Halmahera Timur, — Dermaga atau jetty milik PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di pesisir Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, akhirnya dibongkar. Pembongkaran dilakukan setelah otoritas kelautan menyatakan fasilitas tersebut tidak mengantongi izin pemanfaatan ruang laut dan diduga berdiri tanpa dokumen lingkungan yang sah.
Informasi pembongkaran jetty ini pertama kali mengemuka melalui unggahan Nurkholis Lamaau, pegiat lingkungan Maluku Utara, di akun Facebook pribadinya. Dalam unggahan tersebut, Nurkholis mengurai rangkaian pelanggaran administratif hingga konflik sosial yang menyertai kehadiran PT STS di wilayah pesisir dan daratan Maba.

Menurut Nurkholis, pembongkaran jetty berawal dari laporan Salawaku Institute, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu ekologis, yang pada 30 Juni 2025 menyurati Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut (DJPRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Surat itu mempertanyakan legalitas jetty PT STS yang dibangun di wilayah pesisir Dusun Memeli.
Balasan DJPRL KKP tertanggal 4 Agustus 2025, dengan Nomor B.250/DJPRL.6/PRL.140/VI/2025, menegaskan bahwa PT Sambaki Tambang Sentosa belum mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Artinya, pembangunan jetty tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan tata ruang laut.
“Atas temuan itu, DJPRL kemudian mengirim Nota Dinas Indikasi Pelanggaran kepada Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan untuk ditindaklanjuti secara hukum,” tulis Nurkholis Lamaau dalam unggahannya.
Masalah PT STS tidak berhenti pada aspek ruang laut. Dugaan pelanggaran juga mencuat pada dokumen lingkungan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Timur, Harjon Gafur, serta Kepala Bidang Penaatan dan Penataan Lingkungan Hidup DLH Maluku Utara, Wajihuddin Fabanyo, menyatakan bahwa proyek jetty di Pekaulang diduga tidak memiliki dokumen Amdal.
Dokumen lingkungan yang dimiliki PT STS hanya berupa Andal revisi akhir bertanggal 31 Desember 2007 dan UKL-UPL Januari 2010. Namun dokumen tersebut diperuntukkan bagi pembangunan jetty di Dusun Waisumo, Desa Baburino, bukan di Dusun Memeli, lokasi jetty yang kini dibongkar.
Jejak konflik PT STS dengan warga setempat telah berlangsung lama. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi seluas sekitar 4.480 hektare untuk periode 2009–2029. Sejak awal beroperasi, pembebasan lahan warga disebut dilakukan tanpa sosialisasi terbuka, dengan harga ganti rugi yang sangat rendah, berkisar Rp 2.000 hingga Rp 5.000 per meter persegi.
Pola yang digunakan, menurut warga, adalah “bongkar dulu, negosiasi belakangan”. Ketika perusahaan kembali memperluas operasi pada 2021, sejumlah kebun warga—termasuk yang bersertifikat dan berada di Areal Penggunaan Lain (APL)—digusur tanpa ganti rugi. PT STS berdalih lahan tersebut masuk dalam wilayah konsesi perusahaan.
Konflik agraria ini kemudian memuncak menjadi ketegangan terbuka. Pada 28 April 2025, sekitar 300 warga dari Desa Wayamli dan Yawanli mendatangi kantor PT STS di Baburino untuk menyampaikan tuntutan. Aksi tersebut berujung represif. Aparat Polres Halmahera Timur, dibantu sekitar 20 hingga 30 personel Brimob, menembakkan gas air mata langsung ke arah massa. Sejumlah warga dilaporkan terluka.
Nurkholis Lamaau menyebut, intimidasi hukum juga menyertai konflik tersebut. Warga yang berjaga di wilayah adat mereka dipaksa membubarkan diri, sebagian diborgol, dan tak lama setelah aksi, 14 warga menerima surat panggilan klarifikasi dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Maluku Utara.
“Rangkaian peristiwa ini menunjukkan kejahatan struktural terhadap rakyat terus berlangsung. Aparat keamanan kerap tampil bukan sebagai pelindung warga, tetapi sebagai alat kekuasaan yang melanggengkan kepentingan korporasi perusak lingkungan,” tulis Nurkholis.
Kini, material timbunan reklamasi di lokasi jetty telah diangkut kembali. Pembongkaran fasilitas ilegal tersebut dipandang sebagai preseden penting dalam penegakan hukum tata ruang laut dan lingkungan di Maluku Utara. Namun, bagi warga dan pegiat lingkungan, pembongkaran jetty baru satu babak kecil dari persoalan yang lebih besar: konflik agraria, kriminalisasi warga, dan relasi kuasa antara negara, aparat, dan korporasi tambang.
