TITASTORY.ID – Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pattimura Ambon, Risman Solissa akhirnya duduk di kursi pesakitan pengadilan Negeri Ambon dan didakwah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas tuduhan melakukan unggahan ujaran kebencian dan pencemaran via media sosial facebook..
Risman ditangkap dengan dalil sebarkan ujaran kebencian melalui media elektronik dan atau penghinaan, pencemaran nama baik menyebarkan berita bohong. Dia sendiri dilapor oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Pradja Kota Ambon, Josias Loppies dan diadukan oleh Pores Kota Ambon.
Kronologis jalannya dakwaan, dimana pada tanggal 8 agustus 2021, penyidik Satreskrim Polresta Ambon langsung melimpahkan berkas dan tersangka ke Kejaksaan Negeri Ambon. Pemuda 21 tahun itu diserahkan setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21-red) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Ambon.
Sidang perdana digelar tanggal 16 agustus 2021 pekan lalu dengan agenda pemeriksaan saksi pelapor. Sidang lanjutan dilanjutkan kembali digelar di pengadilan Negeri Ambon,selasa (24/8/2021). Agenda sidang adalah mendengar keterangan saksi pelapor dan juga saksi pengadu.
Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Lucky Rambot Kalalo, serta dua dua hakim anggota Ismael Wael dan Hamzah Kailul, dilangsungkan secara virtual dari Pengadilan Negeri Ambon.
Sementara terdakwa Risman Solisa mengikuti sidang dari rutan Polresta Ambon, terpisah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengikuti secara virtual dari kantor Kejaksaan Negeri Ambon, serta para saksi dari lokasi mereka.
Sidang lanjutan kasus perkara ini mengagendakan pemeriksaan saksi pelapor dan juga saksi pengadu yang bersal dari Kepala Satpol Pamong Praja Kota Ambon dan Staf Unit Siber Crime Reskrim Polresta Ambon.
Dihadapan mejlis hakim saksi pelapor, dalam hal ini Kepala Satpol Pamong Praja Kota Ambon, Josias Loppies mengatakan laporan terhadap terdakwa Risman Solisa berdasarkan postingannya yang dianggap menghina dan menyebarkan ujaran kebencian kepada Presiden Joko Widodo, Gubernur Maluku, serta Walikota Ambon.
“Postingan itu saya tahu dari staf saya dengan kirimkan foto unggahan Risman melakan penghinaan dengan membuat akun di facebook miliknya Copot Presiden, Copot Gubernur Maluku, Copot Walikota Ambon,”kata Loppies kepada majelis hakim.
Dikatakan, tak hanya unggahan ujaran kebencian, terdakwa menurut Loppies juga melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan instansi Satuan Polisi Pamong praja dengan menggunakan nama alat kelamin perempuan.
“Saya laporkan itu karena terdakwa ini dalam postingannya menuju penghinaan instansi kita. Dia menulis Satuan Polisi Pepe. “Pepe” kalau bahasa lokal Ambon itu alat kelamin perempuan, jadi itu sangat menghina,”jelasnya.
Atas laporan saksi pelapor, Risman akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyebaran ujaran kebencian melalui media elektronik dan atau penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Ia juga mengatakan postingan terdakwa Risman sangat melanggar Instruksi Mentri Dalam Negeri, karena bersifat mengajak warga untuk melakukan aksi penolakan terhadap PPKM.
“Instruksi Mentri Dalam Negeri nomor 17 tahun 2021 tentang larangan untuk berkumpul keramaian dan kerumunan. Itu adalah ajakan untuk memusuhi pemerintah,”ujarnya.
Terhadap pernyataan saksi, Kuasa Hukum terdakwa sempat melayangkan pertanyaan terkait kerumunan yang saat ini terjadi di pasar tradisional dan Mardika Ambon yang dibandingkan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
“ Apa bedanya kerumunan atau keramaian di Pasar Mardika Ambon dengan Kerumunan Aksi Demonstrasi mahasiswa?” tanya Abdul Gaffur Rettob, ketua tim kuasa hukum Risman Solissa.
