Watanabe juga menyoroti peningkatan permintaan energi di ASEAN yang sejalan dengan pertumbuhan populasi, pembangunan ekonomi, dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, ASEAN harus memastikan pasokan energi yang cukup sambil terus mendorong dekarbonisasi tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi utama di banyak negara di ASEAN, yang berkontribusi pada peningkatan emisi karbon. Para menteri di AZEC harus mendorong transformasi menuju penggunaan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan.
“Terdapat berbagai opsi untuk dekarbonisasi, namun masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Kita perlu berkoordinasi dengan pasar untuk menarik investasi di sektor energi nol karbon,” tambah Watanabe.
Dalam forum yang sama, Takashi Uchida dari “Keidanren” berharap isu ini menjadi perhatian utama bagi negara-negara Asia dan ASEAN. Ia berharap pertemuan ini dapat menghasilkan usulan konkret untuk mendorong penurunan emisi karbon di setiap negara. Ke depan, Takashi menyebutkan akan ada penandatanganan MoU untuk membangun sistem yang mendukung keberlanjutan nol emisi karbon di masing-masing negara.
Arsyad juga menekankan pentingnya pemahaman bersama dalam mewujudkan transisi energi ini. Menurutnya, pengembangan energi nol karbon harus memiliki tingkat keamanan yang memadai, dan AZEC diharapkan menjadi suara dunia usaha dalam transisi energi. “Indonesia sangat mengapresiasi kehadiran AZEC dalam mengkampanyekan nol karbon, dan kami siap menjadikannya sebagai tantangan bagi Asia dan ASEAN,” tambahnya.
Dr. Han Phoumin, Ekonom Energi Senior, mengungkapkan bahwa saat ini bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam masih mendominasi bauran energi primer di ASEAN dan kawasan KTT Asia Timur (EAS), mencapai 80%. “Peningkatan permintaan energi ini mengancam keamanan energi dan lingkungan kawasan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa investasi dalam infrastruktur energi berkelanjutan, teknologi bersih, efisiensi energi, serta penggunaan energi terbarukan adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan dekarbonisasi di kawasan tersebut.
Dr. Phoumin menambahkan bahwa pada tahun 2050, bahan bakar fosil diperkirakan masih akan mendukung sekitar 60% permintaan energi. Sebanyak 20% dari penggunaan bahan bakar fosil ini akan didekarbonisasi menggunakan teknologi “Carbon Capture and Storage (CCS)”. Sektor industri dan transportasi akan tetap menjadi pengguna utama bahan bakar fosil, yang menekankan pentingnya dekarbonisasi di sektor-sektor sulit dikurangi.
Namun, jika ketergantungan terhadap energi fosil ini tidak berkurang, hal ini akan bertentangan dengan “Perjanjian Paris” dan “Pakta Iklim Glasgow”. Untuk mencapai netralitas karbon, diharapkan pada tahun 2050, energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa akan berkontribusi signifikan, bersama dengan energi bersih lainnya seperti tenaga air, panas bumi, dan nuklir.
ERIA dan “The Institute of Energy Economics, Japan (IEEJ)” telah melakukan simulasi penerapan teknologi energi yang optimal dari segi biaya untuk mencapai netralitas karbon pada 2060 di ASEAN. ERIA bekerja sama dengan negara-negara ASEAN yang berminat, termasuk Indonesia, Thailand, dan Vietnam, untuk mengembangkan skenario masing-masing. Ini mencakup pemanfaatan tenaga surya fotovoltaik, angin lepas pantai, tenaga air, panas bumi, biomassa, nuklir, CCUS, hidrogen, amonia, DACCS, dan BECCS.
“Dalam jangka pendek hingga menengah, pembangkit listrik berbahan bakar gas yang efisien akan mengurangi emisi CO2 dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Sekitar 300 Mt-CO2 dapat dikurangi pada tahun 2050 melalui peralihan bahan bakar batu bara ke gas di ASEAN. Dalam jangka panjang, teknologi CCUS, pembakaran bersama dengan amonia atau hidrogen, serta penggunaan 100% amonia dan hidrogen akan memainkan peran penting,” ujar Dr. Phoumin.
Mengingat bahan bakar fosil akan terus memainkan peran besar dalam bauran energi ASEAN, negara-negara ASEAN memerlukan teknologi untuk dekarbonisasi bertahap dan mendalam dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Tentang ERIA
ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), merupakan organisasi internasional yang dibentuk secara formal berdasarkan kesepakatan antara 16 kepala negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur ke-3 yang diselenggarakan di Singapura pada November 2007.
ERIA didirikan secara resmi pada saat pertemuan Governing Board yang diadakan di kantor Sekretariat ASEAN pada tanggal 3 Juni 2008. Berkantor pusat di Jakarta, Indonesia, berdasarkan Nota Pertukaran Diplomatik antara ASEAN dan Republik Indonesia, dilakukan penandatanganan perjanjian antara ERIA dan Republik Indonesia pada tanggal 8 dan 13 Oktober 2014 dan disahkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 2016.
Sesuai dengan tujuan pendiriannya, ERIA melakukan penelitian dan analisis kebijakan untuk memfasilitasi pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN, mendorong integrasi ekonomi yang luas dan pembangunan berkelanjutan di Asia Timur, dan berkontribusi untuk mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan. Kegiatan penelitian yang dilakukan, juga mencakup bidang kebijakan, seperti perdagangan dan investasi, globalisasi, promosi UKM, pengembangan SDM dan infrastruktur, serta energi dan lingkungan. (redaksi)
Discussion about this post