Ahli PBB: Indonesia Harus Akui Masyarakat Adat dan Libatkan Mereka dalam Pembangunan

Suara dari Jenewa: Dunia Memantau Indonesia
05/11/2025
Keterangan gambar: Tangkapan layar Laporan Ahli PBB di Situs Resmi United Nations Human Rights

Jenewa, – Dari ruang-ruang rapat berpendingin udara di Jenewa, PBB mengirim pesan yang tegas ke Jakarta: “Akuilah masyarakat adat, atau kalian akan kehilangan masa depan bangsa sendiri.”
Pernyataan keras itu datang bukan dari satu suara, melainkan dari sejumlah Pelapor Khusus dan Kelompok Kerja Dewan HAM PBB — mulai dari pakar hak-hak masyarakat adat, perubahan iklim, hingga bisnis dan HAM.

Mereka menilai Indonesia gagal menghormati keberadaan masyarakat adat, meski telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) lebih dari 17 tahun lalu.

Bagi para ahli, kegagalan ini bukan semata kelalaian administratif, tetapi sudah menjelma menjadi pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia — dari perampasan tanah, kriminalisasi, hingga hilangnya eksistensi budaya.

“Beberapa masyarakat adat di Indonesia sedang didorong menuju pemusnahan bertahap,” tegas mereka dalam pernyataan resmi.

“Negara yang mengaku demokratis seharusnya tidak takut mengakui perbedaan dan keberagaman rakyatnya.”

PBB menyoroti Papua Barat sebagai episentrum pelanggaran, di mana masyarakat adat menghadapi militerisasi dan pengambilalihan lahan di bawah dalih pembangunan strategis nasional. Program transmigrasi dan eksploitasi tambang nikel, migas, serta sawit disebut telah mempercepat proses asimilasi paksa, mendorong masyarakat adat kehilangan tanah, identitas, dan masa depan mereka.

Peringatan PBB ini datang di tengah lonjakan konflik tanah adat di seluruh Indonesia. Dan bagi banyak pihak, ini bukan sekadar teguran diplomatik — ini alarm keras tentang krisis keadilan struktural yang terus diabaikan negara.

Keterangan gambar: Masyarakat Adat Yei menghadang aktivitas dari PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) dengan menanam papan larangan di wilayah adat marga Kwipalo, Merauke, Papua Selatan. Foto: Vincen Kwipalo.

Krisis Pengakuan dan Ledakan Konflik di Tanah Adat

Menurut catatan  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga tahun 2024, terdapat lebih dari 17 juta jiwa masyarakat adat yang hidup di wilayah adat seluas lebih dari 40 juta hektar. Dari jumlah itu, baru sekitar 3,3 juta hektar yang mendapatkan pengakuan hukum melalui peraturan daerah atau penetapan pemerintah. Artinya, kurang dari 10 persen tanah adat di Indonesia diakui secara sah oleh negara.

Sementara itu, lebih dari 4.200 komunitas adat masih berjuang agar wilayahnya tidak diserobot atas nama pembangunan.

AMAN mencatat setidaknya 250 kasus konflik masyarakat adat dengan negara dan perusahaan dalam lima tahun terakhir — mulai dari penambangan nikel di Halmahera, pembukaan sawit di Kalimantan, hingga proyek infrastruktur di tanah Papua dan Nusa Tenggara.

Dalam banyak kasus, konflik ini berujung pada kriminalisasi para pemimpin adat, perusakan situs budaya, hingga pengusiran warga dari tanah leluhur.

Keterangan gambar: Potret masyarakat adat Marfenfen sedang berada di papan selamat datang TNI AL. Tampak masyarakat setempat protes keberadaan papan milik TNI AL tersebut karena dianggap menyerobot tanah ulayat meraka. Foto: Ist

Sebagian besar terjadi karena proyek-proyek besar dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan terinformasi (FPIC), pelanggaran yang oleh hukum internasional dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperkuat temuan itu. Sepanjang 2023 hingga pertengahan 2024, tercatat 241 kasus konflik agraria di Indonesia, mencakup lebih dari 700 ribu hektar lahan dan melibatkan 160 ribu keluarga.

Sebanyak 34 persen konflik itu melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal, dan 42 persen di antaranyamelibatkan negara sebagai pihak utama, baik melalui BUMN, militer, maupun pemerintah daerah.

Di Papua, konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan korporasi tambang menyumbang jumlah tertinggi — lebih dari 50 persen konflik agraria di wilayah timur Indonesia.

Sementara di Kalimantan dan Sumatra, proyek perkebunan dan kehutanan mendominasi.

“Negara seringkali berperan ganda: sebagai regulator sekaligus aktor yang melanggar,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika.

Dalam banyak kasus, katanya, masyarakat adat dihadapkan bukan hanya pada korporasi, tetapi pada represi aparat bersenjata.

Keterangan gambar: Sejumlah Masyarakat Adat dari Suku Auwyu, Sorong Papua terlihat mengenakan pakaian adat dań juga mahkota bulu burung cendrawasih, sebagai simbol adat mereka. Sumber foto: Akun facebook @MeydaMey

Negara di Persimpangan: Antara Pembangunan dan Pemusnahan

Kritik dari PBB dan temuan lapangan dari AMAN dan KPA menggambarkan satu hal: negara sedang berada di persimpangan tajam. Di satu sisi, Indonesia ingin mempercepat pembangunan, membangun jalan, tambang, dan pabrik nikel atas nama transisi energi.

Namun di sisi lain, langkah-langkah itu justru mengorbankan masyarakat adat sebagai benteng terakhir keberlanjutan. Alih-alih dilibatkan, masyarakat adat justru dicurigai, diawasi, bahkan dikriminalisasi.

Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 120 aktivis adat dan pembela lingkungan ditangkap dengan berbagai tuduhan, mulai dari “merintangi proyek strategis” hingga “menghasut masyarakat.”

Bagi komunitas adat, demokrasi kini terasa seperti monolog negara yang menuntut patuh, bukan dialog untuk mencari keadilan.

Padahal, di balik hutan, laut, dan pegunungan yang mereka jaga, terdapat aset ekologis dan spiritual yang menjadi fondasi identitas bangsa.

“Negara tidak akan pernah benar-benar berdaulat tanpa mengakui masyarakat adat,” tulis pernyataan PBB menegaskan.

Ritual adat “Bugo” Yang dilaksanakan oleh Tetua Adat dari Kedua Desa. Foto: (Christ Belseran)

Kini, dengan meningkatnya tekanan global terhadap krisis iklim, pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat bukan hanya pelanggaran moral, tetapi ancaman langsung terhadap keberlanjutan nasional.

Jika pemerintah pusat tidak segera merespons peringatan ini dengan langkah konkret — seperti mengakui wilayah adat, menghentikan proyek yang melanggar FPIC, dan menghormati hak ulayat — maka sejarah akan mencatat: Indonesia menjadi negara yang membangun masa depannya dengan menyingkirkan akar budayanya sendiri.

error: Content is protected !!