titastory, Ambon – Puluhan mahasiswa, aktivis, dan warga sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Masyarakat Sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Gong Perdamaian, Kota Ambon, Kamis (31/7/2025). Aksi ini sebagai bentuk protes atas dugaan kriminalisasi terhadap Ardi Tuahan dan Sahin Mahulauw, dua pemuda adat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, yang saat ini ditahan dan sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Ambon.
Massa aksi mengenakan pakaian serba hitam, membawa payung hitam dan poster-poster bertuliskan “Cabut Izin Tambang”, “Stop Kriminalisasi Pejuang Adat”, dan “Negara Wajib Lindungi Hak Adat”. Mereka diam dalam hening sejak pukul 16.00 WIT, sebagai simbol duka dan perlawanan terhadap ketidakadilan hukum.

Penangkapan Tanpa Bukti yang Kuat
Koordinator aksi, Risalah Namakule, menyatakan bahwa proses penangkapan kedua pemuda tersebut diduga tidak sesuai prosedur hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Menurutnya, polisi menetapkan status tersangka tanpa didukung dua alat bukti sah seperti diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 184 KUHAP.
“Penangkapan ini inkonstitusional dan berpotensi melanggar hak asasi. Bukti CCTV tidak menunjukkan tindakan pembakaran, apalagi penghasutan. Ini jelas dugaan kriminalisasi,” kata Shalan kepada titastory.id.
Risalah menyebut, Ardi dan Sahin adalah pemuda adat yang membela wilayah adat mereka dari ekspansi tambang. Mereka memprotes pengrusakan palang sasi adat yang dipasang warga untuk menolak kehadiran PT Waragonda Mineral Pratama. Namun aksi tersebut berujung pada pelaporan pidana oleh perusahaan.
“Ardi justru mengajak warga berdialog dan menjaga situasi. Tapi malah dia yang dijadikan tersangka utama. Ini ironis,” ujar Risalah.
Tambang Masuk, Masyarakat Adat Tersingkir
Aksi Kamisan di Ambon kali ini juga menyoroti isu lebih luas: ekspansi industri tambang yang merampas ruang hidup masyarakat adat. Para peserta menyebut bahwa kehadiran perusahaan tambang seperti PT Waragonda di Pulau Seram menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran sumber air, serta gangguan terhadap ekosistem laut dan daratan.
“Negara abai. Masyarakat adat dianggap tak punya hak di tanah sendiri. Padahal konstitusi kita, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat,” kata salah satu orator.
Mereka menyebut, berbagai pelanggaran dilakukan atas nama investasi. Masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya justru dikriminalisasi dan dijerat dengan pasal-pasal pidana.
Tujuh Tuntutan Aksi Kamisan Ambon
Dalam aksinya, massa menyampaikan tujuh tuntutan kepada pemerintah pusat, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah:
1. Segera cabut izin operasi PT Waragonda Mineral Pratama dari Pulau Seram.
2. Desak percepatan proses hukum laporan masyarakat terkait dugaan tindak pidana pertambangan ke Polda Maluku.
3. Bebaskan Ardi Tuahan dan Sahin Mahulauw, dua pemuda adat Negeri Haya yang ditahan tanpa dasar hukum yang kuat.
4. Hentikan seluruh bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia.
5. Bebaskan 11 warga adat Maba Sangadji yang saat ini ditahan dalam kasus konflik agraria.
6. Negara harus mengakui dan melindungi wilayah adat, sesuai prinsip hak asasi manusia dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
7. Segera sahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MHA).
Suara dari Pinggiran yang Tak Terdengar
Aksi Kamisan yang digelar rutin di berbagai daerah, kini menjalar ke Kota Ambon dan menjadi simbol perlawanan dari pinggiran. Mereka menyuarakan kegelisahan masyarakat adat yang terusir dari tanahnya sendiri oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada pemilik modal.
“Apa gunanya pembangunan jika rakyat adat dikorbankan? Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?” tulis salah satu poster yang dibentangkan mahasiswa.
Meski dalam sunyi, Aksi Kamisan di Ambon hari itu menyuarakan jeritan panjang masyarakat adat yang belum merdeka atas hak-hak dasarnya. Mereka tidak menuntut lebih, hanya ingin hidup tenang di tanah leluhur mereka.
Penulis: Edison Waas