Maluku Didorong Jadi Pusat Implementasi Strategi Biodiversitas Nasional 2025–2045

16/12/2025
k

Ambon, — Maluku didorong menjadi kawasan percontohan nasional dalam penerapan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045. Dorongan itu mengemuka dalam forum sosialisasi dan diskusi yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI) bersama Universitas Pattimura (Unpatti), sebagai bagian dari upaya memperkuat implementasi strategi nasional keanekaragaman hayati agar tidak berhenti pada dokumen kebijakan semata.

Dalam forum tersebut, Maluku dinilai memiliki posisi strategis karena kekayaan biodiversitasnya yang berada di kawasan peralihan Wallacea dan menjadi bagian dari Coral Triangle. Kombinasi ekosistem darat dan laut menjadikan Maluku sebagai salah satu wilayah megabiodiversitas terpenting di Indonesia.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Ramadi, mengatakan kekayaan hayati Maluku memiliki peran krusial bagi ketahanan pangan maritim sekaligus menjadi habitat berbagai spesies endemik. Karena itu, implementasi IBSAP di Maluku dinilai harus berjalan lebih serius dan kontekstual.

Keterangan gambar: Foto bersama para narasumber dalam forum sosialisasi dan diskusi yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI) bersama Universitas Pattimura (Unpatti), Foto: Ed/titastory.id

“Kekayaan alam Maluku menempatkannya sebagai wilayah prioritas. Implementasi IBSAP di sini harus inklusif, berbasis ilmu pengetahuan, dan relevan dengan kearifan lokal,” ujar Cahyo.

Kolaborasi antara FWI dan Unpatti dalam forum ini menegaskan perlunya menjembatani kebijakan nasional dengan realitas lokal. Penyelenggara menolak pendekatan perencanaan yang bersifat top-down, yang selama ini kerap mengabaikan kondisi sosial, ekologis, dan budaya masyarakat kepulauan. Sebaliknya, implementasi IBSAP didorong melalui kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta komunitas adat.

Ketua Jurusan Kehutanan Universitas Pattimura, Irwanto, menilai peran perguruan tinggi menjadi kunci dalam memastikan strategi nasional tersebut tidak tercerabut dari konteks lokal. Menurut dia, integrasi antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan tradisional masyarakat Maluku merupakan prasyarat utama untuk menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati.

“Universitas Pattimura berkomitmen mengintegrasikan sains dan pengetahuan lokal. Maluku membutuhkan pendekatan multipihak agar aset biologisnya tidak terus tergerus,” kata Irwanto.

Dari sisi pengelolaan kawasan konservasi, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, Dani Pattipeilohy, menegaskan bahwa konservasi harus ditempatkan sebagai garda terdepan dalam menjaga hutan dan keanekaragaman hayati. Ia menekankan pentingnya sinergi nyata antara pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan konservasi tidak berhenti pada tataran normatif.

Diskusi juga mengemuka kritik terhadap ekspansi industri ekstraktif, khususnya pertambangan, di wilayah kepulauan Maluku. Moderator forum, Prof. Agus Kastanya, menilai karakter geografis Maluku yang didominasi pulau-pulau kecil seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan pembangunan.

“Pulau-pulau kecil tidak cocok untuk pertambangan. Ketika AMDAL pertambangan diterbitkan di wilayah kepulauan kecil, itu patut dipertanyakan secara serius,” ujarnya.

Forum ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang sosialisasi kebijakan, tetapi juga menghasilkan rekomendasi konkret berbasis lokal untuk mendukung pelaksanaan IBSAP 2025–2045. Dengan pendekatan kolaboratif dan sensitif terhadap konteks kepulauan, Maluku diharapkan dapat menjadi contoh praktik terbaik pengelolaan keanekaragaman hayati tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga di tingkat global

error: Content is protected !!