titastory, Paris – Di balik megahnya parade militer Bastille Day di Paris, Senin, 14 Juli 2025, suara perlawanan dari diaspora Maluku menggema ke seantero Eropa. Kedatangan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, sebagai tamu kehormatan dalam perayaan nasional Prancis itu memicu gelombang protes dari Organisasi Saka Mese Maluku yakni para aktivis Maluku di Belanda.
Dalam aksi damai ini, ada ara aktivis Maluku ini menyatakan kekhawatiran atas hubungan bilateral yang kian erat antara Indonesia dan Prancis, terutama dalam bidang kerja sama militer dan perdagangan nikel. Saka Mese Maluku menilai, di balik narasi diplomatik dan investasi, tersimpan sejarah penindasan yang belum selesai dan luka ekologis yang terus menganga di tanah Maluku.
“Kami tidak menolak hubungan antarnegara. Tapi kami menolak kerja sama yang memperkuat militerisasi dan memperparah perampasan ruang hidup masyarakat adat di tanah kami,” kata salah satu perwakilan Saka Mese Maluku, dalam pernyataannya yang dikutip dari media sosial milik sakamesenusa.com, Senin (14/7).

Dilansir dari sakamesenusa.com, menyebutkan parade, delegasi Indonesia dihadapkan pada lautan bendera RMS di sepanjang Champs-Élysées. Aktivis Maluku Selatan membagikan ratusan bendera sebagai simbol perlawanan yang kuat.
“Bendera Maluku Selatan tidak hanya melambangkan perjuangan untuk kemerdekaan; ia mewakili keadilan, martabat, dan ikatan yang mendalam dengan nenek moyang dan tanah air kita. Republik Maluku Selatan (RMS) lebih dari sekadar aspirasi politik – ia adalah janji untuk melindungi rakyat kita, budaya kita, dan pulau-pulau kita. Ia adalah identitas kita, hak kita, dan tanggung jawab kita,” kata sejumlah aktivis yang dilansir dari media sakamesenusa.com. Aksi ini mendapat banyak tanggapan positif dari penonton Prancis.

Jejak Luka dalam Diplomasi Militer
Dari protes ini, aktivis Maluku in juga menyoroti bahwa kerja sama militer Prancis-Indonesia telah berlangsung sejak 1950-an, tepat ketika Indonesia melancarkan operasi militer terhadap Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam sejarah, RMS menyatakan kemerdekaan pada 25 April 1950, pasca pengakuan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia Serikat. Namun, keinginan rakyat Maluku untuk menentukan nasib sendiri itu segera dihantam militer Indonesia, yang dibantu persenjataan asing.
“Militer Indonesia membungkam aspirasi kemerdekaan kami dengan kekerasan. Dan sejak awal, Prancis sudah terlibat sebagai pemasok kekuatan militer bagi Indonesia,” kata salah satu aktivis Diaspora Maluku yang dilansir media ini.
Kini, kerja sama militer itu diperluas dalam bingkai industri pertahanan dan investasi tambang strategis. Namun, menurut mereka, narasi itu hanya memperhalus praktik kekerasan struktural yang masih terus terjadi terhadap komunitas adat di Maluku, Papua, hingga Aceh.

Nikel, Hutan Gundul, dan Air yang Tercemar
Pemuda diaspora Maluku ini juga menyoroti perdagangan nikel antara Indonesia dan Prancis sebagai bagian dari perjanjian strategis bilateral. Nikel digunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik — simbol transisi energi global yang “ramah lingkungan.” Namun, di balik itu, masyarakat adat Maluku menyaksikan tanah mereka berubah menjadi kubangan tambang.
“Lahan hutan dirampas atas nama negara. Air minum tercemar. Orang-orang yang menggantungkan hidup dari hutan ditangkap dan dikriminalisasi hanya karena bersuara,” kata para Aktivis Maluku ini . “Apakah ini harga dari revolusi hijau versi Paris?”
Oke warga diaspora Maluku ini juga menegaskan, pemerintah Prancis tak bisa mencuci tangan. “Dengan menjalin kerja sama tambang dan militer, Prancis turut bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan ekologis di Maluku,” tegasnya.

Prabowo dan Rekam Jejak Kekerasan Negara
Menurut para pendemo kedatangan Presiden Prabowo Subianto ke Bastille Day adalah ironi sejarah. Pemimpin negara yang diundang untuk merayakan simbol revolusi rakyat justru memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat. Mereka menyebutkan keterlibatan Prabowo dalam operasi militer di Timor Leste, penculikan aktivis pro-demokrasi, kekerasan di Papua Barat, hingga perampasan wilayah adat di Maluku.
“Rakyat Maluku menyimpan luka panjang dari operasi-operasi militer yang terjadi hingga kini. Banyak dari kami tidak punya tempat untuk menyampaikan suara di negeri sendiri. Maka kami bersuara dari Belanda,”kata mereka.

Diplomasi di Istana, Derita di Pulau-pulau
Pada saat yang sama, situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia melaporkan Presiden Prabowo menghadiri jamuan santap malam privat bersama Presiden Macron di Istana Élysée. Dalam jamuan itu, kedua pemimpin membahas isu strategis global dan memperkuat komitmen kerja sama dua negara.
Sementara Prabowo disambut dengan barisan pasukan kehormatan di Paris, warga di Maluku dan Papua masih harus berhadapan dengan aparat bersenjata karena mempertahankan tanah adat mereka. Di Aceh, enam batalyon militer dikabarkan dikerahkan merespons gelombang protes damai rakyat.
“Apakah ini wajah baru dari diplomasi global: jamuan elegan di atas reruntuhan demokrasi dan hak asasi manusia?” ujar Jozua.

Ajakan untuk Bangkitkan Solidaritas Global
Surat terbuka Saka Mese Nusa juga ditujukan kepada para jurnalis Prancis agar menyuarakan suara rakyat Maluku dalam konferensi pers bersama dua presiden. Mereka menyerukan agar publik Prancis mengkritisi kerja sama militer dan perdagangan yang berakar dari penderitaan masyarakat adat.
“Kami tidak sedang meminta belas kasih. Kami menuntut keadilan,” kata Makatita. “Jika Prancis ingin membangun masa depan bersama Indonesia, maka masa lalu yang berdarah ini tak boleh diabaikan.”
Saka Mese mengakhiri pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh masyarakat Eropa dan komunitas internasional untuk memutus rantai bisnis dan politik yang memperkuat pelanggaran HAM di Maluku dan wilayah lainnya di Indonesia.
“Revolusi tak hanya milik Paris. Hari Bastille juga milik kami yang terus melawan di tanah sendiri.”
Aksi damai oleh para aktivis keturunan Maluku ini diorganisir oleh Organisasi Saka Mese Maluku dan sejumlah organisasi pemuda lainnya sepertI Vrije Molukse Jongeren (VMJ), yang berbasis di Belanda dan sejumlah simpatisan independen Maluku di Belanda.
Penulis : Tim Redaksi Sumber : Saka Mese Maluku & Sekretariat Kabinet RI