Ambon, — Tradisi parade Santa Claus yang selama puluhan tahun menjadi simbol sukacita Natal di Kota Ambon kini berada di persimpangan jalan. Alih-alih menghadirkan pesan kasih, teladan, dan kebersamaan, sebagian praktik di lapangan justru menuai keprihatinan publik karena dinilai melenceng dari nilai sakral dan norma kesopanan.
Gelombang kritik mencuat setelah beredar luas di media sosial sejumlah video dan foto parade Santa Claus dan Pit Hitam yang menampilkan perilaku dinilai tidak pantas. Mulai dari kostum yang vulgar, atribut dengan tulisan kasar, hingga aksi yang dianggap merusak etika ruang publik. Unggahan salah satu warga, Ut Ragawarin, menjadi pemantik diskusi luas di jagat maya.
Bagi banyak warga Ambon, parade Santa Claus bukan sekadar hiburan musiman. Ia adalah tradisi religius-kultural yang diwariskan lintas generasi, terutama bagi anak-anak. Karena itu, perubahan wajah tradisi ini memunculkan kegelisahan.

“Santa Claus itu simbol kasih, pengorbanan, dan keteladanan. Tapi sekarang ada yang menjadikannya panggung untuk perilaku yang tidak beretika,” tulis seorang warga dalam komentar yang ramai dibagikan.
Sorotan tajam juga diarahkan pada normalisasi perilaku yang dianggap melanggar batas kepantasan di ruang publik, termasuk ekspresi berlebihan yang dinilai tidak relevan dengan konteks perayaan Natal. Bagi sebagian warga, kritik ini bukan soal kebencian atau diskriminasi, melainkan soal menjaga marwah tradisi dan ruang bersama.
Atribut Kasar dan Krisis Keteladanan
Selain perilaku, atribut fisik seperti kaos dengan tulisan menjijikkan atau bermuatan kasar ikut menuai kecaman. Warga menilai simbol-simbol semacam itu tidak hanya mencederai kesucian Natal, tetapi juga memberikan contoh buruk bagi anak-anak yang menyaksikan langsung parade tersebut di jalan raya.
Ambon, yang selama ini dikenal sebagai kota religius dan beradat, dinilai berisiko kehilangan identitas kultural jika praktik semacam ini dibiarkan tanpa koreksi.
Kritik publik kini berujung pada desakan agar semua pihak mengambil tanggung jawab. Bukan untuk mematikan tradisi, tetapi justru untuk menyelamatkannya.
Warga pun menyerukan sejumlah tuntutan seperti Pengawasan lebih ketat terhadap kelompok Santa Claus yang turun ke jalan, Penertiban terhadap atribut dan aksi yang melanggar norma kesopanan serta Peran aktif masyarakat untuk tidak menormalisasi perilaku menyimpang dengan dalih hiburan.
“Menjaga batas bukan bentuk kebencian. Ini bentuk kepedulian agar Natal tetap bermakna dan mendidik,” tulis seorang netizen.
Tradisi hanya akan hidup jika ia dirawat dengan tanggung jawab. Warga Ambon berharap, parade Santa Claus dapat kembali menjadi ruang sukacita yang sehat—menghibur tanpa merendahkan, meriah tanpa kehilangan etika, dan bebas tanpa melukai nilai bersama.
Natal bukan hanya tentang keramaian, tetapi tentang pesan kasih yang diteladankan. Di situlah letak ujian sesungguhnya bagi tradisi Santa Claus di Ambon hari ini.
