Surat Terbuka untuk Walikota: Hentikan Kekerasan STAIN Sebelum Ada Korban Lagi
Ambon, — Ketegangan di kawasan STAIN (IAIN) Ambon kembali menguat jelang perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Bentrokan antar kelompok mahasiswa yang berulang di wilayah Batu Merah bukan hanya memicu keresahan warga, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang kemampuan pemerintah kota mengelola konflik sosial yang terus berulang.
Kegelisahan itu dituangkan secara terbuka oleh @Yamuken Gazi, seorang warga Ambon, melalui surat terbuka yang diunggah di media sosial dan menyebar luas dengan tagar #BetaCintaDamai. Surat tersebut secara langsung menantang Bodewin Wattimena untuk mengambil tindakan tegas, bukan sekadar imbauan normatif yang selama ini dinilai tak efektif.
“Jika STAIN adalah bagian dari Ambon, maka tugas dan tanggung jawab Bapak adalah menyelesaikan konflik, bukan membiarkan situasi memburuk sampai menelan korban lagi,” tulis Gazi.

Konflik Berulang, Negara Terlihat Absen
Dalam surat terbukanya, Gazi menyoroti fakta bahwa konflik di kawasan STAIN bukan peristiwa tunggal. Insiden serupa telah berulang dalam beberapa bulan terakhir, bahkan disebut sempat “diselesaikan” aparat. Namun, tanpa penegakan hukum yang jelas terhadap pelaku utama, konflik kembali muncul dengan pola yang sama.
Ia mendesak Walikota segera menginstruksikan Kapolresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease untuk menindak tegas para pelaku, termasuk mereka yang terbukti membawa senjata tajam atau bertindak sebagai provokator.
Nada surat itu memperlihatkan frustrasi warga terhadap negara yang dinilai hadir hanya setelah kekerasan meledak, bukan mencegah sejak awal.
Tagline Kota Dipertanyakan: Damai di Spanduk, Rusuh di Jalan
Kritik Gazi tak berhenti pada aspek keamanan. Ia juga menyentil slogan resmi Pemerintah Kota Ambon, “Beta Par Ambon, Ambon Par Samua”, yang menurutnya gagal menjelma menjadi kebijakan konkret di tingkat akar rumput.
Baginya, jargon persatuan tanpa strategi sosial yang terukur hanya menjadi “imajinasi politik”. Ia justru mengusulkan pemerintah kembali menggunakan filosofi lokal Ambon, “potong di kuku rasa di daging”, sebagai dasar pendekatan resolusi konflik—sebuah nilai empati yang hidup dalam budaya Maluku, namun kian terpinggirkan dalam tata kelola modern.
Warganet Marah, Usulan Ekstrem Muncul
Surat terbuka tersebut memicu gelombang reaksi warganet. Di kolom komentar, kemarahan warga terlihat jelas. Sebagian mendesak langkah ekstrem: mahasiswa yang terbukti memicu kerusuhan diminta dipulangkan ke daerah asalnya.
“Ada yang bikin kacau, tangkap dan pulangkan. Jangan jadikan Batu Merah medan perang,” tulis salah satu akun.
Meski bernada keras, komentar-komentar itu mencerminkan akumulasi ketakutan warga yang hidup berdampingan dengan konflik, terutama menjelang momentum ibadah besar.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Ambon maupun Polresta Pulau Ambon belum memberikan pernyataan resmi menanggapi tuntutan warga. Aparat masih disiagakan di sejumlah titik, namun akar persoalan—siapa pelaku utama dan mengapa konflik terus berulang—belum tersentuh secara transparan.
Bagi banyak warga, konflik STAIN kini bukan lagi soal mahasiswa semata. Ia telah menjadi ujian kepemimpinan bagi Walikota Ambon: apakah negara hadir untuk mencegah kekerasan, atau hanya mengelola dampaknya setelah korban berjatuhan.