“Ya, menurut saya kalau di pasar itu kan ada proses jual beli, jadi tidak masalah namun kalau demo sudah dilarang dan pasti ada kerumunan,”jawab Loppies .
Ditanya soal proses pemanggilan oleh pihak kepolisian terkait laporan pencemaran nama instansinya, saksi mengatakan Tidak pernah dipanggil untuk diperiksa oleh penyidik Reskrim Polresta Ambon.
Sementara saksi pengadu lainnya yang berasal dari staf Unit Siber Crime Reskrim Polresta Ambon, Celvin Poly Latupeirissa dihadapan hakim mengatakan penangkapan terdakwa telah terpenuhi unsur ujaran kebencian dan juga penghinaan melalui transaksi alat elektronik.
“Kita lakukan patroli cyber dan melihat postingan terdakwa dengan ujaran kebencian pada akun “Beta Kudeta” milik Risman makanya langsung diamankan,”kata saksi pengadu Celvin Poly Latupeirissa.
Sayangnya, dalam persidangan tersebut, saat menjawab pertanyaan hakim Lattuperisa sendiri tidak mampu menujukan bukti keahliannya terkait tugas sebagai Polisi Patroli Ciber Crime. Bahkan saat ditanya terkait dengan sertifikasi, saksi justeru mengaku tidak mengantongi sertifikat tersebut.
Pantauan media ini, saat persidangan,beberapa kali pertanyaan yang dilayangkan oleh kuasa hukum terdakwa tidak dijawab secara maksimal oleh para saksi.
Bakan saksi yang dihadirkan, diduga tidak memiliki kompetensi sebagai polisi atau, tim Unit Syber Crime pada Satuan Reskrim Polresta Ambon. Atas tidak ada keahlian, mendapat respon keras majelis hakim yang mempertanyakan statusnya sebagai polisi patroli media sosial.
Tidak hanya itu, Ismael Wael, yang adalah salah satu hakim anggota saat melontarkan pertanyaan kepada Celvin Poly Latupeirissa juga mempertanyakan sertifikat keahliannya sebagai Polisi Patroli Media Sosial.
“Apakah saudara pernah sertifikat uji kompetensi Syber Crime ? apakah saudara pernah ikut pelatihan diklat untuk meningkatkan kualitas sebagai polisi patroli media sosial,” tanya hakim.
Menjawab pertanyaan hakim, saksi mengaku tidak mempunyai sertifikat maupun mengikuti pelatihan cyber crime dan hanya ditugaskan untuk menduduki posisi tersebut.
“Tidak pak hakim. Saya tidak pernah mengikuti diklat dan miliki sertifikasi cyber crime. Saya hanya lulusan SMA jurusan IPS pak Hakim,”lanjutnya saat menjawab pertanyaan hakim terkait lulusan sekolah.
Ditanya soal autran Kapolri yang harus dijalankan oleh polisi patroli, saksi kepada Hakim mengaku tidak menjalankan instruksi tersebut.
“Saudara juga tidak pernah tahu IT dan tidak pernah ikut diklat Cyber Crime. Tidak ada pendidikan, yang pasti bagaimana mau menjalankan perintah atasan saudara, yakni surat edaran Kapolri tentang penerapan undang-undang informasi dan transaksi elektronik tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital indonesia yang bersih, sehat, dan produktif,”ungkap Hakim.
Terkait surat edaran tersebut, menurut majelis hakim penyidik polisi cenderung mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Menurut Hakim, berdasarkan edaran Kapolri didalamnya juga meminta penyidik memprioritaskan langkah damai dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran.
“Saudara saksi jangan main lapor, sama seperti yang dilakukan pihak Satpol PP Kota Ambon, mestinya Pol PP laporkan ke Walikota secara tertulis jangan secara lisan. Saya tegaskan jalankan aturan itu, surat edaran dari Kapolri. Saudara hanya tangkap tanpa dialog. Ini seruan mahasiswa loh,”papar Hakim kepada saksi pengadu.
Atas kesaksian para saksi pelapor dan pengadu yang diusulkan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim akan melanjutkan sidang lanjutan pada pekan depan, senin 30 agustus 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi fakta dan saksi ahli bahasa. (redaksi)