengkritik kebijakan publik merupakan pilar demokrasi yang harus dijaga.

“Gugatan ini bukan hanya tentang Tempo,” ujar Nany Afrida. “Ini tentang masa depan jurnalisme di negeri ini — apakah ia tetap bebas, atau kembali dibungkam lewat angka-angka besar di pengadilan.”

error: Content is protected !!