Konsolidasi RUU Masyarakat Adat di Maluku: Di Atas Kertas Diakui, Di Lapangan Dirampas

03/12/2025
Keterangan gambar: Konsultasi dan diskusi publik RUU Masyarakat adat, Foto: Ist
Hak Diakui, Hidup Dipinggirkan: Masyarakat Adat Maluku Makin Terdesak Industri Ekstraktif

Ambon, – Meski keberadaan masyarakat adat telah dijamin oleh UUD 1945, kondisi di lapangan menunjukkan kisah sebaliknya: masyarakat adat di Maluku terus terpinggirkan, ruang hidup menyempit, dan hak-haknya dirampas. Temuan ini mencuat dalam Konsolidasi dan Diskusi Publik RUU Masyarakat Adat Regional Maluku yang digelar Koem Telapak bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Selasa (2/12/2025) di Ambon.

Tokoh adat Suku Nuaulu, Hunanatu Matoke, menyatakan bahwa pengakuan konstitusional tidak pernah benar-benar hadir sebagai perlindungan nyata.

“Pengakuan ada, tapi perampasan hak juga terus terjadi. Masyarakat adat tidak diberi kesempatan memutuskan apa yang baik untuk dirinya,” ujarnya.

Peserta diskusi menilai maraknya industri ekstraktif—pertambangan, perkebunan skala besar, dan konversi kawasan hutan—telah mengakibatkan kerusakan ekologis, memperbesar risiko bencana, dan mempersempit akses masyarakat adat terhadap wilayah kelola yang menjadi sumber hidup mereka.

Keterangan gambar: Foto saat pelaksanaan Konsolidasi dan Diskusi Publik RUU Masyarakat Adat Regional Maluku yang digelar Koem Telapak bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Selasa (2/12/2025) di Ambon. Foto: Ist

Stigma dan Regulasi Mandek

Meski Maluku telah memiliki dua Perda terkait tatanan masyarakat adat (Perda No. 14/2005 dan Perda No. 16/2019), implementasinya dinilai belum berjalan.

Sekretaris Majelis Latupati Provinsi Maluku, Decky Tanasale, mengungkapkan bahwa hampir seluruh desa di Maluku sebenarnya adalah negeri adat.

Namun hanya sedikit yang terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

“Proses registrasi panjang, masyarakat kekurangan data, dan pemerintah minim mendampingi,” katanya.

Selain hambatan administratif, masyarakat adat juga masih dilekatkan stigma “terbelakang”, “terasing”, dan “miskin”. Hal itu, menurut Joan Pesulima dari AJI Ambon, memperburuk penerimaan publik terhadap perjuangan hak adat.

 

Perempuan Adat Hadapi Diskriminasi Berlapis

Persoalan adat juga menyentuh isu gender. Apriliska Titahena dari Komunitas Peduli Masyarakat Adat Lumah Ajare menyebut banyak struktur adat di Maluku masih didominasi laki-laki.

“Keputusan-keputusan penting tidak memasukkan perspektif perempuan, termasuk soal sanitasi, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya,” jelasnya.

Di sejumlah daerah seperti Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru, kasus kekerasan seksual kerap diselesaikan melalui denda adat, kata Lusi Peilow dari Gerak Bersama Perempuan Maluku. Praktik itu dinilai tidak memberikan keadilan bagi korban perempuan maupun anak.

 

Adat sebagai Penjaga Alam

Di tengah tekanan industri ekstraktif, masyarakat adat sebenarnya memegang peranan penting sebagai penjaga lingkungan hidup. Elisa Laiuluy dari Barisan Pemuda Adat Seram Bagian Barat mencontohkan praktik sasi, sistem adat yang mengatur pembatasan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Koalisi menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat—yang sudah diperjuangkan lebih dari 15 tahun—merupakan instrumen kunci untuk memastikan perlindungan hak masyarakat adat dan wilayah kelola mereka.

RUU ini dipandang sebagai mandat konstitusi yang wajib dituntaskan negara.

error: Content is protected !!