titastory, Ambon – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aksi Kamisan Ambon menggelar aksi tolak revisi Undang-Undang (UU) TNI. Aksi tersebut digelar di Jalan Kapten Piere Tendean, kawasan Taman Bawah Jembatan Merah Putih, Kamis (20/3).
Penolakan revusi UU TNI tersebut merupakan bentuk supremasi sipil untuk menumbangkan rezim militerisme.
Tak hanya menyuarakan penolakan terhadap UU TNI, mereka juga memberi dukungan kepada masyarakat Desa Haya yang saat ini tengah berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Bentuk protes tersebut terpampang pada dua buah spanduk bertuliskan “#TolakUUTNI” dan “#HayaBergerak”.

Kordinator Lapangan, Putri (21) mengaku, aksi tersebut merupakan bentuk kekuasaan tertinggi masyarakat dalam menumbangkan rezim militerisme. Lewat UU TNI bakal mengembalikan dwifungsi ABRI di Indonesia.
“Kita semua tahu sejak disahkannya UU TNI No. 34 Tahun 2004 sampai direvisinya UU tersebut praktik dwifungsi ABRI masih terus berlangsung hingga kini,” tegas Putri.
Sebelumnya pada era reformasi pada 1998 telah membawa sedikit harapan bahwa dominasi militer dalam kehidupan sipil dapat terkurangi. Hal tersebut diperkuat dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004.
Namun usai dibahas dan direvisi oleh DPR, berbagai penolakan muncul dari kalangan masyarakat sipil dari berbagai kota di Indonesia tak terkecuali di Maluku.
George J. Aditjondro, seorang peneliti dan aktivis HAM, telah melakukan penelitian tentang kekerasan antar agama yang terjadi di Kepulauan Maluku pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Menurut Aditjondro, kekerasan tersebut bukan hanya konflik antar agama, tetapi juga melibatkan jaringan militer dan kepentingan politik.
Aditjondro menyatakan bahwa kekerasan antar agama di Maluku merupakan bagian dari strategi “devide et impera” (pecah dan kuasai) yang digunakan oleh militer untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol sumber daya alam di daerah ini.
Penelitian Aditjondro juga menunjukkan bahwa kekerasan antar agama di Maluku melibatkan kelompok-kelompok paramiliter yang didukung oleh militer, serta adanya peran aktor politik dan ekonomi yang ingin mempertahankan kepentingan mereka.
Selain itu, hasil investigasi Media Tempo juga mengatakan ada peran TNI dibalik kematian Yanes Balubun. Dua kejadian itu mencatat TNI telah menjadi aktor dalam berbagai permasalahan yang terjadi di Maluku.
“Makin terang kita lihat bagaimana intervensi militer ke sipil justru menciptakan penindasan kan. Dong (militer) digunakan ya untuk pertahankan hegemoni dan kekuasaan elit ekonomi politik dan oligarki,” tuturnya.
Revisi UU TNI menurut Putri justru menghapus berbagai batasan, sekaligus membuka peluang untuk mencampuri kehidupan sipil dan melegalkan praktik-praktik dwifungsi ABRI.
UU TNI juga berdampak terhadap beberapa perjuangan masyarakat Maluku. Pemerintah daerah (pemda) bisa dengan leluasa memberikan izin kepada TNI agar membantu tugas pemda untuk meredam aksi-aksi penolakan yang dilakukan masyarakat.
“Seperti penolakan masyarakat terhadap pertambangan nikel, perkebunan pisang Abaka di Kabupaten Seram Bagian Barat, kemudian Penolakan penetapan kawasan hutan oleh Negara di Seram Selatan,” ucap korlap Aksi Kamisan Ambon itu.
Dia menyebut, ketika fungsi militer dilegalkan menangani isu-isu sipil apalagi lewat narasi operasi militer. Selain perang, juga berpotensi menekan masyarakat, dengan mematikan gerakan buruh tani, mahasiswa, masyarakat adat, dan kaum marginal lain.
“UU TNI akan memelihara kekerasan, memang terkesan legal padahal sangat keji. Makanya kita harus lawan dominasi TNI untuk masyarakat sipil,” tegasnya.
Penulis : Sofyan Hatapayo Editor : Khairiyah