Halmahera Utara, Maluku Utara — Pencarian selama sepekan yang dilakukan keluarga dan warga Desa Gorua berakhir tragis. Pada Kamis dini hari, 25 Desember 2025, jasad seorang perempuan muda bernama Santi—yang sebelumnya dilaporkan hilang—ditemukan di bawah Jembatan Sungai Wari, Halmahera Utara, Maluku Utara. Kondisinya mengenaskan. Tubuh korban ditemukan dalam karung. Kepolisian menyatakan tengah menyelidiki kasus ini dan mendalami dugaan keterlibatan orang terdekat korban.
Santi terakhir terlihat pada Sabtu malam, 13 Desember 2025, setelah menghadiri sebuah acara di Desa Popilo. Sejumlah keterangan warga menyebutkan, korban dijemput oleh seorang laki-laki yang memiliki relasi personal dengannya. Setelah malam itu, Santi tak pernah kembali. Keluarga menduga korban berada di rumah teman-temannya—dugaan yang belakangan terbukti keliru.
Baru pada 20 Desember 2025, setelah upaya pencarian mandiri tak membuahkan hasil, keluarga melaporkan kehilangan tersebut ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Halmahera Utara. Namun, alih-alih dilakukan pencarian cepat, keluarga mengaku menerima respons yang meremehkan. Dugaan-dugaan personal tentang kehidupan korban justru mengemuka—sebuah pola yang kerap dialami keluarga perempuan korban kekerasan.
Selama beberapa hari berikutnya, keluarga dan warga melanjutkan pencarian sendiri. Informasi yang beredar kemudian mengarah ke Jembatan Sungai Wari. Pada subuh hari Natal, warga menemukan sebuah karung di bawah jembatan. Di dalamnya, ditemukan jasad Santi. Keluarga segera menghubungi kepolisian. Penemuan itu mengakhiri pencarian, sekaligus membuka luka yang jauh lebih dalam.
Kasus ini kembali menyoroti kerapuhan sistem respons negara terhadap laporan orang hilang—terutama jika korbannya perempuan. Dalam banyak kasus, laporan kehilangan perempuan sering ditanggapi dengan asumsi moral yang menyalahkan korban, bukan dengan langkah penyelamatan. Akibatnya, waktu krusial terbuang.
Yulia Pihang, praktisi hukum dan pengacara publik kasus kekerasan perempuan dan anak di Maluku Utara, menilai tragedi ini bukan sekadar kejahatan individual.
“Ini kegagalan berlapis: kegagalan merespons laporan orang hilang, kegagalan melindungi perempuan, dan kegagalan negara menghadirkan empati sejak awal,” tulis Yulia di beranda facebook miliknya. Ia menekankan bahwa pendekatan aparat yang bias gender bukan hanya melukai keluarga, tetapi juga berpotensi menghilangkan kesempatan menyelamatkan nyawa.
Yulia mengingatkan, Maluku Utara memiliki rekam jejak kasus serupa. Pada 2019, seorang perempuan juga dilaporkan hilang dan tidak ditangani secara serius hingga akhirnya ditemukan meninggal. “Pola ini berulang. Perempuan hilang dianggap urusan personal, bukan keadaan darurat,” ujarnya.
Kini, keluarga korban mendesak penyelidikan yang menyeluruh, transparan, dan berpihak pada korban. Mereka juga meminta autopsi forensik yang komprehensif untuk mengungkap rangkaian peristiwa secara ilmiah dan memastikan pertanggungjawaban hukum pelaku. Organisasi masyarakat sipil dan aktivis perempuan di Maluku Utara menyerukan solidaritas publik—tanpa eksploitasi, tanpa sensasionalisme.
Kasus Santi bukan hanya tentang satu nyawa yang hilang. Ia adalah cermin tentang bagaimana perempuan masih harus membayar mahal ketika negara lambat, aparat bias, dan empati absen. Natal seharusnya menjadi perayaan kehidupan. Di Halmahera Utara, ia berubah menjadi pengingat pahit: ketika perempuan menghilang, negara tak boleh ikut menghilang.
