Aksi Kamisan di Ambon: Tuntutan Cabut Izin Tambang dan Hentikan Kriminalisasi Pejuang Adat

31/07/2025
Aksi Kamisan mahasiswa terkait proses sidang dua pejuang lingkungan asal Negeri Haya, Tehoru, Maluku Tengah. Foto : Ed/titastory

titastory, Ambon – Puluhan aktivis, mahasiswa, dan warga sipil yang tergabung dalam jaringan solidaritas masyarakat sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Gong Perdamaian, Kota Ambon, Kamis (31/7/2025). Dalam aksi diam yang berlangsung sejak pukul 16.00 WIT ini, para peserta membawa payung hitam dan poster-poster bertuliskan tuntutan: Cabut Izin Tambang, Stop Kriminalisasi Pejuang Adat.

Aksi Kamisan kali ini menyoroti dua isu utama: ekspansi industri pertambangan di Pulau Seram yang merusak ruang hidup masyarakat adat, serta kriminalisasi terhadap dua pemuda adat Negeri Haya, Kabupaten Maluku Tengah, yang dinilai sebagai bentuk ketidakadilan hukum.

Aksi mahasiswa di Kota Ambon, menyoroti kasus hukum yang menjerat dua pemuda asal Negeri Haya, Tehoru, Maluku Tengah. Foto : Ist

Korporasi Masuk, Ruang Hidup Tergusur

Massa aksi mengecam ekspansi perusahaan tambang seperti PT Waragonda Mineral Pratama yang dinilai telah mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat di Pulau Seram. Mereka menyebutkan, kehadiran korporasi pertambangan tidak hanya merusak hutan, mencemari air, dan mengganggu ekosistem laut, tetapi juga menyebabkan perampasan ruang hidup secara sistematis.

“Negara seolah-olah menutup mata terhadap masyarakat adat yang terusir dari tanahnya sendiri demi kepentingan investasi ekstraktif. Ini bertentangan dengan konstitusi,” ujar seorang orator dalam aksi.

Dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, negara secara tegas menyatakan pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat. Namun realitasnya, masyarakat adat justru mengalami diskriminasi dan diperlakukan seolah tidak memiliki hak di tanah sendiri.

Kriminalisasi Pejuang Adat Negeri Haya

Aksi Kamisan juga menyoroti kriminalisasi terhadap dua pemuda adat Negeri Haya, Ardi Tuahan dan Sahin Mahulaw, yang saat ini ditahan oleh Polres Maluku Tengah. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan penghasutan dan pembakaran fasilitas milik perusahaan tambang. Namun, kuasa hukum dan keluarga menyatakan bahwa penangkapan dilakukan tanpa bukti yang cukup dan tidak sesuai prosedur.

Merujuk Pasal 17 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP, penangkapan hanya sah jika didukung minimal dua alat bukti yang sah. Namun dalam kasus ini, proses penetapan tersangka dinilai cacat hukum.

“Ardi dan Sahin adalah pemuda adat yang menyuarakan hak masyarakat, bukan pelaku kriminal. Penahanan mereka menunjukkan bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata koordinator aksi.


Tujuh Tuntutan Aksi Kamisan Ambon

Dalam aksinya, massa menyampaikan tujuh poin tuntutan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum:

1. Segera cabut izin operasi PT Waragonda Mineral Pratama dari Pulau Seram.
2. Desak percepatan proses hukum terhadap laporan tindak pidana pertambangan yang telah dilayangkan ke Polda Maluku.
3. Bebaskan Ardi Tuahan dan Sahin Mahulaw, dua pemuda adat Negeri Haya, yang ditahan tanpa dasar hukum yang jelas.
4. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat di seluruh wilayah Indonesia.
5. Segera bebaskan 11 warga adat Maba Sangadji yang ditahan dalam konflik agraria.
6. Negara harus mengakui dan melindungi wilayah adat sesuai prinsip hak asasi manusia dan hukum adat yang hidup.
7. Segera sahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Suara dari Pinggiran

Aksi Kamisan yang digelar di Kota Ambon ini menjadi simbol perlawanan dari pinggiran. Ia merepresentasikan suara masyarakat adat yang selama ini tak terdengar dalam hiruk-pikuk pembangunan. Mereka yang selama bertahun-tahun menjaga hutan dan tanah leluhur kini terancam kehilangan semuanya akibat kebijakan yang lebih berpihak pada modal dan investasi.

“Apa gunanya pembangunan, jika rakyat adat dikorbankan? Hentikan ketidakadilan ini sekarang juga,” tulis salah satu poster dalam aksi.

Penulis: Edison Waas
error: Content is protected !!